Potret diri

Iip Fariha
4 min readOct 21, 2020

--

Wajah Anda yang mana yang ingin anda perlihatkan pada dunia?

Sejak ada gawai cerdas banyak fungsi kantor dan sosial langsung dapat dikendalikan melalui jari di tangan kita. Entertain dan hobi memotret juga terfasilitasi oleh kehadiran kamera yang makin canggih yang sering menjadi fasilitas wajib bagi gawai kekinian. Hasil foto ter-update sekaligus dapat disebarkan ke media sosial untuk di pamerkan. Potret diri yang tampil di medsos seringkali lebih indah dari yang aslinya.

Kita cenderung ingin memperlihatkan sisi paling baik dari diri kita. Tidak salah, tetapi tidak juga selalu baik. Terkadang foto yang kita ambil melalui kamera canggihpun tidak selalu bagus, hal itu menjadi tekanan tersendiri tatkala hasil jepretan tidak sesuai harapan. Mumpung sangat mudah melakukan pengulangan dan modifikasi gambar, maka teknologi memberikan harapan untuk dapat memenuhi keinginan.

Saya tidak memiliki keterampilan dalam membuat gambar, memotret ataupun menggunakan teknologi kamera. Walaupun kamera canggih sekalipun, seni menggambar tampaknya perlu diasah melalui kepekaan dalam dimensi visual, pencahayaan, warna, kepekatan, resolusi dan lain-lain. Syukurnya saya tak terlalu perlu menjadi seorang seniman, saya lebih tertarik menggunak seni dalam kaitannya sebagai proses healing dan terapi. Dalam area ini, hasil akhir gambar bukanlah pertimbangan utama. Dalam terapi, seni adalah media, proses membuat karya seni itulah yang kita hayati, sebagai eksplorasi penting suatu dinamika yang terjadi dalam diri kita yang tersembunyi.

Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman melakukan kegiatan rutin berbagi dan berdiskusi. Ini adalah grup seperjuangan yang dipersatukan oleh garis takdir dalam aktivitas bipsis di masjid salman ITB Bandung. Kami melakukan diskusi tentang art therapy. Nara sumber adalah kawan sejak kuliah dan tampaknya tidak pernah jauh-jauh dari kehidupan saya. Kami semua memang merasa nyaman untuk berdiskusi apapun, mungkin karena ada banyak hal yang mirip diantara kami, salah satunya adalah minat dan nilai-nilai yang beririsan dalam kehidupan kami. Terlebih yang satu ini juga tampaknya mengenal saya dengan baik. Selain itu sejak saya belajar psikodrama, saya tak pernah terlalu khawatir dengan penampilan diri di ruang publik. Lingkungan yang terbuka dan nyaman akan membuat kita siap untuk belajar dan membuka diri. Yang akan kita lakukan adalah proses self awareness, kegiatan reflektif dan eksplorasi diri. Prinsip ini digunakan dalam teknik Psikodrama dan art therapy yang memiliki akar teori yang sama, Psikoanalitic Jung.

Sehingga ketika tiba kami sharing tentang eksplorasi diri dengan jurnaling gambar, saya merasa tertantang untuk melakukananya. Sederhana saja alasannya, ilmu apapun akan bermanfaat bila kita mengamalkannya. Bila itu membawa kebaikan pada kita, maka selayaknya, mengamalkan ilmu juga sebagai bentuk terima kasih kita pada guru, mentor siapapun mereka. Guru dan mentor kita bisa saja anak, rekan kerja, teman bermain, nara sumber seminar, dan sebagainya. Kawan saya ini, memang guru saya dalam hal belajar mengekspresikan diri melalui art. Maka sayapun merasa layak untuk mencoba prosesnya.

Art therapy memang tidak menilai keindahan gambar atau hasil akhir, kita perlu merasakan proses dan makna simbolik dibalik gambar yang kita buat. Terlebih dari gambar potret diri yang sulit dibuat oleh amatiran seperti saya, tentu tak mungkin melihat gambar dari kemiripan dengan aslinya, seperti hasil jepretan kamera cerdas. Gambar potret diri ini juga bukan bertujuan untuk membuat karya seni, walaupun sebagai sebuah karya, mungkin saja tetap bernilai seni. Siapa tahu bila kita mengasah teknik gambar kita sehingga lebih baik, gambar-gambar ekspresif ini patut untuk dipasang di galeri seni. Walaupun bukan itu tujuan utamanya.

koleksi pribadi

Potret diri yang biasa kita pajang, umumnya ingin menampilkan hal-hal indah dan bernuasa membangun citra diri yang positif, dalam jurnaling ini justru kita mengenali emosi-emosi yang terutama negatif yang mungkin biasa muncul dalam ekspresi muka yang seringkali tak disadari. Bahkan saya sendiripun tak pernah tahu. karena siapa pula yang ingin menampilkan diri atau ada kamera perekam yang memperlihatkan dirinya sendiri sedang buruk rupa. Kita memaang akan menolak hal-hal buruk, menolak sekaligus mengabaikan karena kitapun tak suka. Lantas kita lengah dan tak pernah memahami betapa terkadang ekspresi “buruk” itu sebenarnya sering tampil di lingkungan. Alih-alih kita sadar seperti apa tampang kita, orang lain yang melihat sudah sangat tidak nyaman dan menghindar dan segera menjauh diri kita.

Pikiran kita mungkin sering melihatnya sebagai perlakukan tidak dihargai atau prasangka lainnya. Sementara kita tak pernah belajar menyadari perubahan emosi kita diiringi dengan perubahan ekspresi muka yang terbaca sebagai gesture. Gesture, ekspresi mikro dari muka memang merupakan bahasa non verbal yang cenderung lebih cepat menyampaikan pesan dalam proses komunikasi dengan orang lain.

Konon para pelukis terkenal juga melakukan jurnaling menggambar potret diri dari waktu ke waktu, untuk tujuan pengenalan diri. Dulu saya merasa sangat aneh dan sedikit curiga dengan potret diri para pelukis yang ajaib, buruk rupa dan tampak absurd. Saya yang tak paham dan baru belajar bereksplorasi dengan art therapy ini, kini lebih memahami apa yang ada di balik potret diri, saat melihat hasil gambar reproduksi selfi yang tidak kalah absurd dengan mereka.

Mungkin ada baiknya, kita dapat membuka topeng-topeng lain yang selama ini tersembunyi dalam diri kita yang gelap. Dan dengan bantun kamera cerdas, Saya memberikan tantangan pada Anda untuk dapat melakukan selfi terlebih dulu dengan memasang muka cantik sampai muka buruk rupa lalu menggambarnya. Rasakan saja proses menggambarnya dan hayati tampang potret diri itu sebagai suatu cermin yang patut kita kenali.

Barangkali kita akan menemukan potret diri ideal dan paling baik yang pantas kita tampilkan pada dunia, yang datang dari diri yang asli dan sadar akan kediriannya secara penuh. Bukan hasil kamera cerdas, fase off, make up artist atau modifikasi lainnya, tetapi potret diri yang datang dari jiwa yang bening dan menerima diri dengan penuh rasa syukur.

Selamat bereksplorasi!

Bandung, 21 Oktober 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet