Rinduku Renjana Bertumpuk

Iip Fariha
6 min readOct 28, 2021

--

Bila rindu membangun koneksi yang positif dengan yang dirindukan. Maka kita layak merayakannya.

Photo by Matthew Brodeur on Unsplash

Oceans apart day after day
And I slowly go insane
I hear your voice on the line
But it doesn’t stop the pain

If I see you next to never
How can we say forever

Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you

— —

Lagu ini sempat ngetrend sejak kemunculannya. Saat itu saya masih remaja SMA yang sedang senang ikut-ikutan. Seorang kawan karib mengenalkan lagu ini, kita menyanyikannya sambil tidur-tiduran bersama di kamar kawan yang lain, dengan suara sumbang dan pengucapan bahasa yang kurang tepat. Kenangan itu tampak konyol namun begitu dirindukan. Sejak awal saya merasakan terpaut dengan lagu ini, baik lirik juga penyanyinya. Hari ini saya ingin membuat narasi tentang kerinduan, dan memilih lagu ini relevan dengan kisah yang ingin dikenang.

Saat lagu ini diputar, saya berusaha membanyangkan ulang saat lagu ini pertama saya dengar dan ternyata terkoneksi dengan perasaan rindu yang mendalam, mengingat kembali kenangan kerinduan waktu itu. Jadi ada rindu yang bertumbuk, Renjana bertumpuk seperti kue lapis.

Rasa rindu itu datang dari rasa kehilangan atas sesuatu yang dirindukan namun pada kasus saya, tidak menimbulkan sedih ataupun kecewa serta emosi lain yang negatif. Hanya kenangan yang kuat terhadap apa yang disebut rindu dendam yang mendalam. ah ruwet ya ternyata emosi itu. Kita perlu belajar lagi tentang Mengenal bahasa emosi.

Kerinduan yang dulu itu adalah rindu pada seorang sosok, yang waktu itupun masih belum jelas namun terus bertahan hingga saya dewasa dan menikah. Mungkin itu pengaruh hormon remaja yang sedang memprovokasi pikiran dan emosi secara alamiah. Seingat kenangan saya, rindu itu berkelindan menjadi cinta, harapan, doa dan juga dosa.

Kalau kini saya urai, pertama saya rindu lagi pada sosok penyanyi Richard Mark yang kala itu masih muda dan bagi saya mewakili sosok ganteng seorang laki-laki. Hemm.. kini saya juga baru menyadari bahwa tampilan visul ganteng bagi saya ternyata diwakili oleh RM. Saya suka gondrong dan ikal rambutnya, suka bibirnya saat tersenyum, sorot matanya yang sendu tapi hangat, garis-garis wajahnya yang tegas dan nyaris simetris. Sikap tubuh dan posturnya yang kala itu tampak macho dan menawan.

Saya tak pernah sekalipun bercerita tentang kriteria ganteng dan cowok idaman, meskipun saat remaja atau saat mulai mencari pasangan hidup. Mungkin karena merasa malu dan terlalu emosional dengan pengalaman relasi sosial semacam itu. Kalau dipikir-pikir RM lebih mewakili imagi tentang diri sendiri yang ingin ditampilkan pada lingkungan. Lebih tampak seperti tokoh unconsious dalam kepribadian saya (the self), tersimpan sebagai the shadow atau animus, kemaskulinan yang tersembunyi. Jika saya laki-laki, mungkin saya akan seganteng dan sekeren dia secara fisik. Ah, ini hanya imagi yang subjektif dari seorang remaja yang sedang membangun self esteemnya. RM hanya hadir tepat waktu, terkenal karena album kedua yang memuat lagu ini merupakan the best hitsnya, album ini terjual 5 juta copy, tentu saja dia digandrungi (mungkin) semua gadis pada saat itu.

Sama sekali tak ada kaitan dengan perasaan seorang perempuan pada laki-laki, bukan laki-laki pujaan yang mungkin diharapkan akan menjadi pacar apalagi kelak pasangan hidup, tapi mungkin juga gambaran ideal secara fisik tentang seorang yang diinginkan. Saya bahkan tak pernah mencari informasi tentang RM atau menjadi fans beratnya, tidak sama sekali. Hanya lagu ini saja dan sekilas bayangan senyuman dan mata yang sendu saja yang masih terlintas dalam kenangan. Ini membuat saya memahami kini, bagaimana sebuah ingatan bawah sadar bekerja dan menggiring kita membuat keputusan suatu saat nanti.

Hal kedua yang membuat rindu saya bertumpuk adalah keinginan untuk berkumpul bersama teman-teman lama, tertawa bersama, melakukan kekonyolan, ngobrol curhat yang tak jelas ujung pangkalnya, lalu merasakan ikatan kelekatan bersama mereka. Tentu saja kami semua sama-sama “menghilang” dan baru bertemu sekitar 25 tahun kemudian, sejak kami berpisah di bangku SMA. Saat ini kami sudah bukan remaja lagi, kita sudah memiliki anak yang remaja jelang dewasa awal yang menjadi objek obrolan kami sekarang. Kami juga sudah memiliki banyak ikatan lain yang membuat kami tak mungkin berlama-lama berbincang. Pekerjaan, pasangan hidup, anak-anak, problem rumah tangga kami, dan masalah kami sendiri yang sedang mulai menyesuaikan diri dengan siklus hidup menuju dewasa tengah.

Kerinduan pada masa remaja, mungkin dialami oleh banyak orang sebagai puber kedua. Tak heran ibu-ibu mudah sibuk keluar masuk salon untuk menyetop proses penuaan dan bila mungkin mengembalikan kulit dan tampilan wajahnya semulus saat remaja dulu. Oh ya, tentu saja obrolan kami juga tentang seputar dokter kulit, klinik kecantikan atau alat-alat modern yang dapat membuat wajah kami seperti kembaran dengan anak gadis kami. Ah.. coba cek ya, apa iya Anda juga demikian? Saya merasa hal ini juga sama konyolnya dengan obrolan remaja, mungkin kelekatan kami yang sama lebih penting dari itu semua. Saya penasaran, “Apakah kawan-kawan laki-laki kami mengalami hal yang sama?”

Hal lain yang membuat tiba-tiba saya mencari lagu ini adalah ketika saya mencoba mengeksplorasi tema kehilangan. Kehilangan yang saya kira awalnya hanyalah karena sebab kematian seseorang yang kita cintai, ternyata dapat terjadi oleh banyak hal. Bila kata kehilangan yang kita gunakan, maka yang muncul mungkin bukan hanya duka ditinggal mati seseorang, tapi juga kehilangan masa muda, kehilangan teman, kehilangan harga diri, kehilangan kesempatan di masa lalu, kehilangan harta benda, kehilangan barang kenangan, kehilangan kemampuan, kesehatan, dan lain-lain.

Sejak terjadi pandemi ini, kita sudah banyak mengalami kehilangan, kehilangan mobilitas, pekerjaan, kebebasan finansial, kesehatan, dan tentu saja nyawa orang-orang yang kita cintai. Kehilangani ini juga dapat terus bertumpuk, menjadi kehilangan harga diri, rasa aman, kasih sayang, dan sebagainya. Kehilangan mengakibatkan rasa duka dan mungkin memicu emosi beragam seperti kesedihan, kemarahan, putus asa, rasa bersalah, penyesalan, depresi atau kerinduan yang dalam. Semua itu normal dalam situasi yang abnormal.

Saya merasakan kesedihan, frustrasi, marah dan rasa berdaya saat berduka, namun yang lebih dominan adalah kerinduan pada kenangan manis dan kelekatan pada objek tersebut. Masa-masa yang kita anggap buruk sebelumnya rupanya sudah lebih tidak mengganggu, dan melihatnya dengan cara pandang baru yang lebih luas, seperti foto lanskap 4 dimensi yang dapat kita putar dan lebih menarik dari foto lama yang buram dan zadul. Tentu tidak mudah melewati masa berduka dan berdamai dengan turbulensi emosi yang menyertainya hingga akhirnya kita mampu menerima, bahkan bersyukur dan menemukan makna yang lebih spiritual dari sebuah kehilangan. Kita membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan emosi kita, menata pikiran untuk tetap waras, waktu untuk mengenang mereka, dukungan sosial, dan cara-cara baru untuk kembali normal atau bahkan justru membuat kemajuan bagi pertumbuhan kepribadian kita.

Kesedihan itu akibat kelekatan pada objek yang akan musnah dan kegagalan memperoleh apa yang didambakan, demikian kata Al-Kindi. Satu-satunya cara menghadapi kesedihan adalah dengan mengaktifkan akal, berpikir logis, bahwa kita tak perlu bergantung pada apapun yang fana, melepaskan ikatan itu bukan sekedar tahu tapi juga ilmu dan amal.

Bagaimana kita belajar menerima, berpasrah diri dan tidak membawa beban dalam hidup kita yang akan membuat kita kecewa dan merasa kehilangan. Sedangkan kematian adalah sesuatu yang hakiki akan kita alami, sehingga tidak perlu ditakuti. Kearifan dipandang sebagai sesuatu yang bernilai besar dan merupakan suatu sarana bagi kebahagiaan yang sebenarnya. Kematian hendaknya tidak menakutkan diri kita karena seperti kata Al-Kindi, kepahitan dari kematian itu bukan karena kematian itu sendiri melainkan ketakutan terhadapnya. Pandangan filsafat Al-Kindi, Khususnya tentang kesedihan, pernah kita bahas dalam suatu webinar bersama komunitas sehat bahagia dengan narasumber M. Arif Mulyadi. Kita semua sepakat Kematian yang Kita Takuti.

Saat ini, saya menyadari bahwa kehilangan lebih rumit dari sekedar kematian. Ketika saya mendengarkan mentor saya Kang Asep tempo hari memaparkan tentang psikologi kedukaan, tangan saya mencoba membantu emosi saya menuliskan kata-kata yang keluar dari pikiran spontan saya hingga menjadi sebuah puisi. Puisi rindu pada orang-orang yang saya cintai, saya mengerti sekaligus dapat menyadari kedukaan bersifat individual, khas pada setiap orang. Setiap orang hendaknya mengembangkan cara-cara yang sehat untuk menerima kedukaan, misalnya dengan memanfaatkan 5 Kunci mengelola emosi dengan cerdas, membuat Jurnal Syukur, menggambar, membuat puisi, menemukan hikmah dan makna dibalik kedukaan, mungkin bahkan kita perlu mempersiapkan kematian sendiri, dengan mencari The Will of Meaning dalam hidup.

Dan saya lebih merindu, untuk berkumpul di syurga, setiap saya mengingat orang-orang yang meninggal dunia, berkumpul kembali dengan orang-orang yang kita cinta.

Kenangan

(Iip Fariha-23 Oktober 2021)

Tentang apa yang aku rasa

Tentang sejarah yang kuingat dalam raga dan bahasa

Bagaimana hadirmu dalam tubuhku

Bagaimana aku mencium kentut juga mencerna senyummu

Aku tak menangisi kepergianmu

Kesedihan karena kehilanganmu bukanlah penderitaanku

Aku tak kehilangan apa yang bukan menjadi milikku

Melepas belenggu kefanaan adalah obatku

Bila kuburan menjadi altar bagi para penduka

Bagiku taman syurga lebih layak untuk yang tercinta

Kepergianmu menyisakan duka tak berdaya

Kehilanganmu menegaskan hadirmu bersamaNya

Untuk orang-orang yang tercinta

Yang kelak bertemu kembali dalam suka cita

Dipintu syurga kuketuk doa

Tuhan kita tak pernah lupa

Bandung, 28 Oktober 2021

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet