Keterbukaan dan Skema Hubungan
#tanyajawabpernikahan
Tanya : Dalam hidup rumah tangga adakalanya orangtua menjadi momok menakutkan bagi anak-anaknya. Karena itu anak-anak menjadi takut terbuka kepada orang tuanya. Pertanyaan saya, bagaimana agar anak mau terbuka penuh tentang masalah pribadi kepada orang tuanya. Pada usia berapa anak bisa terbuka masalah pribadinya kepada orang tuanya. Bagaimana metode yg tepat untuk menguatkan ikatan/attachment/bounding antara orang tua dan anak??? Tks ( Peserta SPN Salman)
(Pertanyaan ini di ajukan dalam kegiatan sekolah pranikah, oleh seseorang dalam konteks persiapan untuk menikah)
Bila seorang dewasa menyadari ada masalah dengan kedekatan dan komunikasi dengan orang tuanya, maka jawaban sederhananya adalah belajar membuka diri dan berusaha terus menerus membangun komunikasi dan kedekatan dengan mereka, orang tuanya. Bila Anda berada pada posisi orang tua, maka Anda juga perlu belajar membuka diri dan berlatih membangun kedekatan kembali dengan anak, walaupun Anda telah melewatkan masa emasnya semasa kecil dulu.
Sejauhmana anak berani membuka diri dengan orangtuanya atau sebaliknya?. Perlu dipertimbangkan kedekatan, relasi interpersonal dan pola komunikasi antara mereka sejak kecil. Hubungan diantara mereka, setelah dewasa memang akan menjadi lebih dekat dan lebih dalam bila keduanya bersedia membuka diri tentang hal-hal yang bersifat pribadi atau dianggap rahasia bagi masing-masing.
Self-Disclosure, keterbukaan diri.
Membuka diri, dikenal dengan istilah “self disclosure”, hal ini akan terjadi bila seseorang menyediakan atau memberikan informasi pribadi tentang dirinya kepada orang lain seperti pengalaman pribadi, gagasan, sikap, perasaan, nilai-nilai, kenangan masa lalu, kisah hidup, harapan, impian, ambisi, dan tujuan hidupnya, dan lain-lain. Adalah dua orang ahli psikologi, Irwin Altman dan Dalmas Taylor (1973) yang pertama kali menjelaskan fenomena kedekatan ini. Mereka mengajukan sebuah konsep penetrasi sosial yang menjelaskan bagaimana berkembangnya kedekatan hubungan. Keterbukaan meliputi pula pola relasi dan komunikasi diantara mereka.
Model teori ini menjelaskan perkembangan hubungan interpersonal dan untuk mengembangkannya dengan pengalaman individu sebagai proses pengungkapkan diri yang mendorong kemajuan hubungan. Bila hubungan interpersonal semakin berkembang, maka keluasan dan kedalamannyapun meningkat. Dengan demikian, keterbukaan hanya dapat diperoleh dengan meningkatkan kedalaman dan keluasan hubungan diantara mereka, dalam kasus ini orang tua dan anak.
Altman dan Taylon membandingkan manusia dengan bawang, setiap lapisan kulit bawang ibarat pribadi manusia yang dapat disingkap lapis demi lapis, satu persatu. Lapisan terluar adalah hal yang dapat dikenali dengan mudah dan diperlihat seseorang karena bersifat permukaan. Lapisan luar manusia meliputi hal-hal seperti tinggi badan, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal dan hal-hal yang dapat diobservasi orang lain dengan mudah. Semakin dalam lapisannya, semakin pribadi/privat dan tidak mudah atau tidak selalu diungkapkan. Bagian pusat yang lebih dalam dari manusia adalah mencakup nila-nilai, kepercayaan, kondisi emosional yang lebih dalam yang tidak pernah ditampakkan ke permukaan.
“Sejauhmana orang mau membuka diri?”. Seimbang dengan seberapa dekat hubungan interpersonal keduanya, yang tersirat juga seberapa mereka saling percaya dan merasa aman untuk mengkomunikasikan lapisan demi “lapisan bawangnya”.
Self-disclosure, atau membuka diri merupakan isu penting dalam komunikasi antarpribadi. Ini juga isu penting dalam relasi orang tua anak, relasi pernikahan dan relasi setiap manusia yang yang ingin membangun hubungan atas dasar kepercayaan dan komitmen. Sejauh mana seseorang diperbolehkan mengetahui lapisan bawang yang semakin privat, atau sejauhmana seseorang memperbolehkan dirinya mengungkapkan apa yang dipikirkan, apa yang terjadi dalam dirinya pada orang lain, menggambarkan sedalam apa mereka saling percaya dan merasa aman.
Dalam Teknik psikodrama, keterbukaan dapat mudah terjadi karena suasana spontan yang dibangun dalam kelompok menciptakan rasa aman dan percaya satu sama lain. Kita menyebutkan dengan istilah tele positif. Dalam kehidupan keseharian kita sebenarnya, sangat banyak orang cenderung lebih menjaga sikap dan perilakunya.
Keterbukaan, tidak selalu menciptakan rasa nyaman bagi orang-orang tertentu, karena kecenderungan kita untuk menyembunyikan hal-hal negative, kesalahan, hal-hal yang memalukan, kecemasan dan konflik yang mungkin dirasakan dikendalikan dalam strategi pengendalian diri yang ketat. Hanya dengan rasa kepercayaan, kedekatan, rasa aman dalam hubungan yang positif, keterbukaan dapat meningkat.
Maka, satu-satunya cara membuat orang lain, orang tua dan anak, mau membuka dirinya, akan lebih bijak untuk membangun relasi interpersonal yang nyaman secara timbal balik dan menunjukkan keterbukaan lebih dulu sebelum menuntut orang lain, dalam hal ini anak atau mungkin orang tua, untuk membuka diri.
Dalam relasi interpersonal, orang akan cenderung memberikan tanggapan yang disukai, sehingga keterbukaan itu hendaklah memberikan efek yang membuat hubungan makin dekat. Tingkat keintiman ini akan terlihat dari semakin dalam dan luasnya informasi yang dibagi. Penerimaan satu sama lain akan dapat dikenali dari ekspresi emosi yang diterima oleh masing-masing pihak. Semakin positif, peluang untuk saling terbuka dan hubungan akan semakin dalam.
Mengkomunikasikan lapisan demi lapisan diri membutuhkan waktu dan penerimaan, sehingga hubungan ini juga mengisyaratkan adanya proses membangun rasa kepercayaan dan komitment hubungan yang konsisten. Oleh sebab itu seringkali pasangan pernikahan yang tidak saling terbuka, dianggap tidak jujur dan tidak memiliki komitmen untuk berbagi.
Keterbukaan ini juga memberikan keuntungan dalam membangun hubungan, antara lain menciptakan rasa harga diri, kemampuan berkomunikasi, empati, stabilitas hubungan dan lain-lain.
Pada kasus pernikahan, seringkali pengalaman hubungan interpersonal yang dialami dalam keluarga, membentuk pola relasi dengan pasangannya setelah menikah. Kesulitan relasi interpersonal dengan orang-orang yang terdekat dengan kehidupannya, seperti dengan orang tua seringkali menjadi ganjalan dan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan — unfinish bussines. Ketidakmampuan untuk membangun self-disclosure seringkali menimbulkan kesulitan dalam membentuk relasi interpersonal berikutnya.
Hal ini memang ada kaitannya dengan pengalaman pola bonding awal dengan pengasuh atau ibu pada usia awal masa kanak-kanak. Menjadi relevan memperbaiki keterbukaan komunikasi anak dan orang tua dengan mengevaluasi kembali pola hubungan yang terbentuk semasa kecil dengan significant person, yaitu orang tua atau pengganti orang tua.
Kelekatan dan perasaan aman
Dalam kasus dengan anak-anak, mereka membangun kedekatan dan keterbukaan dengan orang tua melalui proses kelekatan/bonding selama mereka bertumbuh dalam relasi pengasuhan orang tuanya. Membangun kelekatan pada anak, menyangkut pola asuh yang mampu memenuhi kebutuhan dasar psikologis anak sejak dini. Kebutuhan psikologis yang perlu di penuhi pada tahun pertama memang terkait dengan kepercayaan dan rasa aman pada anak. Kajian mengenai ini, ada buku baru yang ditulis oleh ibu Yeti Widiati, 2020. Buku berjudul Anak disayang, anak berkembang, sebuah telaah mengenai pola asuh yang mendasarkan pada pemenuhan 5 kebutuhan psikologis dasar pada anak dengan acuan teori Schema Therapy dari Jeffrey Young.
Kedekatan yang dibangun akan menimbulkan rasa aman pada anak, namun bila rasa aman ini tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kegelisahan pada anak, dan berpengaruh pada perkembangan dan efektifitas pengasuhan, pola komunikasi orang tua serta disiplin anak di kemudian hari.
Keterbukaan pada usia dewasa sulit terbentuk bila kebutuhan dasar kelekatan ini tidak terpenuhi pada saat awal kebutuhan ini muncul, atau bila telah terjalin pola relasi yang buruk antara orang tua dan anak. Bahkan mungkin bila anak menghadapi pengalaman traumatik berelasi dengan orang tua atau serupa luka batin dalam perjalanan hidup individu yang sangat membekas.
Kelekatan adalah suatu kondisi dimana anak merasa aman, terlindungi dan dicintai oleh pengasuh atau orang tuanya. Bonding dan attachment ini perlu dipenuhi, sama seperti halnya memenuhi kebutuhan biologis pada anak. Misalnya ketika anak menangis, orang tua langsung menggendong dan menenangkannya, ketika hal itu disebabkan lapar, haus atau karena mengompol maka orang tua merespon dengan cepat dengan memberikan apa yang diperlukan anak. Kehadiran orang tua yang mencintai, mengekspresikan emosi dengan wajar dan dapat dipercaya oleh anak membangun bonding yang kuat antara anak dan orang tua.
Pemenuhan kebutuhan ini akan membangun kepercayaan anak terhadap orang tua, pondasi bagi terbentuknya bangunan perkembangan psikologis anak pada usia-usia selanjutnya hingga dia dewasa. Jadi bila kebutuhan attachment tidak terpenuhi atau mengalami gangguan secara berulang dan berkesan dalam pengalaman anak, maka perkembangan anak akan terhambat dan terbentuk pola perilaku maladaptif atau bahkan gangguan kepribadian yang serius.
Skema dan Re-parenting
Bila suatu saat ketika individu dewasa terpicu oleh situasi yang sama atau mirip dengan pengalaman sebelumnya dimasa lalu, maka individu akan memunculkan respon emosi yang khas yang terbentuk dari schema yang membentuk kepribadian individu tersebut
Secara sederhana, saya akan memberikan contoh berikut ini. Misalnya, seorang anak yang diasuh oleh orang tua yang abai, tidak pernah menunjukkan ekspresi emosi atau bersikap tidak konsisten secara terus menerus. Maka anak ini berpeluang berkembang menjadi anak yang pemalu dan cenderung penyendiri atau anak yang mudah putus asa. Ia tidak pernah memiliki pengalaman dicintai, sulit untuk memahami apa yang dirasakannya dirinya dan orang lain. Setelah dewasa, mungkin Ia tidak ekspresif dan sulit merasakan empati terhadap orang lain. Pola ini bila menetap menjadi pola kepribadiannya, maka situasi dalam relasi sosial yang mirip akan memancing skema ini muncul kembali. Misalnya dalam bentuk relasi yang tidak hangat dan abai juga terhadap anaknya kelak. Ada peribahasa yang mengatakan “ Kamu tak bisa mencintai saat kamu tak pernah di cintai”. Hal ini menjelaskan bahwa ekspresi cinta dibentuk oleh pengalaman dan relasi dicintai yang dipelajari sebelumnya, karena pola prilaku ekspresi emosi cinta itu menjadi pola relasi alami dengan orang lain.
Ketika Ia menyadari masalah ini, maka ada peluang individu mengubahnya dengan re-learning atau re-parenting, proses pembelajaran ulang dengan memberikan kebutuhan akan rasa aman, rasa dicintai yang tidak terpenuhi tersebut oleh diri yang sudah dewasa saat ini. Penjelasan ini, memerlukan bahasan lebih rinci dikemudian hari.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah, Individu dapat melatih dirinya untuk mengekspresikan emosinya, dengan berbagai teknik dan bantuan orang-orang yang dekat seperti suaminya atau kawan dekatnya. Ia juga dapat belajar melakukan pola asuh yang lebih baik dari orang tuanya, agar kebutuhan dasar psikologis anaknya dapat dipenuhi sejak dini, sehingga anaknya tak mengalami kesulitan seperti yang dialaminya.
Ia juga dapat menemukan kekuatan yang lain dalam kepribadiannya yang dapat mengatasi kekurangan ini misalnya dengan mengelola relasi atau dukungan dari lingkungan sosial agar dapat memberikan pengalaman yang diperlukan oleh anaknya. Bila masalahnya terlalu berat, karena terkait dengan trauma yang mendalam, Individu juga dapat melakukan terapi re-parenting/Schema therapy kepada psikolog yang memahami dan dapat menggunakan teknik intervensi ini dengan baik.
Selamat bertumbuh dan menyelesakan PR Anda sampai tuntas.
Bandung, 7 September 2020