Sikap Asertif dan Konflik Budaya
#serialpernikahan
Suatu hari saya kedatangan seorang ibu muda yang mengeluhkan kondisi keluarganya. Ia merasa tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan suaminya. Ia tak selalu bisa menjawab pertanyaan suami, terutama juga bingung dengan arah dan maksud obrolan tersebut. Misalnya, “Kita mau jadi keluarga apa sih? pertanyaan ini tiba-tiba muncul saat ia sedang menulis, atau saat duduk santai. Ya pertanyaan yang muncul tiba-tiba,mengawali pembicaraan, tak jelas arah dan konteksnya. Saat lain, ketika ia pulang kerja, suaminya bisa bertanya seperti ini, “Tahu tidak apa tanggung jawab seorang istri?” atau tiba-tiba saja berkomentar “Kamu kok seneng meniru-niru orang lain, susah lho nanti mempertanggung jawabkannya”. Sang istri tidak bisa menjawab dan memilih bungkam. Dalam hatinya, ia merasa telah dihakimi dan disalahkan atas semua tindakannya. Tapi ia tidak mengerti apa yang salah dan harus bagaimana.
Dilain pihak, suaminya menilai istri tak bisa diajak berdialog, apalagi untuk membicarakan hal penting dan sangat serius terkait dengan rumah tangganya. Istri selalu bungkam dan menghindari komunikasi yang serius terkadang hanya berelasi tanpa banyak bicara.Ujung dari kesulitan komunikasi ini, sebenarnya mereka juga tidak tahu bagaimana menjalin relasi yang lebih privat seperti bagaimana kalau ingin memeluk suami atau mengajak istri melakukan hubungan seksual. Salah satu diantara mereka selalu menjaga jarak atau terkadang istri menangis tiba-tiba dan suami minta ijin untuk tidur di kursi saja.
Jika Anda berada dalam posisi istri, “apa tanggapan yang dapat Anda berikan, atau apakah Anda dapat menjawab pertanyaan yang diajukan suami?”
Jika Anda dalam posisi suami, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya bila istri tiba-tiba bungkam dan menghindari untuk berbicara lebih lanjut?
##
Komunikasi merupakan salah satu kunci sentral dalam relasi suami istri sebagai anggota inti keluarga. Pola relasi akan terbentuk melalui jenis komunikasi yang terjadi. Orang yang menyampaikan pikirannya dengan jelas, tegas dan langsung akan mampu membangun relasi yang lebih terbuka dan nyaman daripada orang yang tidak dapat mengekspresikan pikirannya pada orang lain. Ketidakjelasan informasi memberi peluang orang untuk mempersepsi suatu informasi secara berbeda dari maksud yang ingin disampaikan oleh pemberi pesan.
Komunikasi yang tegas itu kita kenal sebagai sikap asertif. Istilah ini sangat dikenal, namun sulit dilakukan. Ketegasan dapat membantu Anda mengekspresikan diri secara efektif dan memperlihatkan sudut pandang dengan jelas, sekaligus menghormati hak dan keyakinan orang lain. Ketegasan menunjukkan sikap lugas untuk menyampaikan informasi apa adanya dengan sikap yang percaya diri. Kejelasan mengacu pada penggunaan kata yang memiliki makna pasti bukan ambigu ataupun multitafsir. Sikap asertif itu aktif tetapi tidak agresif. Menempatkan lawan bicara sebagai partner, menunjukkan rasa respek dan siap menerima informasi secara objektif dan memberikan tanggapan dengan cara yang santun dan jelas.
Pada kasus tadi, pembawa pesan bermaksud menyampaikan harapan atau pikiran yang dimaksudkan, namun cara berbicara dan pola komunikasinya justru membuat pasangannya bingung. Pertanyaan yang bersifat abstrak atau tiba-tiba atau tidak relevan dengan konteks yang sedang dihadapi akan membuat orang tidak memahami arah pembicaraan.
Salah satu pasangan mungkin terpancing untuk mengekspresikan kekesalan dengan kata-kata kasar dan ditimpali pasangannya dengan nada emosional sehingga obrolan berubah menjadi adu mulut. Pola komunikasi semakin sering berubah menjadi konflik atau pertengkaran sehingga salah satu pihak akan memilih menghindar atau diam. Menghindari konflik lebih luas dengan cara bungkam mungkin tampak baik namun menimbun masalah lain yang semakin serius. Rasa takut, malu, bingung disertai perasaan tidak dihargai atau direndahkan semakin menguasai kehidupan emosinya.
Salah satu pihak akan mulai merasa tak nyaman dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Adu mulut, sikap agresif atau sebaliknya bersikap pasif atau boleh jadi pasif sekaligus agresif sama-sama berpeluang menimbulkan masalah dalam relasi selanjutnya. Sikap pasif menghambat orang untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dalam berkomunikasi. Frustrasi terhadap relasi yang terjadi juga dialami oleh pasangannya yang menilai pihak lain mengabaikannya, tidak respek padanya, lalu menjaga jarak.
Menyerang lawan bicara atau pasif dengan bungkam seribu kata adalah sikap tidak asertif. Pasif agresif sering diperlihatkan dengan tindakan menyerang tetapi secara tidak langsung, misalnya menyindir, membicarakan keburukannya pada pihak lain, diam-diam menggugat cerai atau melakukan terror sebagai bentuk kekesalah pada salah satu pihak.
Salah satu pihak mungkin akan menghakimi yang lain. Menilai yang lain tak memahami perasaannya, sedangkan yang lain menilai bahwa ia dipojokkan, bahkan sangat mungkin lama-lama merasa telah mendapat kekerasan rumah tangga secara verbal atau psikis.
Ketimpangan komunikasi dapat memicu turunnya harga diri dan kehilangan minat pada hubungan seksual, bahkan ikatan komitmen pernikahan dan rasa kasih serta cinta pada pasangan yang pudar secara perlahan baik pada salah satu pihak atau kedua-duanya.
Dalam budaya keluarga tertentu, bisa jadi tindakan agresif bada batas tertentu masih bisa dibenarkan. Dalam pengertian bahwa terkadang ada keluarga tertentu yang terbiasa berbicara sangat terbuka dan langsung menyerang lawan bicara saat tak sepakat. Sedangkan pada keluarga di titik ekstrim lainnya justru mengagungkan sikap mengalah dan terbiasa menjaga jarak atau berhati-hati memilih kata untuk menghindari pembicaraan yang terlalu langsung.
Terkadang saya menemukan budaya komunikasi yang lebih baik menyindir daripada berbicara terbuka. Namun pesan yang disampaikan mungkin belum tentu dipahami orang lain yang tidak mengerti tanda-tanda komunikasi dan bahasa sindiran. Bahasa tanpa kata atau gesture, sering diperlihatkan lebih dominan pada keluarga yang cenderung tertutup. Hanya saja bagi orang yang terbiasa berbicara secara verbal dalam segala hal, mungkin tidak memiliki tingkat kepekaan untuk membaca bahasa tubuh tersebut dan berpeluang salah paham atau multi tafsir.
Ketidakjelasan pesan memang cenderung ditafsirkan secara negatif. Bila penafsiran terhadap pesanpun tidak sempat dikonfirmasi melalui tanggapan balik. Situasi yang terjadi adalah reaksi marah atau diam. Konflik terbuka atau genjatan senjata menimbulkan ketegangan dalam relasi keluarga yang terakumulasi menjadi bom waktu. Keluarga yang membiarkan babak-belur-pernikahan-nya tak terselesaikan akan berpotensi berakhir di meja perceraian setelah melewati fase penderitaan bertahun-tahun.
Dalam isu ini, penting untuk kita kembali memahami genogram keluarga. Budaya, pola asuh, kebiasaan dan nilai-nila dalam keluarga akan diwariskan secara turun temurun melalui interrelasi anggota keluarga sepanjang hidup.
Pernikahan bukan hanya mempertemukan dua orang, namun dapat dianggap sebagai kolaborasi dua keluarga termasuk sosial budaya yang melingkupinya. Walaupun memiliki kesamaan suku dan bahasa tidak menjamin seseorang memiliki kesamaan dalam budaya keluarga apalagi dua budaya dengan perbedaan nilai-nilai yang dipercayanya serta bentuk relasi dan berkomunikasinya. Budaya keluarga memang sesuatu yang khas, niscaya dimiliki setiap pasangan. Budaya keluarga juga akan dibentuk baik secara sadar atau tidak, oleh pasangan baru. Terkadang kita juga tidak terlalu menyadari bagaiamana budaya tersebut mempengaruhi perilaku kita terhadap pasangan.
Salah satu tugas dalam pernikahan adalah membuat kesepakatan tentang hal-hal yang patut untuk diterima, diadopsi dari pasangan atau sepakat untuk ditolak. Sebagian hal mungkin tak bisa dihilangkan, tetapi siap ditoleransi pada batas-batas tertentu dengan sikap saling menghormati dan menjunjung harga diri pasangannya. Budaya dalam keluarga pasti akan diterima bila hal tersebut membuat pasangan nyaman, dan akan memicu konflik bila terdapat pertentangan, baik bersipat saling memaksakan atau saling menolak.
Tidak semua perbedaan memicu konflik dan berakhir buruk, terkadang salah satu pihak menilai hal tersebut sebagai “kekayaan, kelucuan, bumbu pernikahan” atau apapun namanya yang membuat mereka justru merasa “lebih hidup”. Pasangan tertentu memiliki cadangan pemaafan yang membuat mereka sangat toleran dan menikmati perbedaan dengan sudut pandang yang positif. Kunci dari situasi ini adalah sikap asertif yang bersumber dari penerimaan diri dan kesiapan menerima perbedaan. Mungkin perlu ditambahkan bahwa pasangan yang saling mencintai dan memiliki komitmen cenderung memiliki sikap mencintai yang diwarnai rasa hormat dan pemaafan.
Dari kasus ini , kita belajar bahwa terkadang suami dan istri perlu membina keterbukaan-dan-skema-hubungan- yang positif atas dasar saling percaya dan menghargai sebagai bentuk ekspresi dari cinta yang mengikat mereka.
Bandung, 21 Desember 2021