Adil Sejak dalam Pikiran

Iip Fariha
5 min readMay 8, 2021

--

Photo by Christina Victoria Craft on Unsplash

Before you abuse, criticize and accuse, walk a mile in my shoes

( Anonym)

“Kamu kok seperti tetangga yang sering pamer,” celetuk Imas mengomentari sepatu baru tetangganya, Nina. Mendapat komentar itu, Nina langsung cemberut. “Apaan sih?” Emang aku senarsis itu”. Ah diakan Si China yang doyan brondong? Aku kan pakai sepatu ini untuk ke pesta. Aku juga tak akan norak seperti si Sumirah dari Jawa itu. Aku juga pilih-pilih teman, mana yang sevisi dan seiman denganku. Nina cerocos bicara panjang lebar sampai keluar jalur obrolan awal. Dia memang tidak suka dengan tetangganya tersebut.

Salah satu tetangga mereka adalah seorang lajang pekerja kantoran. Ia sering berpakaian super rapi, lengkap dengan kalung, gelang, sepatu hak tinggi dan tas mecing dengan warna sepatunya. Penampilan necis dan wangi semerbak bunga setaman selalu tercium dalam jarak 2 meter. Indri, sang tetangga yang digosipkan selalu mengayunkan lengan pada tetangga saat meluncur dengan mobil sedan merahnya di pagi hari. Sebagian tetangga membalas sapaannya dengan ramah, sebagian mengomentarinya sambil mencibir di balik punggungnya. Sisanya cekikikan bersama tukang sayur yang nongkrong depan halaman rumah Bu Nina.

“Dia menyangka dirinya cantik dan sukses, padahal perlu waspada terhadap suami-suami kita yang suka ngintip dari jendela saat dia pergi pagi”, kata Imas terlihat gemas. “ Aku khawatir malah diam-diam mengikutinya dan bertemu di café makan siang bareng”, Jawab Bu Santi. “Duh, repotnya punya tetangga suka bertingkah”, Uni menimpali. Imas mengangguk, Ia juga sering mendengar gosip dari sesama ibu rumah tangga tentang para suami yang punya teman kencan di kantornya.

“Dari mana dia dapat uang banyak ya?”, pikiran Nina mulai melantur. Mungkin dia simpanan bosnya di kantor. Kemarin sore dia pamer tas baru padaku, katanya oleh-oleh tantenya dari Eropa. “Ah aku sih gak percaya, sepertinya tante-tante genit imigran itu lho.

“Sudahlah ibu-ibu, ini jadi gak ayam filletnya?, Mang Darma memotong obrolan pagi itu. Sepatunya buat istri saya saja katanya. Bu Nina mendelik dan langsung masuk rumah. Ia tiba-tiba merasa bingung, mengapa ia pamer sepatu pagi-pagi saat mereka sedang belanja sayur.

Biang gosip adalah menebak, menilai dan memberikan kesimpulan tanpa jelas referensinya. Kecurigaan dan pikiran negatif seperti virus yang menyebar dengan ganas. Melahap rasa hormat dan menghapus kesantunan dan budaya saling menghargai sesama manusia.

Kita tak pernah tahu apa yang dipikirkan orang lain, apa yang menjadi alasan tindakan seseorang bahkan walaupun kita mendapatkan penjelasan lisan dari yang bersangkutan. Dalam lautan dapat diduga, dalam hati manusia siapa yang tahu. Menunjukkan betapa rumit dan misteri manusia tidak memungkinkan bagi kita untuk memahaminya dengan tepat.

Seorang klien, datang pada saya mengeluhkan betapa sulitnya mengendalikan pikirannya yang selalu negatif pada temannya. Ia menjadi selalu cemas dan cemburu tidak jelas hanya karena temannya terlihat riang dan membawa bungkusan. Ah, pikiran memang seperti angin yang melintas, dapat saja ia membawa kabar burung dan api cemburu. Bila kita tak mampu mengamati dengan jelas, mudah bagi kita terbuai dan hangus ditelan kemarahan yang tidak pada tempatnya.

Tidak logis ketika kita mencoba menebak dan memberikan penilaian sepihak. Terkadang hal itu sering dilakukan karena peminatan pada relasi yang mendalam. Alih-alih informasi itu memberikan referensi yang baik, lebih bijaksana membebaskan diri dari prasangka apalagi kecenderungan penilaian negatif pada orang lain. Berpikir positif saja ternyata tidak mudah, terkadang pengalaman dan intensi pribadi menggiring seseorang menilai orang lain berdasarkan subjektivitasnya tersebut.

Konflik interpersonal, dalam pergaulan sosial sering kali bermula dari labelling dan prasangka negatif yang menjauhkan seseorang dengan orang lain. Tidak heran sebagian besar prasangka itu tidak baik. Selain secara ilmiah tidak dijamin kebenarannya, tetapi umumnya tidak memberdayakan apalagi mendukung sikap pertumbuhan positif pada hubungan timbal balik.

Keragaman budaya Indonesia, hadir di sekitar kita. Perbedaan etnis, bahasa dan agama tampil pada level RT dan RW tetangga satu kompleks. Prasangka etnis, gaya hidup, dan perilakupun sangat mudah bercampur baur dalam pergaulan sehari-hari. Perbedaan tidak selalu buruk, tetapi sering mudah diperburuk dengan penilaian sepihak karena ketidakpahaman.

Sebaliknya melihat perbedaan sebagai kekayaan dan keragaman yang niscaya ada pada setiap orang. Sebagaimana ukuran sepatu setiap orang walaupun sama namun hanya akan cocok bagi dirinya sendiri. Cobalah merasakan kaki kita pada sepatu orang lain, tampilan luar dan ukuran saja tidak mencukupi untuk menilai bahwa itu pasti cocok bagi kita. Ketika menyadari bahwa hanya sepatu sendiri yang nyaman di kaki sendiri, maka setiap orang akan lebih bijaksana untuk menerima hal yang sama dapat berlaku bagi orang lain.

Terkadang kita tak suka dengan cara orang menampilkan dirinya, cara berbicara, pekerjaannya bahkan asal usul dan agamanya. Semua itu dapat saja nyaman dan cocok bagi mereka sendiri. Tanpa perlu memberikan labeling dan menduga-duga apa yang terjadi pada mereka, akan lebih logis bila kita hanya berinterelasi dalam konteks dan kepentingan yang produktif semata.

Menghormati orang lain, sebagaimana kita ingin dihargai dan dihormati adalah menempatkan sepatu pada kakinya masing-masing. Merasa nyaman dengan pilihan sendiri dan mengapresiasi rasa nyaman bagi orang lain membuat kita mampu berjalan bersama dalam pergaulan tanpa rasa sungkan dan perasaan bersalah. Pikiran dan emosi positif membawa hidup kita sangat ringan dan riang gembira.

Menghargai perbedaan budaya, tepat di sebelah rumah kita menjadi kekuatan perekat bangsa ini. Kita akan selalu ingat betapa kayanya bangsa ini dengan keragaman etnis, bahasa daerah dan budaya. Betapa kuatnya ikatan tersebut melampaui sekat lautan yang menyatukannya bukan untuk membelahnya dalam peta sosial kebangsaan. Perbedaan budaya sudah kita ikat dalam kesepakatan geopolitik, sosial masyarakat seperti ikatan pernikahan, dan tempat tinggal.

Bumi parahyangan sudah menjadi kampung halaman bagi hampir semua etnis yang ada di Indonesia. Sebagian anak-anak kita pergi sekolah, bekerja dan menikah dengan orang sebrang lautan dan membangun generasi campuran yang membuat kita semakin kaya dengan bahasa polyglot ( bicara dan menguasai beberapa bahasa ), ragam kuliner, dan kreasi budaya campuran lainnya.

Kita tak akan lupa bahwa keragaman ini pula dapat menjadi pintu masuk saling curiga dan stigma negatif dalam pergaulan bangsa ini. Merawatnya menjadi tanggung jawab kita, sejak dari obrolan para tetangga. Kita perlu bersikap adil sejak dalam pikiran kita. Mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri sendiri, karena kita adalah satu. Satu keluarga besar dalam naungan negeri khatulistiwa.

Sebagai konselor, saya peduli dan berkontribusi mulai dari menghapus pikiran seorang “Nina” yang memantik api kebencian antar tetangga.

Anda?

Bandung, 8 Mei 2021

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet