Menulis (Apakah Perlu Referensi?)

Iip Fariha
6 min readNov 20, 2020

--

#masihtentangjurnaling

Photo by Green Chameleon on Unsplash

Kata orang, saya senang bercerita, terhitung bawel barangkali. Sulit menyetop kalau sudah memulainya, tapi saya punya alasan dan penjelasannya. Umumnya kita berbicara secara spontan untuk menyampaikan informasi, bertanya atau merespons suatu dialog bahkan sekadar menguatkan jawaban saat berbicara dalam sesi ngobrol bebas. Ini berbeda saat kita menulis, walaupun masih bentuk kebawelan yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam bentuk tertulis, kalimat kita bisa dikoreksi dan dapat ditimbang ulang, apakah sudah tepat atau belum. Apakah runtut atau jlimet. Dan ternyata, perlu juga rujukan atau referensi yang menjadi dasar dari tulisan ini.

Terkait rujukan, ini ternyata tidak mudah bagi saya. Pola menulis yang saya lakukan, tak lebih dari memindahkan apa yang ingin saya ungkapkan, menuangkan gagasan yang mungkin diperoleh dari berbagai sumber, dan terkadang tidak ingat dari mana sumbernya. Saya tIdak secara khusus mengumpulkan bahan-bahan lalu dirangkum, membuat kesimpulan, dan menuliskannya. Mungkin kita mengenal istilah berpikir induktif, mendapatkan ide dari berbagai hal yang spesifik dan mengaitkan satu fakta dengan fakta lain dan menemukan gagasan baru yang bersifat umum. Atau sebaliknya dari kesimpulan yang umum, lalu kita merinci, hal-hal yang lebih detail atau lebih khusus. Bila kita menulis suatu gagasan, mungkin dapat dilakukan dengan kedua cara berpikir itu dan sama-sama akan mengacu pada referensi yang mendasari tulisan tersebut.

Seorang teman mengingatkan bahwa tulisan itu penting diberi referensi. Tentu saja saya juga setuju terutama untuk tulisan yang perlu mendapatkan pengakuan akademis, walaupun praktiknya sulit. Mungkin itu sebabnya, saya tidak terlalu banyak menulis dengan mengutip teori atau pandangan seseorang. Atau mungkin karena saya memang lebih banyak menulis daripada membaca sehingga isinya juga bukan hal-hal yang serius dan perlu dijadikan bahan akademis. Tidak dapat disebut ilmiah juga bila kriterianya ada referensi dari buku yang ditulis para ahli.

Masalahnya, terkadang menulis saat muncul ide begitu saja, dan terkadang pula bukan sesuatu yang perlu secara ilmiah dibuktikan kebenarannya dengan hasil penelitian atau pendapat seorang ahli. Hanya jenis tulisan tertentu saja yang perlu dukungan seseorang yang memiliki otoritas di bidang tersebut untuk mengesahkannya. Hemm .. terkadang setelah selesai menulis, lalu terpikirkan juga, “Dari mana ya saya pernah membaca tentang ini?” Jadi menulis dulu, baru mencari pembenaran atau konfirmasi pada sumber yang mungkin masih bisa ditemukan.

Seorang teman mendorong saya untuk terus menulis saja, walaupun sederhana, yang penting hal itu bermanfaat atau diakui kebermanfaatannya. Paling tidak untuk diri sendiri. Melatih menulis yang baik atau lebih baik dari kebawelan yang tidak runtut dan njlimet tadi. Menulis itu self-healing, bahkan pernah saya tuliskan sebagai cara untuk melakukan 5-jurus-menghadapi-stress . Menulis itu membekukan sejarah, menjadikan manusia sadar akan eksistensinya dan menjadi awal dari suatu peradaban dan bla… bla… alasan teori lagi yang bisa kita cari rujukannya. Tapi terserah deh apa pun alasan dan apa kata teori, saya menulis saja dan cukup senang ada Anda yang membaca tulisan ini. Kalau Anda suka, silakan membaca tulisan Jurnaling atau Jurnal kehidupan yang saya tulis sebelumnya.

Bagi sebagian orang, menulis itu mudah. Anggap saja mereka memiliki bakat kuat dalam hal literasi dan terdidik dengan baik bersama mentor yang bagus. Sebagian orang seperti saya, ternyata tidak mudah dan perlu berlatih terus. Tidak heran, bila tulisan ini mungkin sangat receh dan tidak terlalu penting untuk dibaca orang, tapi toh saya tidak sendirian. Ada banyak orang yang juga mengaku seperti saya yang sulit menulis dan lebih banyak lagi yang malas membaca. “Naah, semoga saja, yang rajin membaca mendapatkan ide untuk kemudian menuliskan apa yang pernah dibacanya, sehingga lebih banyak lagi tulisan yang lebih bermutu dari tulisan saya, Anda setuju bukan?”

Terkadang saya merenungkan, bagaimana bila referensi itu berasal dari hasil refleksi, mengingat pengetahuan tidak selalu didapat dari memungut hasil penelitian yang objektif, kuantitatif dan eksperimentasi. Ada banyak pengetahuan yang justru diperoleh dari penghayatan intuitif, kearifan budaya dan nilai-nilai yang mungkin semula disampaikan melalui bahasa tutur dari generasi ke generasi. Terkadang pelajaran penting diperoleh dari pengalaman langsung dan teruji lebih nyata dalam konteks yang aktual dan riil. Mengacu pada hal semacam ini, siapa pun dapat menjadi pakar di bidang yang ditekuninya. Ketika pengalaman (apa pun, siapa pun) tentu dapat dianggap sebagai teori yang teruji dalam kenyataan. “Bila dituliskan, bukankah itu dapat menjadi sumber kebenaran dan kebaikan?” Dan, tentu saja kelak dapat menjadi rujukan dan referensi bagi yang lain.

Sebelumnya saya juga merasa tidak terlalu yakin dengan mengutip atau merujuk suatu referensi, terutama bila kita melakukan copas, yang saat ini jauh lebih mudah dilakukan. Kumpulan copas sana sini dapat menjadi sebuah tulisan yang mungkin keren dan kita tinggal membuat kesimpulan umum. Selesai sudah suatu tulisan dengan deretan referensi puluhan buku, artikel yang mungkin tidak benar-benar dibaca detail. Mungkin itu terlalu sarkastis, hanya saja mengingat banyak insan akademis pun melakukan hal-hal seperti itu, membuat saya merasa tidak terlalu yakin dengan tulisan yang disertai referensi tetapi tidak memberikan gagasan baru atau pencerahan bagi kita.

Nanti kalau saya menulis dengan menjelaskan teorinya dari si A dan menunjukkan rujukan jurnal ini dan itu, padahal sayapun tak pernah membuktikan hal tersebut, rasanya kok seperti makin bawel ya. “Dan ah, itu kan teori!”

Sebaliknya, tulisan seorang ibu yang mengisahkan pengalaman tentang kegemarannya, tetapi disajikan secara runtut dapat menjadi referensi ilmu yang berharga. Misalnya, bentuk journaling berkebun, catatan resep dan tips memasak yang teruji enak, kumpulan kisah dongeng sebelum tidur karangan pribadi, catatan pertumbuhan dan pendampingan anak berkebutuhan khusus, dan lain-lain. Saya merasa kaum Emak-emak ini adalah pakar di bidang yang sangat kaya dan telah teruji. Hanya saja, mereka tak sempat menuliskannya karena terlalu sibuk untuk berpraktik.

Saya sering merasa terganggu untuk menulis sesuatu yang saya sendiri pun hanya tahu dari bacaan, tapi tak pernah benar-benar mengalami, membuktikannya atau menghayati kebenaran apa yang saya baca tersebut. Mungkin karena itu, saya lebih suka membaca buku teori-teori dengan cara screening cepat saja. Saya suka menyimpan cukup banyak referensi, tidak serta merta saya baca detail dan apalagi ingat semua isinya. Bagi saya tulisan itu hanya kumpulan konsep yang berharga bagi yang telah menyelam ke dalam pengalaman tertentu dimana konsep itu terbukti atau berguna dan relevan dalam kehidupan kita. Kelak bila kita memiliki pengalaman terkait hal tersebut, mungkin pikiran kita terbantu oleh teori atau berbagai bacaaan tersebut dan dapat menguraikan suatu fakta tertentu dan mencari referensi yang kita perlukan.

Saya teringat pada anak saya yang senang membaca dan ia mengeluh karena merasa otaknya kepenuhan. Saya katakan untuk melupakan saja apa yang dibacanya atau menuliskannya. Sumber bacaaan memang seperti tampungan air di toren rumah kita, memang perlu dipastikan untuk selalu terisi karena setiap saat kita memerlukan air itu untuk kita gunakan sehari-hari. Tetapi bila kita tak pernah mengalirkan air dalam tampungan, air itu akan kotor dan wadahnya berlumut.

Mengingat hal itu, saya menjadi lebih sedikit terhibur, bahwa ilmu yang bejibun ini, terutama setelah ada open resources dari perpustakaan terbuka, sumber online, e-book gratis, pdf dan lain-lain sama saja seperti pajangan hiasan yang bisa indah untuk dilihat tapi belum tentu kita perlukan. Di satu sisi, kita memiliki banyak sekali sumber mata air, tetapi lebih penting lagi kita mengatur aliran air dari tampungan yang kita miliki.

Kegiatan menulis itu menjadi terasa lebih penting karena kita belajar me-review apa yang ada dalam isi kepala kita. Membagikan apa yang kita miliki pada orang lain yang walaupun tampak sederhana dan tidak serius, ia berguna dan memberi inspirasi. Saya juga jadi memiliki jalur perjalanan sendiri sehingga tak perlu mengganggu obrolan orang lain saat kebawelan saya sulit disetop. Lagipula menulis malah ada rem sebelum kebablasan ngalor ngidul. Dan ya, saya pun tak perlu menceritakan teorinya dari mana, referensinya buku apa, kata ahli yang mana. Pokoknya bila ini bermanfaat, setidaknya untuk diri sendiri, sebagai bagian dari catatan sejarah hidup yang mungkin kelak dapat menjadi pemberat amal kebajikan. Nah.. waktunya berhenti sebelum tulisannya kepanjangan.

Selamat menulis.

Bandung, 20 November 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet