Antara Cerai atau Poligami
#serialpernikahan
Sungguh tulisan ini bukan menggiring pembaca untuk memilih salah satu diantara bercerai atau berpoligami. Hidup hanyalah pilihan, tidak ada yang benar-benar baik, ataupun buruk, karena kebaikan dan keburukan sebetulnya perlu ditimbang secara adil oleh nilai-nilai yang melingkupi setiap keputusan yang diambil dengan konsekwensinya masing-masing. Alangkah baiknya kita diberi kebebasan untuk memutuskan selama hal itu tidak melanggar hukum dan moralitas. Ketika keputusan diambil mempertimbangkan juga kesiapan para pihak untuk melanjutkan hidup dengan cara-cara yang dapat ditoleransi, yaitu saling melepaskan beban masa lalu, menegakkan moralitas lalu memaafkan setiap kesalahan, memilih untuk mengambil tanggung jawab dan bersedia untuk memperbaiki dan belajar pola baru dalam menyelesaikan masalah.
Dalam kaitan dinamika psikologis menghadapi krisis kepercayaan, kekecewaan, kemarahan dan upaya berkompromi dengan keadaan itulah diperlukan proses konseling atau terapi keluarga, terkadang terapi untuk masing-masing pihak. Terapi artinya belajar, belajar pola baru yang lebih adaptif ketika menghadapi masalah, menuntaskan beban pengalaman buruk yang mengganggu sebelumnya juga lebih siap ketika mungkin menemukan situasi yang menghambat lagi di masa depan.
Proses terapi psikologis lebih lama dan lebih sulit daripada memberi obat pusing kepala, obar penurun tekanan darah atau obat tidur yang menenangkan. Tidak mudah melewati fase krisis dan membalut luka psikologis. Dengan demikian, sangat tidak bijaksana saat seseorang mengalami krisis keluarga seperti akibat perselingkuhan mendorongnya untuk membuat keputusan tanpa mempersiapkan bagaimana dan apa yang akan dihadapinya setelah itu. Kita perlu memastikan juga seberapa besar sumber daya yang dimiliki seseorang saat ia akan membuat keputusan. Jangan bayangkan bahwa membuat keputusan itu mudah dan semesta mendukung keputusan itu sesuai dengan harapan.
“Saya masih bingung saat harus memilih, masih sakit hati tetapi kasian anak-anak”
“Saya tidak punya penghasilan, sehingga saat ini masih menerima saja walaupun suami memaksakan kehendaknya”
“Suami bersikukuh tak akan menceraikan, tetapi ia tetap berbohong dan menjalani relasi dengan selingkuhannya”
Situasi sulit terkadang membuat orang merasa tak berdaya dan kehilangan keyakinan pada dirinya untuk membuat keputusan. Penting untuk menyadari dan memetakan apa yang membuatnya berada dalam keadaan sulit dan hal apa yang masih berfungsi dengan baik. Tidak ada orang yang ingin berada dalam situasi terjebak. Terkadang ketika satu sama lain sudah tak memiliki kepercayaan atau menjadi marah dan menyerang satu sama lain, atau justru berusaha kabur dari masalah. Mereka hanya menunda dan mengalihkan perhatian pada yang lain. Setiap orang memiliki sumber daya, tetapi mungkin tidak benar-benar dimanfaatkan atau tertutupi oleh kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Itulah sebabnya perlu orang lain yang menjadi pihak ketiga untuk memandu mereka menemukan sumber daya dan kembali menata diri. Perlu daya dukung dari lingkungan untuk menopang konsekuensi lain yang mungkin diluar jangkauannya. Mereka bukan pembuat keputusan, tetapi memberikan peluang untuk membantu klien tentang apa yang perlu berubah dan bagaimana keputusan perlu diambil sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab, bukan sebagai orang yang frustrasi dan marah.
Pada suatu kasus klien yang siap melakukan gugatan, saya pernah bertanya tentang adakah keluarga yang siap mendampingi, kuasa hukumkah yang mereka persiapkan. Bagaimana dengan isu pengasuhan anak, pembagian harta, pekerjaan, tempat tinggal, pendidikan anak dan resiko masalah apa yang mungkin datang dari mantan bila perceraian ini terjadi.
Sebagian orang menyangka ketika bercerai, mereka akan dipermalukan. Tidak siap mendapat labeling seorang janda atau gagal menjaga pernikahan. Dianggap sebagai orang tua yang tidak memberi contoh baik bagi anak, merasa telah menyerah dan kalah atau mempermalukan keluarga bahkan menyangka akan dipojokkan atau berdosa. Sebagian keluarga menyangka bahwa mendukung secara positif artinya pembiaran dan bertahan. Membiarkan tumor menyebar tanpa pengobatan adalah kekonyolan. Terkadang perselingkuhan tidak selalu diselesaikan dengan perceraian, tetapi menghadapinya dengan agresi atau pengabaian dengan alasan sabar dan bertahan sama-sama tak menyelesaikan masalah.
“Saya tak boleh menyerah, saya tak siap untuk mempermalukan keluarga dan hidup saya lebih berat bila menjadi janda”
“Saya berusaha meneror pasangannya, dan kami sudah bertemu, dia janji tak akan kontak lagi. Ternyata mereka bohong. Saya tak tahu harus bertahan sampai kapan”
Ketika menimbang ini atau itukah yang lebih baik, ternyata bobot yang lebih berat bukan karena kondisi objektifnya, namun karena pikiran negatif dan kondisi emosional yang bersangkutan. Menyerah bukanlah hal buruk, terkadang perlu belas kasih dan sadar akan batas kemampuan diri. Bercerai tidaklah buruk, tapi memiliki konflik dalam keluarga karena isu perselingkuhan atau yang lainnya bukanlah hal yang aneh. Bila fokusnya menyelesaikan masalah, tentu sumber masalah itu perlu ditangani sampai tuntas sehingga keseimbangan dalam keluarga kembali tercipta.
Manusia akan selalu diuji dengan masalah. Masalah sesungguhnya adalah dapatkah masalah itu memberikan pelajaran untuk bertumbuh menjadi manusia lebih baik. Berpoligami juga dapat memberi solusi bila memang hal itu menciptakan kompromi dan bisa diterima dengan rasa damai pada para pihak. Tentu saja akan ada masalah atau ujian lain dari satu keputusan apapun yang diambil.
Tidak perlu harus memilih diantara keduanya, barangkali ada pilihan lain yang lebih baik. Beberapa kasus yang saya tangani berakhir dengan rujuk, namun sebagian sudah lebih siap ketika memutuskan gugat cerai atau cerai talak. Saya juga menemukan kasus istri yang mendorong suaminya bersikap baik pada perempuan lain dengan memayunginya dengan pernikahan yang sah. “Mana yang Anda pilih?” Tentu Anda memilih untuk menjaga keluarga dan pasangan sebelum terjebak dalam cinta segitiga bukan?
Psikolog tidak pernah dan tidak boleh memihak, klienlah yang membuat keputusan. Masalah utama kita bukan masalahnya apa, tetapi bagaimana kita menghadapi masalah itu dan berfokus pada solusi serta kebaikan bersama sebagai manusia dewasa yang beradab dan bertumbuh.
Bandung, 23 Februari 2022