“Pilih Cerai atau Poligami ya?”

Iip Fariha
5 min readFeb 23, 2022

--

#serialpernikahan

Photo by refargotohp on Unsplash

Saya mau menggugat cerai saja Bu”, lirih suara seorang ibu yang terlihat frustrasi bicara di hadapanku.

“Saya sudah tak tahan lagi!”

“Dia selingkuh, saya tahu, semuanya terbukti”

“Saya sakit hati terus-terusan, saya tak bisa memaafkannya lagi”

“Saya tak mengerti, mengapa kalau dia mencintaiku dia tetap selingkuh”

“Saya tak bisa menerima dan memaafkannya, bagaimana dia memperlakukan saya tak adil”

“Saya sudah berjuang Bu, saya kepikiran anak aja”

“Saya tak apa-apa suami poligami, tapi jangan menyakiti saya dengan cara seperti ini”

“Saya mau bersabar tapi belum bisa memaafkan”

“Saya tak berani menggugat sih, tapi kalau dia mau menceraikan saya, seharusnya dia ngomong baik-baik kepada keluarga saya. Seperti dulu juga dia minta baik-baik”

“Saya yang berjuang dan bekerja, saya mengurus anak tapi dia masih juga selingkuh. mengapa tidak dinikahi saja daripada berdosa”

“Saya rela kok dimadu, daripada dia selingkuh di belakangku”

“Saya tak mau bercerai, dia juga sebenarnya tidak mau, kenapa kalau tak mau bercerai harus berselingkuh. Dia bilang, kalau laki-laki boleh lebih dari satu. Ya, tapi saya tidak mau berpoligami. Silakan pilih saja”

Daftar keluhan seperti ini masih bisa ditambahkan lagi dan sangat banyak alasan mengapa seseorang merasa diperlakukan tidak adil dalam rumah tangga lalu mengalami konflik dengan suami. Dalam kasus ini,kita baru melihat dari sudut pandang perempuan dan dalam kasus yang terbatas terkait orang ketiga dalam pernikahan. Tentu saja masalah ini tidak berhenti di sini atau mungkin juga tidak muncul secara tiba-tiba tanpa ada rangkaian sebab musabab serta efeknya yang meluas dalam relasi pernikahan.

Kasus gugat cerai selalu meningkat dari tahun ke tahun, terutama saat stress meningkat sejak pandemi melanda.

Gugat cerai adalah upaya istri untuk meminta putusan pengadilan untuk perceraian. Bila diajukan pihak suami, istilahnya adalah Cerai talak. Kedua gugatan ini sama-sama untuk tujuan perceraian. Kasusnya ribuan setiap tahun dan dapat diputuskan pengadilan selama dua hari. Jauh lebih mudah daripada mempersiapkan upacara pernikahan itu sendiri. Namun hal ini tidak terjadi begitu saja, kasus perceraikan hanyalah ujung dari puncak gunung es masalah pernikahan. Walaupun mungkin pemicunya perselingkuhan, tetapi selalu ada hal lain yang menyertai dan menjadi faktor yang menciptakan kekeruhan ini.

“Kalau mau bercerai, ngapain datang ke Psikolog? ke pengadilan saja, gampang kok?”, respon dari Psikolog pernikahan senior saya sempat membuat saya terkejut dan juga spontan tertawa. Saya masih saja ingat guyonan Ibu Prof. Sawitri Supardi Sadarjoen, yang adalah Guru pertama saya mengenai konseling pernikahan. Saya sudah mengenal beliau ketika belajar di Kampus Unpad. Dalam hal ini saya terus belajar untuk memahami dan membantu klien dalam menghadapi kasus-kasus mereka.

Sampai detik ini, masih banyak orang yang merasa tidak pantas untuk datang ke psikolog atau konseling keluarga, konselor pernikahan untuk membicarakan konflik keluarganya. Alasan bahwa mereka sebaiknya menyelesaikan sendiri kasusnya, merasa malu bahkan merasa lebih aib bila datang kepada orang lain walaupun bersifat profesional. Bahkan ada yang merasa bahwa meminta bantuan psikolog itu haram hukumnya. Lebih baik menyimpannya sendiri, walau bertahun dalam situasi tak nyaman, sakit hati, buntu, marah, perang dingin dan boom!, meledaklah kasus ini hingga berkas mereka mendarat di meja hakim pengadilan agama.

Menyedihkan sekali, cara pandang sempit dan menzalimi diri sendiri dengan membiarkan borok dalam diri dan keluarga semakin tak tertanggulangi. Tentu saja ada batasan pada setiap orang saat kapan ia mampu mengatasi sendiri masalah, saat kapan sudah waktunya meminta tolong. Seperti dalam kasus menjaga kesehatan badan, sesungguhnya saat orang sakit mereka perlu belajar untuk rendah hati bahwa dokterlah yang jauh lebih pinter dari mereka. Karena itu, obat bebas mencantumkan kondisi batasan ini, seperti bila demam 3 hari berlanjut segera hubungi dokter. Seperti juga konselor dengan ijin praktek dan teregistrasi sebagai profesional terlatih dan memahami isu-isu psikologis. Saat stress anda sudah mengganggu relasi sosial, pekerjaan itu saat Anda sudah tidak lagi merasakan sejahtera dan sehat secara mental.

Ya, memang isu perselingkuhan dilingkupi masalah-masalah psikologis. Dalam suatu kasus, sang suami kurang memiliki kendali emosi, istri cenderung mudah curiga, kenangan pada mantan, ketidakpuasan salah satu pihak yang enggan dibicarakan, lemahnya moralitas, gaya hidup, kecenderungan merasa benar sendiri, dan lain-lain.

Kaum profesional manapun dididik dengan ilmu pengetahuan dan teknik yang memadai, mungkin persoalannya adalah akses dan kepercayaan yang belum tumbuh selain cara berpikir yang picik dan membelenggu. Semua ikhtiar itu diisyaratkan oleh agama, tentang bagaimana caranya dan saat kapan kita mencari upaya memang dikembalikan kepada yang bersangkutan.

Sebenarnya cara berpikir lebih positif adalah melakukan upaya preventif. Walaupun hal ini dalam dunia medispun kita lebih terbiasa datang ke rumah sakit ketika sakit. Datang ke konselor saat sudah diujung tanduk dan ingin bercerai, sama seperti orang terpaksa pergi UGD karena tumor yang sudah akut. Btw, fisik dan mental itu satu kesatuan, terkadang orang menyangka dan fokus pada keluhan fisik yang ternyata adalah disebabkan karena stress psikis. Demikian juga sebaliknya sakit fisik sering membuat emosi dan pikiran negatif . Seseorang yang menyimpan masalah emosional bisa memicu gangguan pada sel-sel tubuhnya sehingga misalnya ia terserang tumor. Demikian juga saat orang menyadari kehadiran tumor dalam tubuhnya, pikiran dan emosinya terganggu. Adalah sia-sia untuk mempertanyakan mana dulu yang terjadi, sama saja seperti ayam dan telur dalam lingkaran siklus kehidupan.

Selama pandemi ini, isu perceraian semakin banyak. Seperti dikatakan tadi bahwa perselingkuhan bukan kasus tunggal. Terkadang masalahnya terpicu oleh hal-hal lain yang melibatkan relasi keluarga. Rasa tak nyaman karena seringnya konflik, hilangnya kepercayaan salah satu pihak, kemacetan dalam komunikasi, kesulitan mengendali emosi dan kecenderungan gangguan psikologis serius merupakan beberapa aspek yang menyertai isu ini. Terkadang hal sederhana seperti unsur kecurigaan dan rasa ingin tahu pada aktivitas suami, atau sikap tertutup dalam relasi medsos menjadi pemicu lainnya. Dari sisi fisik, stress dapat memicu ketegangan, kekakuan pada otot, tekanan darah, gangguan tidur, bahkan ritme jantung.

“Setelah nonton layangan putus, rasanya saya jadi curiga dengan kegiatan suami. Jadi diam-diam saya mengintip aktivitas di WA nya, dan itu membuat suami marah lalu kami bertengkar”

“Saya jadi berantem dengan suami, karena ia mengunci hapenya”

“Saya tak nyaman dengan telepon dan WAnya, masa dipantau terus”

“Sejak menyadari bahwa suami sering chat mesra, kepala saya jadi lebih sering pusing dan sulit tidur. Saya gelisah dan tidak tahu harus bagaimana”

Ada yang menghakimi atas tayangan sinetron, serial walaupun itu karena (kebetulan) viral. Berita atau isu viral memang diciptakan oleh sistem komersial, selain hal tersebut menunjukkan relevansinya dengan minat dan gambaran situasi masyarakat saat ini. Jadi marilah kita belajar menggunakan isu ini untuk memahami situasinya. Setelah isu perselingkuhan muncul dan dapat dibuktikan, lalu apa yang akan Anda lakukan?

Apakah Anda akan menggugat cerai, atau mendorong poligami?

Saya penasaran, andai kita membuat polling diantara dua pilihan ini, atau membuat pilihan ketiga dan skenarionya boleh kita ubah. Takdir mana yang akan dipilih?

bersambung.

lanjut baca antara-cerai-atau-poligami-

Bandung, 23 Februari 2022

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet