The Will of Meaning

Iip Fariha
6 min readMay 5, 2020

--

Semua orang menginginkan hidup bahagia dan bermakna, adakah juga kita sanggup menanti kematian dan menyambutnya dengan suka cita?

Dalam kondisi pandemik covid-19, sangat relevan untuk mengingat pandangan salah satu tokoh Psikologi positif yang dikenal dengan Logotherapy, yaitu Victor Frankl. Meskipun namanya logotherapy namun pandangannya lebih dikenal secara filosofis. Selain itu Frankl memiliki pemikiran tentang manusia yang sangat berbeda dari gagasan gurunya Freud dan Adler. Victor Frankl sebagai salah satu tokoh psikiatri Wina yang kemudian lebih dikenal di dunia psikologi di Amerika dan pandangannya di Indonesia dibawa oleh Bapak Hanna J. Bastaman, psikolog senior Universitas Indonesia (UI). Salah satu guru saya ini, kini masih aktif dan produktif walau sudah berusia 80 tahun, barakallah semoga Allah memberikan kebahagian dan hidup yang bermakna di dunia dan akherat kelak.

Tulisan ini dibuat berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari workshop beberapa hari sebelumnya bersama Beliau dan bersamaan dengan bahasan kasus yang didiskusikan dalam forum grup Whatsapp #selfhealing #Indonesiasehatbahagia yang kini telah berpindah ke telegram. Teman-teman pembaca masih bisa bergabung dengan mengikuti diskusi kasus dan latihan selfhealing yang kita lakukan setiap senin dan kamis. Saya merepost ulang dan menambahkan beberapa catatan di sini agar teman-teman masih dapat membaca dan menjadi rujukan kapan saja.

Victor H. Frankl (1905–1997) adalah seorang Yahudi yang taat. Pemikiran filsafatnya banyak dipengaruhi oleh Existensialisme Nietzsche dan Max scheler tentang spiritualitas. Ia memandang manusia memiliki pilihan hidup (freedom of will ), untuk hidup secara bermakna (the will of meaning), dan mengembangkan nilai (value) agar menemukan kehidupan yang bermakna dan bersifat spiritual (the meaningful of life). Walaupun demikian Frankl menghindarkan pembahasan agama dan tidak melihat hal ini sebagai isu keagamaan.

Kemelut berkepanjangan, keserakahan manusia dan konflik yang meluas, semakin menjadi isu yang kuat pada zaman sekarang. Isu ini saya rasa tidak akan berakhir sampai dunia ini hancur atau kiamat. Frankl menemukan fakta-fakta semacam ini dan terlibat dalam laboratorium hidup yang menguji teorinya sendiri ketika ia berada di kamp konsentrasi NAZI selama tiga tahun. Ia menyadari bahwa dalam situasi pilihan hidup yang sulit, manusia pada akhirnya terpecah menjadi dua. Pertama, golongan saint — manusia suci yang selalu memiliki dan mencari makna hidup — yang akan terlihat ketika mereka dalam kondisi menderita, tetapi masih bisa berbuat baik dan memiliki nurani. Kedua, golongan swine (babi) yang senantiasa menindas, hidup untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri sekalipun dengan mengorbankan orang lain.

Mungkin pembagian manusia ini terlalu dikotomis bila kita langsung menerapkannya pada golongan, partai politik, grup dan sebagainya dalam konteks negara kita. Terutama bila kita langsung memberikan label siapa yang saint, siapa yang swine. Bila demikian, maka siapapun akan terjebak menjadi bagian dari perdebatan dan perseteruan yang sudah pernah terjadi dan terus terjadi pada kubu-kubu yang membawa kepentingan masing-masing itu, di mana mereka saling mengklaim bahwa dirinya yang paling benar dan kubu lain paling salah dan buruk. Meskipun sebagian kita merasa teori ini relevan dengan situasi chaos di negeri tercinta khususnya saat pandemik ini. Namun tidak pada tempatnya kita memberikan penghakiman mengenai tindakan siapa yang benar dan baik.

Kita dapat terjebak pada judgment, penghakiman yang memihak terhadap salah satu dari kubu dan memandang bahwa kitalah yang berada di pihak yang benar (Frankl menyebutnya sebagai sikap otoriter); atau, kita berusaha mengikuti mana yang paling menguntungkan bagi kepentingan pribadi (hipokrit); atau mungkin paling aman menjadi pengekor saja, karena diri sendiri khawatir salah (Kompromistis); atau mungkin kita terjebak dalam ketidakpastian dan terobang-ambing dalam situasi yang chaos (neurotic noetic). Inilah bencana kehilangan makna hidup yang menjadi dasar teori gangguan psikopatologi dalam pandangan Frankl.

Bahasan ini lebih relevan untuk menengok ke kedalaman diri kita sendiri. mari kita melakukan reflektif- merenung dan berdialog dengan diri sendiri mumpung sedang PSPB, pembatasan sosial berskala besar. Frankl sendiri melihat ini pada level pilihan individual. Tidak bercerita ras, agama ataupun partai politik. Meskipun isu yang terjadi pada saat itu terkait konflik NAZI Jerman dengan kamp konsentrasi untuk bangsa Yahudi.

Seperti yang disampaikan, sampai saat ini di Indonesia dan bahkan di belahan bumi manapun, sekat-sekat agama, suku, ras, partai dan lain-lain menjadi bias, terus menerus menjadi isu konflik intern dan bilateral bahkan multilateral. Kita menjadi bingung mana yang benar dan yang salah. Situasi chaos selalu ada, sampai bumi ini hancur karenanya. Walaupun ini kesannya menakutkan, watak bumi ini memang perlahan menuju kerusakan dan kehancuran baik fisik maupun manusia dan peradabannya. Paradoksnya, hal ini menjadi hukum sebab-akibat yang diatur dan diketahui Tuhan, karena inilah medan juang bagi orang-orang baik yang menjaga dunia ini kembali seimbang. Pandangan ini bukan berarti bahwa kita menjadi pasif atau pesimis, sebab bila teman-teman membaca tulisan saya tentang hope maka akan terlihat batas kemampuan manusia dalam menentukan takdirnya. hidup memang suatu perjalanan dimana akan ditemukan kebaikan dan keburukan, hingga bumi hancur karenanya. Apalah artinya suatu perjuangan bila tak ada tantangan?.

Nah, sebelum makin menakutkan dan dibahas oleh penyeru yang selalu mengingatkan pada akhir dunia, ada baiknya kita membuat jarak sementara dengan kondisi dan situasi saat ini saja, agar kita bisa memahami secara jernih, tentang manusia (termasuk kita di dalamnya) yang memiliki problem. Inilah kelebihan lain dari Frankl yang menyadarkan bahwa kita mampu melakukan self-distance (membuat jarak dengan diri sendiri), melihat manusia bukan sebagai masalah, tapi manusia yang menghadapi atau memiliki masalah.

Frankl pernah menyaksikan langsung tipe manusia yang menghadapi hidup dengan baik di antara manusia lain yang bertindak dengan serakah dan bahwa manusia sebenarnya memerlukan suatu acuan nilai dan mengembangkannya untuk dapat hidup secara bermakna. Bahwa manusia sebenarnya memiliki kerinduan pada hal-hal yang bersifat humanis, positif dan memiliki potensi yang baik bila ia mengembangkannya, bahkan bila pun ia dalam kondisi yang tertindas, tekanan mental, kelaparan dan diambang kematian, manusia punya pilihan untuk menentukan dirinya menjadi apa. Potensi positif itu ada, inherent, di dalam diri manusia, sehingga dengan cara pandangnya ini, Frankl termasuk pelopor aliran Psikologi Positif bahkan mengakui sisi spiritual yang menjadi tujuan akhir dari hidup manusia.

Frankl aktif, walaupun secara diam-diam, menebarkan harapan untuk hidup lebih baik atau mati dengan terhormat dan menyambut kematian dengan tetap bahagia pada sebagian orang-orang Yahudi di dalam kamp konsentrasi tersebut. Dia melihat bahwa orang-orang dapat dan masih bisa saling membantu untuk tetap menanggung kesedihan, kelaparan dan menyambut detik-detik akhir kematian mereka dengan bergandengan tangan dan tersenyum. Itulah sebabnya Frankl bisa membuktikan teorinya Meaning of Suffering. Bahkan dalam penderitaan pun selalu ada makna yang berharga. (Apakah dalam situasi sekarang kita bisa meniru Frankl?, menghadapi kematian dengan tenang dan bahkan menyambut Izrail dengan salam, seperti yang dituliskan dalam buku Psikologi kematian karya Komarudin hidayat).

Dari cara pandang ini, kita belajar bahwa sebenarnya potensi dasar manusia yang positif itu selain inheren, tercetak pada garis kehidupan manusia, juga suatu pilihan hidup sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab personal yang melekat pada kebebasannya.

Bagi saya seorang muslim, sikap Frankl ini sangat menarik karena selain Frankl berani sedikit berbeda pandangan dengan gurunya, Freud, yang cenderung melihat manusia hanya dari sisi abnormalitas (konflik antara Id dan SuperEgo) di mana daya hidup dikendalikan oleh dorongan Id yang berisi dorongan seksual sebagai upaya untuk mempertahankan hidup. Frankl mengingatkan potensi manusia tidak didorong oleh konflik namun ada pilihan hidup yang lebih berharga.

Frankl adalah murid Freud termuda dan paling cerdas. Ia sangat dibanggakan gurunya dan tetap menghormati dan mengakui beberapa konsep Freud. Frankl juga murid Adler yang mengakui bahwa manusia memiliki potensi kemanusiaan yang unggul.

Untuk dapat hidup, kebanyakan manusia hanya memikirkan urusan perut sebagaimana dituntut oleh Id (makan, minum dan seksual ). Tapi tentu saja ada manusia yang didorong untuk berkarya, mengembangkan kreasi dan unggul. Frankl melihat manusia lebih mulia karena ia juga bisa memiliki karakter yang positif dan pilihan makna hidup (spiritual). Salah satu jenis value yang dikembangkan oleh manusia menurut Frankl adalah experiential value, di mana value ini hanya akan diperoleh dari penghayatan manusia terhadap keadaan sekitar, hasil refleksi personal tentang hidup dan apa yang diperolehnya dari luar dirinya. Value ini adalah kebenaran, kebaikan, cinta, pemaafan kasih sayang dan lain-lain. Kita mengenal value ini sebagai karakter, akhlak, virtue, living value, dan sebagainya.

Setiap orang memiliki kebebasan yang bertanggung jawab untuk memilih dan berbeda dalam cara pandangnya melihat hidup, bagaimana menjalani hidupnya dan apa tujuan hidupnya. Jadi fokus kita apa karya yang dapat kita lakukan ( creative value ) atau apa maknanya (experiential value ) yang dapat kita rasakan.

Kembali lagi pada konteks pandemik saat ini, hal yang paling dihindari adalah kematian terpapar covid-19. sekalipun setiap hari selalu ada manusia yang meninggal, namun kali ini kematian tampak begitu lebih nyata. Dan barangkali kita masih saja disibukkan dengan mencari makna ini. Saya sebagai muslim teringat pada pedoman dasar sebagai seorang muslim, yaitu alquran dan perkataan Nabi SAW. Saya kutip perkataan Nabi SAW yang saya temukan di buku Bidayah al Hidayahnya Al Imam Al Ghazali, “Aku tinggal­kan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam.” Pemberi nasihat yang berbicara adalah Alquran, se­dangkan yang diam adalah kematian.

Ketakutan semua manusia yang paling besar adalah didatangi Malakal maut, terutama bagi kita yang masih lalai dan hidup tanpa tujuan. Covid-19 memberikan pelajaran yang berharga agar kita merenungkan kembali makna hidup yang akan memberikan jaminan kebahagian di dunia ini dan bilapun kematian mendatangi, itupun disambut dengan suka cita. Siapkah?

Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia akan memberi­tahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan’ (Q.S. al-Jumuah: 8).”

Bandung, 4 April 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet