Babak belur pernikahan

Iip Fariha
6 min readSep 30, 2020

--

#serialpernikahan

Photo by Lawrson Pinson on Unsplash

Sing bisa silih pihapékeun tur silih ampihan dina kahirupan. Sing bisa silih tutupan dina kakurangan. Silih élingan dina kasalahan. Omat ulah pahilir-hilir nya mandi, ulah pagirang-girang tampian. Anggur sing runtut raut sauyunan sareundeuk saigel sageugeu sapihanéan. Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak.

(pepatah sunda-anonim)

Saling menitipkan diri masing-masing, tolong menolong, saling menjaga dalam menjalani hidup. Saling melindungi dan menutupi hal yang kurang. Saling mengingatkan bila berbuat salah. Ingatlah untuk tidak berebut tempat, pengaruh dan kedudukan. Saling mendukung dan mengayomilah dengan sikap seiring seirama dalam gerak dan langkah. Memiliki visi dan tujuan yang sama).

Indah sekali nasehat pernikahan dalam adat budaya sunda ini. Sayangnya, bagi sebagian besar generasi muda orang sunda (masyarakat sunda) saat ini, mungkin sudah tidak lagi familiar dengan pepatah ini. Walaupun pernah mendengar, akan cenderung sulit memahaminya. Bahasa sunda sudah jarang digunakan, dan karenanya kita tidak begitu paham artinya tanpa mendapat penjelasan dari orang-orang tua yang masih mengerti budaya dan menjaga budaya petatah petitih dengan kearifan bahasa ini.

Menjadi konselor pernikahan, membuat saya belajar urgensi nasehat pernikahan orang tua bagi pasangan pernikahan. Bila berkesempatan menghadiri acara pernikahan, saya terkadang melakukan refleksi ulang atas peristiwa yang sama yang pernah saya alami. Saya memperhatikan, seringkali nasehat perkawinan untuk setiap pasangan selalu berbeda, mungkin memang ada kaitan penting pesan tersebut dengan isu dan tema pernikahan yang mungkin akan dihadapi oleh pasangan tersebut. Siapa tahu, tetapi kita percaya pada perjalanan takdir setiap orang bukan?

Ketika menikah, sayapun mendapat nasehat perkawinan yang saya terima dari almarhum kakek saya dengan menggunakan perumpamaan yang lebih akademis dan dapat diterima dalam alam pemikiran generasi saya. Dalam suatu kunjungan paska menikah, saya meminta Kakek memberi kami nasehat. “Suami dan istri itu seperti dua tangan”, katanya tanpa penjelasan apapun. Pertanyaan saya dijawab dengan pertanyaan balik, agar saya merenungkan kembali apa artinya kedua tangan di tubuh kita. Perlu bertahun-tahun bagi saya untuk merenungkan maknanya. Ternyata menghimpun semua makna yang ada dalam nasehat panjang yang saya kutip sebelumnya.

Nasehat perkawinan sunda ini, kadang masih sering diucapkan oleh para sesepuh yang diminta untuk memberi nasehat perkawinan. Mereka umumnya orang yang kita tuakan, kita hormati karena kearifan dan kedalaman ilmunya. Saya pun mendengar nasehat tersebut selesai menerima akad pernikahan. Lalu nasehat yang njelimet itu disederhanakan dalam satu kalimat singkat. Semoga Allah melimpahkan Rahmat dan Kasih sayangNya pada almarhum.

“Jadilah tangan kiri dan tangan kanan”

Tampak sangat sederhana, namun syarat makna dan memiliki kedalaman isyarat hikmah didalamnya. Pada prakteknya, saya akui tak pernah bisa kami jalankan dengan mudah. Beberapa perkara praktis baru saya pahami, tatkala menemukan masalah yang lebih riil dan merenungkan berbagai hikmah kehidupan, baik dalam pengalaman personal maupun kelak ketika saya bertemu dengan kasus-kasus pernikahan yang saya tangani.

“Saya menyesal telah membohongi suami saya Bu, saya pernah selingkuh dengan mantan pacar saya, tapi saya sudah berusaha menghindarinya sekarang. Setelah bicara dengan ibu, saya tahu saya bisa berubah dan dapat memiliki keluarga yang lebih baik, tetapi saya takut sekali kalau-kalau hal itu diketahui suami saya”.

“Saya tidak mengerti mengapa suami saya hanya cinta uang saya dan maunya hubungan sex saja bu, sepertinya pernikahan kami hanya transaksi seperti pertukaran untung rugi bisnis saja, saya merasa tak pernah diharga dan kehilangan cinta saya padanya”.

“Suami saya berselingkuh dengan teman saya Bu”, walau saya berusaha memaafkannya, tapi saya merasa ragu apakah dia pantas menjadi imam saya sekarang, saya tak mau bercerai karena itu tak menyelesaikan masalah, tapi bagaimana?”

Sekelumit problem rumah tangga ini, mampir dalam ruang pribadi saya, sebagai pembelajaran dan kekayaan hikmah yang luar biasa berharga. Terkadang klien membawakan problem yang ketika itu membuat saya menemukan insight baru pada kesulitan pribadi saya sendiri. Mereka menemukan jalan keluar melalui konseling keluarga, tetapi mereka lebih banyak memberi saya pelajaran berharga tentang tangan kanan dan tangan kiri.

“Saya mengakui saya mencintai pacar saya Bu, tapi saya tidak pernah menghianati istri saya. Saya masih punya komitmen dan tidak akan pernah menceraikannya”

“Saya lebih suka dipoligami Bu, lebih baik daripada suami saya berselingkuh dan menceraikan saya dan meninggalkan anak-anak. Suami saya dimabuk kepayang oleh anak mahasiswa, saya sungguh rela, bila dia menikahinya, itu lebih memuliakannya”.

Beragam konflik dan goncangan dalam rumah tangga, mengingatkan saya kembali pada nasehat pernikahan yang seringkali di abaikan oleh pasangan. Pengantin seringkali dimabuk cinta dan lupa apa yang sedang terjadi setelah akad selesai, mereka sibuk dengan hati mereka yang berbunga-bunga dan silau oleh perayaan pesta ratu dan raja sehari. Saat badai rumah tangga menerpa mereka, mereka juga lupa bahwa biduk pernikahan dikendalikan oleh dua dayung yang dipegang oleh suami dan istri secara bersamaan. Tidak mungkin urusan rumahtangga diselesaikan oleh salah satu pihak, tidak ada pasangan yang dapat mencapai tujuan bila mendayung perahu sesukanya, tanpa menyertakan pasangannya.

Saling menyalahkan, mencari kesalahan, melakukan kecurangan serta ujian pada masing-masing pasangan, membuat riak gelombang samudra pernikahan meninggi. Kapal pernikahan mulai terancam terbawa arus gelombang, bisa saja tenggelam karam, atau mungkin bertahan walau pasangan mengalami penderitaan dalam rumah tangga. Macetnya komunikasi, perselingkuhan, kehilangan respek, kesulitan keuangan dan problem-problem sosial sering menjadi sumber masalah yang membuat perahu pernikahan oleng ke kanan dan ke kiri. Sementara tangan kanan dan tangan kiri tak berfungsi dengan baik, pernikahanpun mengalami goncangan hebat.

“Saya akan berhenti bu, saya takut nanti anak saya kualat mendapatkan karma atas dosa yang saya lakukan karena merebut suami orang”

“Saya malu pada ibu saya bu, saya akan pulang dan memeluk istri saya, saya akan minta maaf dan belajar menjadi suami lebih baik”.

Saya percaya bila kita mampu menerapkan nasehat orang tua dulu, semua perkawinan akan berjalan dengan baik, dan pada akhirnya akan menemukan kebahagian. Pernikahan bahagia bukan berarti tanpa tantangan dan masalah. Hampir semua pernikahan mengalami turbulensi, terkadang babak belur dalam pertarungan menghadapi godaan, badai dan ombak dalam menggarungi samudra kehidupan, entah sampai kapan. Tidak ada kapal yang aman dari badai dan ombak, tetapi tidak semua perjalanan berakhir dengan derita. Sebagian berhasil mencapai titik kebahagian yang dimaksud, sebagian memutuskan untuk berganti arah, berganti perahu dan memulai perjalanan baru yang tidak selalu lebih mudah, sebagian bahkan kalah dan menyerah. Pilihan hidup memang demikian sulit, tetapi selalu ada jalan bagi yang ingin menata diri dan hidup secara bermakna dan positif walau perjalanan yang ditempuhnya tentu tidaklah mudah.

“Kami sudah memutuskan untuk bercerai Bu, saya menghargai suami saya dan saya tetap dapat menjaga anak-anak, menghormati dan tetap menjaga hubungan dengan ayahnya. Hanya saja saya tak bisa menerima perlakuan ini, saya tak bisa berjalan bersama lagi”.

“Saya tidak tahu pilihan saya benar atau tidak, tapi saya tak bisa bercerai tetapi juga sangat tidak nyaman dalam pernikahan ini. Suami saya sepertinya tak mengerti keinginan saya, dia juga tak peduli dan bersenang-senang sendiri. Saya merasa berjuang sendirian, saya akan melakukannya demi anak saya”.

Saya percaya kebahagian keluarga bukan berarti keluarga tanpa masalah. Petuah untuk tolong menolong secara spontan, seperti tangan kanan dan tangan kiri mengisyaratkan adanya beban yang perlu dibagi secara seimbang, adil dan mungkin tanpa perlu berebut. Tanpa perlu merasa menonjolkan diri, siapa yang lebih kuat atau lebih berjasa. Tangan kiri dan kanan, tak pernah saling mengeluhkan satu sama lain, lebih dari itu keduanya saling melindungi, saling memahami, menguatkan yang lemah, saling menutupi yang kurang. Betapa indahnya bila suami dan istri seperti tangan kanan dan tangan kiri.

Tangan kanan dan kiri pasti saling terkoneksi sehingga mengerti apa tujuan berbagi. Melakukannya demi mencapai apa yang diinginkan bersama, tidak berarti harus melakukan hal yang sama. Lebih dari sebuah kerjasama, pemahanan, empati dan spontanitas dalam melakukan sesuatu terdefinisikan melalui komunikasi yang luar biasa koheren dan efesien.

Bagaimana suami dan istri, dalam pernikahan kita mampu bertindak seperti tangan kiri dan tangan kanan?

“Runtut raut sauyunan sareundeuk saigel sageugeu sapihanéan. Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak”.

Selalu sepemikiran, satu dalam rasa dan gerak mencapai apa yang diinginkan. Memiliki kesatuan dalam visi dan tujuan hidup mencapai kebahagian bersama. Sakinah mawadah wa rohmah. Bersama dalam ketenangan, cinta, dan saling kasih sayang selamanya hingga kehidupan selanjutnya.

Terlihat indah dan sempurna dalam kata dan gambaran ideal suatu keluarga. Seperti dalam tatanan aturan syariat dogma agama manapun di dunia juga nasehat para konselor perkawinan. Namun tak mungkin kita rasakan manisnya tanpa kesediaan menghadapi babak belur perjuangannya.

Selamat berjuang.

Anda juga dapat membaca kisah Merawat 50 tahun pernikahan dengan sepotong kepala ikan

Bandung, 1 Oktober 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

Responses (1)