Dukungan Emosional
Ini adalah tulisan akhir tahun yang tidak sempat saya publish. Ketika itu ada situasi emosional yang membuat saya tak mampu berkata. Terkadang kata-kata tak mencukupi atau tak dapat menggambarkan situasinya atau situasi tersebut justru membungkam kita. Seringkali kita tergoda untuk memberikan dukungan emosional dengan mengatakan bahwa kita mengerti mereka, sepertinya tidak selalu demikian kenyataannya.
Saya tidak bisa membantu menyelesaikan masalahmu, tapi saya mengerti perasaanmu. Saya akan selalu mendukungmu. Sering sekali kata-kata ini muncul dalam dialog pertemanan. Apa maksudnya dengan memberikan dukungan secara emosional?
Kita sering memerlukan dukungan emosional dari kawan, keluarga atau orang-orang dekat lainnya. Terkadang tekanan emosional yang dialami seseorang memerlukan penyaluran dalam bentuk ekspresi verbal seperti curhat atau mungkin nonverbal, seperti menangis, berteriak, mengurung diri atau sementara hanya diam saja.
Tidak mudah memberikan dukungan emosional, saat kita tidak memahami apa yang diperlukan persisnya oleh orang yang kita ingin bantu. Mungkin memberikan ruang untuk ekspresi emosi yang beragam tersebut sudah memadai atau memberikan waktu yang lebih lama untuk menenangkan diri sehingga yang bersangkutan mampu mengendalikan diri dan dapat bersikap lebih rasional. Kita tidak dapat menghakimi seseorang yang sedang mengalami tekanan emosional. Serupa dengan orang yang stress pada umumnya, akan banyak pola pertahanan diri yang dilakukan orang untuk menjaga keutuhan pribadinya. Tidak perlu bersikap terburu-buru untuk memberikan dukungan yang tidak semestinya dan justru menimbulkan masalah lebih lanjut.
Dukungan yang Meracuni
Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca bahasan yang sempat viral di media mengenai toxic positivity, toxic-positivity-saat-ucapan-penyemangat-malah-terasa-menyengat-dhLM
Memberi dukungan dapat menjadi sikap ambiguitas dari ekspresi emosi, yaitu dengan memberikan penekanan pada kalimat-kalimat positif yang sebenarnya tidak sesuai konteks. Karenanya istilah ini juga tidak mengacu pada sikap atau ekspresi emosi positif, tetapi lebih cenderung pengabaian emosi, penolakan dan pengalihan emosi. Sehingga bagi seseorang yang pada dasarnya tidak benar-benar sadar diri dan menerima terhadap apa yang terjadi, akan sangat mungkin mengekspresikan emosi dengan cara yang kurang sinkron. Ketika terjadi penolakan, respons otomatis dari ekspresi emosi tidak dapat ditutupi oleh penjelasan verbalisasi, maka ia tentu akan kesulitan pula untuk memahami kehidupan didalam dirinya (innerlife) dengan akurat.
Kasus ini akan tampak seperti ketika seseorang mengatakan, “Saya baik-baik saja kok”, namun di dalam hatinya ada kemarahan dan kejengkelan yang luar biasa. Katakanlah ia dipermalukan di depan publik, tetapi ia memaksa dirinya untuk mengatakan dirinya baik-baik saja, sebagai penguat baginya agar tidak memperlihatkan tindakan sebaliknya yang dapat membuat dirinya dianggap negatif. Ia mengabaikan kemarahannya dengan tetap bersikap tenang, namun di hatinya ada rasa dendam yang tersembunyi.
Akan sangat berbeda dengan orang yang menanggapi perundung dengan tenang dan tetap mengekspresikan kebutuhan emosinya dengan tepat. Misalnya ia dapat saja memang mengabaikan tindakan orang tersebut dan secara rasional hal itu dipersepsi tidak terkait dengan harga dirinya. Responsnya adalah pengabaian atau memaafkan tindakan tersebut sehingga tidak ada gurat kekesalan dalam hatinya. Dengan demikian kata-kata “baik-baik saja” memang sinkron dengan kondisi hatinya saat itu.
Di lain pihak, orang lain mungkin mengira telah memberikan penguatan pada orang lain dengan mengajak berpikir dan menghayati sesuatu secara positif pada situasi yang sebenarnya tidak sinkron dengan orang yang dihiburnya. “Kamu baik-baik saja kan? Kamu masih bisa tertawa dengan kita kan? Bersyukurlah, kita masih banyak teman”. Penghiburan sepertinya tidak selalu tepat, bila kita tak memastikan kebutuhan emosional orang yang bersangkutan dipenuhi sesuai dengan konteksnya. Akan lebih baik bila kita menanyakan lebih jelas, agar ucapan, perasaan dan gestur emosi yang ditampilkan memang dipahami dengan akurat.
Menenangkan Diri
Melakukan upaya menenangkan diri sendiri/self shooting memang bagus, bahkan perlu dilatih. Namun hal ini berbeda dengan pengabaian emosi, pengalihan atau penolakan terhadap situasi emosional yang dihadapi. Melatih untuk menenangkan diri sangat berguna untuk mengelola emosi dengan baik dan sehat. Ketidaknyamanan dalam tubuh dan kekacauan dalam pemikiran, dalam jangka pendek dapat dikelola dengan beberapa teknik sederhana. teknik grounding untuk menenangkan diri sangat beragam, dari mulai meditasi, butterfly hug, dan lain-lain seperti 5 Kunci mengelola emosi dengan cerdas. Anda juga dapat membacanya pada tulisan saya yang lain sebelumnya tentang ekspresi-emosi-apakah-emosiku-lebay-
Bila Anda berhadapan dengan situasi buruk seorang teman, akan lebih baik bila bertanya seperti dialog berikut ini:
“Aku lihat kamu dipermalukan, apa yang kamu rasakan? Kamu diam saja dan tidak membalasnya?” Mungkin dia menjawab, ”Ok, aku baik-baik saja. Aku tak terganggu dengan ocehannya.” Bila dia berkata demikian dengan bahu dan langkah kaki yang tampak santai serta tatapan tenang, mungkin kita dapat saja lalu meresponsnya dengan, “Baiklah, kita bisa kongkow di kantin dan ngobrol bareng yang lain, bersyukur kalau kita masih punya banyak teman yang lain.”
Poin utamanya adalah penerimaan terhadap emosi yang ada dalam diri, yang didasarkan akan kesadaran diri yang akurat. Adapun ekspresi emosi yang tepat meliputi cara kita menyalurkan energi yang menyertai emosi ini, perlu disesuaikan agar dapat diterima oleh lingkungan sesuai konteks dan normanya. Walaupun pola ekspresinya dapat sangat beragam, kesadaran yang utuh akan memberikan peluang untuk menyampaikan pesan emosi yang sebenarnya. Karena emosi adalah bentuk komunikasi kita dengan lingkungan juga, maka respons balik dari lingkungan akan lebih diharapkan untuk tercipta secara koheren. Proses relasi dan interelasi individu akan lebih mudah dan nyaman bila pesan selalu disertai oleh warna emosi yang disampaikan dengan tepat dan terkendali.
Bandung, 19 Maret 2021