Aku dan Psikodrama Keluargaku

Iip Fariha
7 min readDec 20, 2021

--

#ngobrolasyikpsikodrama

Photo by Mat Napo on Unsplash

Self Awareness atau kesadaran diri adalah salah satu kata kunci yang sering menjadi fokus dalam proses konseling ataupun psikodrama. Kesadaran diri merupakan pengetahuan tentang karakter, perasaan, motif, dan keinginan diri sendiri. Kesadaran diri sesungguhnya sebuah skill sekaligus kesiapan diri untuk Menerima Diri Apa Adanya. Prosesnya terkadang menyakitkan tetapi mengarah pada kesadaran diri yang lebih besar.

Menemukan kesadaran diri yang autentik bukanlah hal mudah. Banyak orang menginginkan “wajah yang cantik dan mulus muncul saat kita menatap cermin”. Tetapi “wajah kita” yang asli tidak selalu sama dengan apa yang kita pikirkan, terkadang kita membandingkan dengan orang lain atau membayangkan wajah indah seperti idola atau standar sosial yang kita comot begitu saja dari medsos atau iklan. Tidak mudah melakukan proses refleksi, bercermin dan menyadari diri yang sesungguhnya tanpa menghakimi diri sendiri atau menyalahkan lingkungan.

Kesadaran diri adalah kemampuan untuk melihat diri sendiri secara jelas dan objektif melalui refleksi dan introspeksi. Maka selain diperlukan keberanian diri, kesiapan untuk menerima pantulan dari cermin, juga kita perlu menggunakan cermin yang jernih dan objektif. Proses itu sendiri dapat memberikan peluang keberhasilan atau kegagalan. Sejauhmana kita mampu membangun kesadaran diri dan selaras dengan realitas, apapun hasilnya akan berkontribusi pada bagaimana kita akan bersikap terhadap penilaian tersebut.

Kita tahu, bahwa sejak tersedia kamera dan aplikasi yang canggih, potret wajah kita seringkali sudah diedit otomatis bahkan dapat kita koreksi ulang untuk menampilkan citra diri yang lebih sesuai dengan keinginan publik. Bila hal ini masih bersifat sementara, maka gaya hidup untuk mengoreksi wajah melalui proses operasi plastic menjadi trend baru dalam dunia kosmetik. Walaupun mungkin saja, wajah kita malah menjadi wajah yang memiliki karakteristik yang nyaris seragam juga karena mengikuti standar yang sama tentang kriteria wajah cantik, Gangnam style. “Bagaimana bila, suatu hari nanti, kriteria ini berubah, apakah kita perlu juga melakukan reka ulang wajah kita?” Bukankah kriteria kecantikan pada setiap jaman berubah. Sekedar mengingatkan, dulu ada jaman dimana muka chaby, postur gemuk dan rambut keriting menjadi idola, tak lama kemudian, para gadis mendambakan postur ramping, rambut lurus dan kulit pucat. Baiklah, saya hanya memberikan gambaran tentang tampilan ketubuhan yang juga menjadi bagian dari kondisi fisik kita yang juga sering ditolak. Mungkin kita perlu belajar lagi untuk menatap potret-diri yang asli melalui cermin dan gambar yang kita buat sendiri. ha ha ha..

Bagaimana bila ini tentang kondisi batin kita, kepribadian kita, keinginan, kecenderungan dan harapan-harapan yang mungkin out of the box. Akankah kita juga bersembunyi dari realitas yang ada? Bahwa mungkin diri yang ini juga tidak sesuai dengan pikiran orang kebanyakan?

Teori tentang self awareness didasarkan pada gagasan bahwa Anda bukanlah pikiran Anda, tetapi entitas yang mengamati pikiran Anda; Anda adalah pemikir, terpisah dan terpisah dari pikiran Anda (Duval & Wicklund, 1972).

Tak bisa dipungkiri, kita perlu belajar untuk memikirkan secara mendalam, tentang apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan dan apakah tindakan-tindakan kita sesuai harapan atau mengacu pada norma yang kita anut atau memaksakan diri pada apa yang diharapkan oleh lingkungan. Proses refleksi adalah proses menilai diri. Belajar bersikap objektif itu tak mudah, karena kita yang berpikir dengan kita yang mengamati diri kita adalah pribadi yang sama.

Itulah sebabnya saya menggunakan berbagai cara untuk memancing proses ini secara alami dan tidak terlalu menyakitkan. Psikodrama, gambar juga jurnaling adalah sebagian dari alat-alat saya untuk melakukan eksplorasi ini. Kelas psikodrama yang dirasakan nyaman oleh peserta memudahkan mereka untuk melewati prosesnya dengan alami dan santai. Salah satu hal yang sering kita latih melalui permainan psikodrama adalah belajar jujur pada diri sendiri. Walaupun terkadang tidak semua orang mau menerima dan bersiap diri untuk masuk ke kedalaman batinnya dan berteriak dengan lantang, “That’s Me!” atau “Here I am, ha ha ha…

Saya sangat apresiasi seorang peserta psikodrama berikut ini, yang selalu bersemangat, walaupun saya sempat mengodanya, “ Ah lu lagi, lu lagi, ha ha ha…

Saya memang merasa si pemeran “drama queen” ini memang telah jatuh cinta dengan psikodrama. “Ok, mari kita mainkan!” Saya pastikan, Anda akan mendapat banyak pembelajaran dari “the queen” ini.

##

Aku dan Psikodrama keluarga

Psikodrama dalam keluarga. “Ih — menarik nih”! Bayanganku, pasti akan diajak seperti bermain peran.. wajar dong, namanya aja psikodrama.

Nah, Sebagai “pemain drama” di kehidupan sehari-hari (hahaha — yas — people said that I’m a drama queen; I’m a drama-maker) pastilah kata tersebut langsung menarik perhatianku. Saking tertariknya, aku mendaftar 1 TAHUN in advance! Haahahaha — acara buat tahun 2021, aku ndaftar di 2020, dong.. haahahhaha — apa namanya kalau gak dung-dung? Aih-jadi senyam-senyum sendiri.

So, balik ke sesi: psikodrama dalam keluarga. “Gimana?, Ada drama-nya? Ada peran yg dimainkan?, Terus, ambil peran sebagai apa? Si anak? Atau si kaka? Atau…?”

“Aiih — surpriseeee! No peran-peran dong.. haahahha… “

Tiba-tiba kami dihadapkan pada sebuah gambar ruangan, besar. Ditengahnya ada meja, besar juga, yang saking besarnya, di sekililing meja itu ada 6 kursi yang juga besar-besar. Meski besar, ruangan itu tidak terkesan kosong. Di sekitarnya ada banyak benda-benda lain, rak, buku, tanaman, dan beberapa benda lainnya. Kalau gak salah, ada jendela juga. Besar kah? Besar juga.. :D

Ditanyalah “Apa yg dilihat dari gambar ini?

“O’ow, dalam hati saya, mesti nih — orang-orang pada fokus ke area tengah dan bawah. Ah, saya ingin beda: lampu! Hahha — saya katakan, saya lihat lampu!”

Eh, ternyata itu lampu, jadi bisa kasih saya banyak insight tentang bagaimana peran saya dalam keluarga, tentang bagaimana saya menempatlkan diri saya, diantara keluarga saya, tentang bagaimana saya (pikir), saya mewarnai keluarga saya..

Da, gak kepikir kalau itu si lampu bisa menjadi sentral dari “riuh”nya suasana dalam gambar foto tersebut. Apapun yang dilakukan di ruang itu, kalau lampunya off, gak akan “jadi” juga. Siapapun orang yg ada di ruangan itu, kalau lampunya off, ya gak kece juga aura yang ditimbulkannya. Bahkan, misal dalam kondisi siang pun, itu lampu, hampir dipastikan akan selalu nyala setiap ada kegiatan diruang tersebut. (iya — kaan?)

So, it feels like, I’m a live to be with my family. I’m with my family. Fot the goods and the worse, I’m with them.. satu awareness baru yang membuatku (lagi-lagi-lagi dan lagi) dipenuhi rasa syukur.. ruang, menjadi metafora untuk keadaan keluargaku, apapun keadaannya, aku hidup bersama mereka. Walaupun aku tidak menerangi mereka, tapi aku tetap ada bersama mereka. Lalu aku punya pilihan: mau hidup dan menerangi, atau off — just be in there.. diatas segalanya, aku hidup dan aku ada bersama keluargaku.

Lalu, “Berapa skala nyamanku bersama keluarga?”

“Kalau dulu, aku pasti nyatakan skala 10! Gimana enggak, segala reaksi emosi bisa tumpah ruah as it is.. (ounch — bad me!). but then, pertanyaan itu membuatku benar-benar berpikir lagi.. is it like that? Pernahkah terpikir, bahwa orang-orang di sekitarku, anak-anakku, pasanganku, ibuku, ayahku, justru adalah orang-orang yang harus ku jaga hati, perasaan dan pikirannya?

Dibanding orang-orang di luar sana, orang-orang yg baru kukenal, orang-orang yang mungkin, hanya ada saat aku (dan mereka) bahagia, mana yang lebih prior? Kalau memang keluargaku, kok bisa-bisanya, mereka malah menjadi pihak yang menampung segenap emosi dan reaksi negatifku, ya…? Ya, meski — reaksi positif juga; tp jujur deh — porsi mana yg lebih besar? (kalau aku) reaksi / emosi negatif. Saking beliefnya kalau, home is where we can put our mask within.. kasian banget, keluargaku kok malah jadi penampung “all my claw”, yak?”

Subhanallah.. awareness kedua! Is it tru? Jedag-jedug keuheul sama diri sendiri! Unch! But thanks, hadirnya kesadaran ini membuatku (lagi-lagi) punya pilihan, dan kubersyukur atas hal itu.

Ketiga! Dihadirkan gambar lain: rumah! Tampak depan, padahal bagus. Ada kotak pos, pagarnya juga bagus, tanaman-tanaman, jendela pintu dan ornamen lain khas-nya rumah yang home-sweet-home. Aku lupa deh pertanyaan persisnya, kalau gak salah: “Mau jadi apa di gambar tersebut?”

“ Laaah — ku jawab dong: BURUNG! Gak ngerti juga, kenapa burung? Tapi, lagi-lagi aku gak mau sama dengan yg lain. Aku ingin beyond, aku ingin menghadirkan sesuatu yg unik, khas, dan beda. Jadilah eta kata “BURUNG” muncul. Hihhihi. Kenapa burung? Ntah. Tapi lagi-lagi jadi terinspirasi dengan bagaimana “burung” bisa menghadirkan suasana yang menyenangkan buat semua orang. Lalu, burung itu, kalau enggak segitunya dicintai sama pemiliknya, gak akan bisa jadi yang mewarnai suasana di satu rumah.. ya kan? “

So, yes — I’m framing my self to a little bird, a bird who always sang whenever they want, a bird who fulfill a family with a cheerfull-senstion, burung yang punya kekuatan magis untuk melekatkan masing-masing anggota keluarga dengan kehadirannya, dan dalam situasi tersebut, burung punya kuasa dan kehendak untuk menghadirkan “ceriwis”nya untuk keluarga, atau untuk orang lain. Inside, or outside. Atau, keduanya: inside and outside.

So, 3 kesadaran baru yang benar-benar menggugah makna dan peranku dalam keluarga. Ada proses menelusuri kembali jejak value, nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan yang kuhadirkan, termasuk saat berinteraksi dengan keluarga. Menelusuri kembali rekam jejak peran dan tindakanku kepada masing-masing anggota keluarga, sampai akhirnya menghadirkan makna baru atas bagaimana aku ingin menjadi (being), dalam keluargaku.

Jika masyarakat Sulawesi Utara punya semboyan Sitou Timou Tumou Tou “Manusia Hidup dengan Menghidupkan Orang Lain” (DR. Sam Ratulangi), Rasulullah mengajarkan untuk “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR Ahmad). So, kepada siapa kamu akan menjadi yang paling bermanfaat?

Kalau aku: keluargaku, keluargaku, keluargaku, lalu orang-orang-orang lain.

-dari yg sedang nulis sambil mbrebess mili. Mana tissuku??-

20211220

Many thanks to The IIP, The Ciko, Pak Gentur, The Lucky, and all fame-member from

Psikodrama untuk Keluarga.

Love you all

##

Thaks to you, wise to share your love here.

Bandung, 20 Desember 2021

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet