Mencari Cinta di Bulan Februari
#ngobrolasyikpsikodrama
Tahun ini, bulan depan genap 25 tahun kami menikah. Kebetulan bulan Februari juga bulan saat saya lahir lebih dari 40 tahun lalu. Ada orang yang mengasosiasikan menikah dan februari adalah momen penuh cinta. Saya perlu merenungkan ini, karena waktu dan konteks dapat berbohong ketika kita melupakan esensinya.
Akhir tahun lalu, November 2019 saya sedang menemukan semangat baru untuk memulai sesuatu yang berbeda. Saya baru saja pulang dari Bali bersama suami. Bali bagi sebagian besar pasangan romantis adalah tempat bulan madu menyicip mesranya awal pernikahan. Saya datang ke Bali, yang pertama kalinya ini, tidak ada kaitan sama sekali dengan perkawinan. Momen yang mungkin saja tetap akan sangat berharga bagi kehidupan keluarga kami. Kami sudah menikah terlalu lama untuk terbius dengan romantisme sesaat. Tentu saja saya bersyukur antara harus menjalani operasi di rumah sakit atau mengikuti workshop souldrama selama empat hari bersama Connie. Detik terakhir saya mengambil keputusan bahwa saya berkesempatan sehat dan mampu menjalaninya sampai saya kembali adalah hadiah bulan madu kami. Berada di tempat ini, Bali saya ingat kembali barangkali memang seharusnya perlu dikunjungi oleh pasangan yang saling mencintai. Saya tahu telah berjuang untuk itu, tanpa ada rasa kesakitan pada tubuh fisik saya yang seharusnya memerlukan tretment medis.
Keajaiban itu memang terus berlangsung hingga kini. Connie mengatakan bahwa saya akan memiliki kehidupan yang baru, itu dia katakan sesaat saya perlihatkan sebuah coretan gambar yang saya buat dalam keadaan trance pada satu sesi souldrama. Ada sebuah pohon kecil yang hanya memiliki satu daun saja, seperti sebuah harapan atau sebuah misi dari pohon sumber yang memberinya daun tersebut. Ada lambang cinta di sana yang menandakan bahwa kehidupan ini hadir karena limpahan cinta tak bersyarat yang hanya diperoleh dengan kepasrahan pada yang Maha Cinta sumber kekuatan yang membuat manusia mampu berkarya bersamanya, co-creation. Saya pulang bersama suami dengan membawa kartu merah, simbol transformasi yang saya dapatkan dalam workshop itu. Itu adalah momen yang sulit untuk dijelaskan dan memberikan saya suatu tanda bahwa kami mungkin perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi hal yang lebih dahsyat di kemudian hari.
Psikodrama memberikan sumbangsih bagaimana saya belajar menjadi lebih respek pada diri saya sendiri. Sudah cukup lama saya belajar sejak lulus kuliah dan mendapatkan bekal praktek sebagai psikolog. Kelak saya tak pernah merasa cukup dan terus belajar terutama terkait teknik dan pendekatan baru. Saya menemukan guru-guru yang hebat, setelah dosen-dosen di kampus dulu. Kang Asep Haerul Gani, Kang Gimmy, Ibu Sawitri, Ibu Gamayanti, dan lain-lainnya. Memilih untuk terjebak pada problem yang membawa kita menyerah atau menemukan sumber daya lain yang memberi kita harapan, memang tidak seperti memainkan dua mata uang. Kita masih sering memutar-mutarnya dan menjadikan hidup kita sangat dinamis.
Kita selalu memiliki sisi kurang sebagai manusia, dan pada saat yang sama kita memiliki potensi dan kesempatan untuk bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Syukurlah, setiap momen yang membuka peluang itu, saya hadir dan berharap diri saya sebagai alat Tuhan untuk menyalurkan kembali ilmu yang saya peroleh dari guru-guru saya. Itulah cara saya berterima kasih pada mereka. Kita tak perlu lupa tentunya, ada kawan-kawan dan komunitas yang memberikan kesempatan untuk melakukannya. Kita hanya bisa bertumbuh pula bila ada orang lain yang bersedia menampung kelimpahan yang kita lepaskan juga menopang sisi kurang dan gelap dari bayangan kita di sisi lain. Itu semua tak bisa terjadi bila kita hanya sendirian. Kita adalah satu dalam kelompok, meskipun mungkin hanya berdua bersama pasangan kita. Sebagai pasangan, mungkin sayapun mengalami Babak belur pernikahan.
Pandemi telah berlalu satu tahun lamanya, keberadaan komunitas dan pola relasi dalam kehidupan kita yang baru ini semakit terpola. Kita memang memerlukan kesempatan kedua untuk menata hidup, memaknakannya, lalu mensyukurinya. Satu tahun pula saya mencoba mengajak orang lain terlibat dalam kegiatan online, yang kita kenal dengan webinar. Psikodrama online itu sebuah hal baru yang tak akan pernah terbayangkan sebelumnya, bahkan Moreno Bapak psikodrama kita tak pernah melakukannya. Saya yakin itu, apa yang kita lakukan memang sebuah kehidupan baru.
Mencoba terhubung satu sama lain dan memberikan dukungan untuk menciptakan keseimbangan hidup. Kita tak bisa mencintai diri sendiri tanpa memberikan dan menerima cinta dari orang lain. Kehadiran kita dalam kehidupan ini tidaklah berarti tanpa hadirnya orang lain. Bukan hanya antara aku dan kamu sebagai pasangan hidup, tetapi juga sumber awal ikatan cinta kita dengan orang tua, saudara, dan persaudaraan sebagai manusia.
Terlintas dalam pikiran, mungkin akan menjadi masalah baru ketika kita bergantung penuh pada orang lain dan melupakan bahwa di dalam diri sendiri sebenarnya sudah lebih dari cukup dengan cinta. Namun, ketika merasa cukup mencintai diri sendiri, apakah kita tak mungkin terjebak dalam situasi selfish? hanya peduli dan mengakui apa yang dipikir dan dirasakan bahwa itu miliknya pribadi padahal tidak. Jadi bagaimana mencintai dan dicintai itu?. Apakah suatu relasi transaksional atau sesederhana take and give?
Mencoba mendefinisikan tentang apa yang baru dalam hidup yang saya jalani, mungkin dapat menjadi refleksi yang juga terjadi pada semua orang dalam grup. Mari kita mencoba menjelaskan wujud cinta yang dimaksud dan menjadikannya nyata, karena wujud cinta mungkin berbeda-beda dan karenanya tidaklah mudah mengenalinya. Harapan yang kita usung sering menjadi tabir diri, kepasrahan dan penerimaan untuk tidak memaksa seseorang menggunakan sepatu yang kita pakai tidaklah sederhana. Melihat sisi baik dari setiap keragaman dan menjadikannya indah bagi kebersamaan kita di dunia, tampak seperti kota utopia. Kenyataannya kita berjuang melawan konflik yang kita ciptakan sendiri, terkadang kita sesungguhnya mungkin hanya melihat kepentingan dari sudut diri sendiri.
Memaafkan diri yang terbatas dan menerimanya sebagai bagian dari kecintaan pada diri sendiri juga tak mudah. Banyak orang terjebak untuk menyalahkan diri bila tidak sama dengan orang lain lalu menjadi pribadi yang tak percaya pada dirinya sendiri. Menyerah pada yang dicintai dan meleburnya dalam kepatuhan dan kepasrahan. Mungkin ya, bila ia adalah sumber cinta yang tak pernah habis dan mendustai. Apakah yang kita cinta tak akan berdusta tentang cintanya. Saya yakin tidak, bila yang kita maksud adalah sumber pemberi cinta sesungguhnya.
Belajar psikodrama, katanya dapat belajar tentang cinta. Bagaimana melakukan psikodrama? Anda dapat mempelajarinya secara konsep, banyak konsep yang dapat kita telusuri. Spontanitas psikodrama akan membawa pada perenungan dan penghayatan yang mendalam dan paling relevan dengan kedirian masing-masing. Setiap orang perlu mempersiapkan dirinya sendiri. Kita dapat saja kita menjadi semakin liar dan menggila. Gila karena cinta.
Jadi cinta itu apa?. Connie Miller menyebutkan bahwa ada co-dependensi dalam hubungan anak dengan ibu yang menjadi pola pembentukan cinta pertama. Co-dependency adalah kehilangan hubungan dengan diri sendiri ( Miller, 2000)
Seseorang selalu terjebak untuk mencari validasi dari luar diri sendiri sendiri. Mungkin ini terkait dengan pola kelekatan pertama yang di pelajari dari pola kelekatan terhadap orang tua terutama sang ibu. Lalu pola ini menjadi peran yang dimainkan untuk mendapatkan cinta. Cinta menjadi adiksi untuk menunggu perasaan dicintai yang datang dari luar diri sendiri ; addicted to the potensial of love.
Jadi apakah cinta dapat menimbulkan adiksi? Sebagian orang berharap hanya dengan model cinta yang kita inginkan maka kita merasa telah menemukannya. Seperti ketika sepasang kekasih, hanya mengira bahwa dengan pergi ke Bali mereka akan mampu menemukan ikatan cinta diantara mereka. Melalui perayaan yang hanya ada di bulan februari lantas orang menemukan cinta sejatinya. Barangkali hal tersebut bisa saja terjadi, tetapi apakah kita sudah menemukan dimana jantung hati yang menyimpan esensi cinta tersebut.
Saya tidak dapat memaksa orang untuk menemukannya dari teori atau penjelasan ini. Saya hanya merasa apa yang ada dalam diri sendiri, mencoba merenungkan bahkan dalam bentuk simbolis seperti tentang kedudukan pohon besar yang saya gambar saat itu. Barangkali sumber cinta yang dimaksudkan itu sudah saya temukan, sebagai awal tumbuhnya pucuk baru yang memberi saya kesempatan untuk memahami cinta. Mencintai diri sendiri, karena aku tahu itu hal terlogis dan layak diberikan kepada diri sendiri setelah aku hidup. Sesederhana kita memberikan cinta itu pula kepada orang lain yang menjadi bagian dari kehidupan kita sendiri. Mungkin dia adalah pasangan, teman, guru, bahkan orang yang memusuhi kita dan orang-orang yang tidak kita kenal dan selama ini kita abaikan. Itulah cinta yang hadir dalam relfeksi psikodramaku.
Jadi apa artinya cinta bagi anda?
Bandung, 13 Februari 2021