Merdeka untuk Tidak Berpikir atau Bertindak
Ketika hidup dikendalikan pikiran negatif, atau pendapat orang, kita akan kehilangan kemerdekaan hidup
“Saya terlalu susah untuk membebaskan diri dari pikiran yang tak perlu saya pikirkan Mbak.
Bahkan saya tahu itu tidak perlu saya pikirkan karena hanya akan melelahkan diri saja.
Parahnya lagi kadang pikiran itu hanyalah pikiran buruk yang belum tentu seperti yang saya pikirkan. Kadang saya menjadi kelelahan bahkan tidak bisa tidur malamnya”
Stress terkadang datang dari diri sendiri, akibat pikiran tidak tertata dengan baik memicu gangguan fisik dan tekanan mental meningkat. Mungkin mudah bagi kita menghakimi seseorang sebagai penzalim bagi dirinya sendiri, karena memperturutkan sesuatu yang sudah jelas-jelas merugikan dirinya. Namun mengelola lintasan pikiran dan menghentikan pikiran negatif yang sering bersifat otomatis tidaklah mudah. Terkadang perlu berlatih dan melakukannya dalam aktivitas yang terus menerus. Jurnaling dapat menjadi salah satu alternatif untuk menumbuhkan self awareness.
Saya merasa tertekan saat saya sudah meminta maaf pada teman, tapi tidak ditanggapi.
“Saya kesal, mengapa dia tak mau meminta maaf padahal sudah berbuat salah pada saya”. Dia sepertinya membenci saya, saya mungkin tidak pantas berteman dengan mereka.
Mengendalikan pikiran negatif, seperti Melatih Monyet dalam Pikiran Kita . Pikiran negatif sering memicu emosi negatif pula. Latihan mengawasi monyet dalam pikiran perlu keahlian mengidentifikasi pikiran dan perasaan yang muncul dengan cepat itu. Terkadang menuliskannya dapat menyadarkan diri sendiri bahwa pikiran itu tidak logis. Over generalisasi, mendahului kesimpulan, memberikan labeling, dan banyak pikiran tidak masuk akal tapi dianggap benar. Selanjutnya melatih mengelolanya sehingga tunduk pada kaidah berpikir yang logis dan relevan dengan situasi yang sedang dihadapi.
##
“Mba, saya akhir-akhir ini kembali pusing, gejala sakit kepala yang dulu pernah dikonsultasikan muncul lagi (setelah 6 tahun), malah makin parah. Saya jadi tegang hanya gara-gara memilih baju. Tidak ada yang nyaman, dan selalu takut kalau-kalau nanti dikomentari orang. Badan saya tidak sesuai standar Mba”.
Membuat standar yang tidak masuk akal, menciptakan teror bagi diri sendiri dengan menyelipkan kata HARUS pada suatu situasi yang tidak dapat kita kendalikan. Sepintas teramat sederhana, namun tidak mudah bagi seseorang untuk menghilangkan tuntutan tersebut yang sebenarnya menjadi beban kezalimannya sendiri. Tidak ingin terlihat buruk oleh orang lain pada awalnya baik, namun menjadi tidak masuk akal saat kita terbelenggu oleh komentar orang yang tidak dapat kita kendalikan. Sebagian orang mungkin saja akan memuji kalau dia setuju, sebagiannya akan mencibir karena tidak suka. Lantas apa bedanya? Sekedar komentar saja tidak perlu menjadi penentu bagi kebahagiaan diri sendiri. Orang dapat bersikap Adil Sejak dalam Pikiran##
“Bagaimana kalau nanti orang itu menyebarkan gosip tentang saya mbak. Saya akan terlihat buruk dan orang-orang akan percaya. Lalu saya dijauhi dan dicap negatif. Mungkin orang akan percaya meskipun sebenarnya mereka salah.
Apa perasaanmu saat menjadi korban gosip?. Mungkin ada rasa marah, malu, sedih atau kecewa. Kamu mungkin berharap temanmu baik dan memperlakukanmu dengan hormat.
Umumnya gosip memang bersifat negatif dan tidak akurat. Bila gosip berisi hal-hal yang benarpun, tetap tidak menyenangkan bagi orang yang dibicarakan. Apalagi bila hal itu berisi fakta yang negatif atau tidak disukai oleh orang yang bersangkutan. Agama Islam jelas melarang kedua-duanya dan mengasosiasikan tindakan gosip atau ghibah sama dengan memakan daging mentah. Tentu sangat menjijikkan bagi orang yang memiliki etika dan kehormatan sebagai manusia yang beradab. Nyatanya, kejadian ini sangatlah banyak terjadi. Teramat banyak orang senang membicarakan orang lain sekedar untuk tujuan menggunjing itu sendiri, akibatnya banyak orang yang khawatir dirinya menjadi korban bahan obrolan gosip murahan tersebut.
Memang keduanya sama-sama tidak masuk akalnya, tidak bisa diterima akal sehat saat orang menceritakan hal-hal tidak relevan dengan dirinya. Juga tak masuk akal saat orang mengharap orang lain tak melakukan sesuatu yang mungkin dibenci dirinya. Cara berpikir dalam filsafat Stoa memberi kita pelajaran bahwa tak mungkin mengendalikan apa yang bukan menjadi wilayah kewenangan hidup kita. Sesuatu yang terjadi diluar kendali kita, seperti pikiran, sikap dan tindakan orang lain adalah tanggung jawab mereka sendiri. Kita hanya memiliki peluang untuk mengendalikan apa yang ada dalam pikiran, sikap dan tindakan kita sendiri. Pikiran yang negatif memancing emosi yang buruk. Kejadian diluar kendali kita bila ditanggapi dengan cara negatif hanya menjadikan hidup kita semakin terpuruk.
Marcus Aurelius seorang kaisar dan juga filsuf Stoa mengatakan “Jika kamu bersusah hati karena hal-hal eksternal, kesusahan itu datangnya bukanlah dari hal tersebut, tetapi dari opinimu sendiri mengenai hal itu. Dan kamu memiliki kemampuan mengubah opini tersebut kapan saja.
“Aku selalu jadi korban gosip dan teman-temanku sendiri selalu iri dengan apa yang kupunya. Aku tak mengada-ada, sahabatku selalu saja menginginkan apa saja yang kupakai, dan dia akan bertanya dimana beli ini beli itu, bagaimana bisa begini bisa begitu. Kenapa kamu selalu begini dan begitu. Aku terkadang terganggu terutama kalau ada yang menyangka hal-hal negatif padahal gak ada buktinya. Terkadang aku jadi merasa bersalah karena dianggap tidak sama dengan harapan mereka”.
Mungkin memang ada orang yang berkecenderungan untuk berpikir negatif tentang orang lain, hal itu hanya akan merusak dirinya sendiri. Sementara khawatir dengan pemikiran orang lain juga tidak akan mengubah orang lain menjadi bertindak sesuai dengan harapan kita. Mengeluhkan orang lain memberikan peluang tekanan atau stress yang merusak bagi diri sendiri, sementara orang yang kita keluhkan tidak terpengaruh sama sekali dengan keluhan kita.
Orang tertentu menjadi sangat mudah merasa dipermalukan atau merasa bersalah karena tidak sesuai dengan standar sosial. Menyerahkan kebahagiaan hidup dengan bergantung pada penilaian orang lain akan semakin memperburuk harga diri dan merusak kebahagiaan. Dengan menetapkan standar positif yang bersumber dari penerimaan lingkungan semata, seperti dukungan orang lain, penerimaan masyarakat membuat seseorang berada dalam kendali lingkungan. Ia tidak lagi memiliki kuasa bahkan untuk berpikir jernih tentang apa yang penting dan tidak bagi dirinya sendiri. Apa yang menjadi tujuan dan makna hidupnya.
Bila apa yang dilakukan semata-mata untuk mendapat apresiasi lingkungan menjadikan hidup dibawah kendali orang lain. Kemerdekaan manusia mulai dibentuk dari cara dia mengendalikan pikirannya sendiri. Termasuk untuk berhenti berpikir. Memilih berhenti untuk tidak memikirkan apa yang tidak relevan, tidak logis, tidak penting dan tidak membuatnya hidup secara mandiri sebagai manusia yang merdeka. Berhenti untuk tidak ikut campur atas sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan.
Bandung, 10 Oktober 2021