5 Jurus menghadapi stress
Hadapi stres dengan jurus yang dapat dilakukan sendiri
Stress merupakan gejala atau symptom gangguan yang dapat mengarah pada kehilangan kompetens dan produktivitas, ciri terganggunya kesehatan mental, bahkan menurunnya kebahagiaan hidup.
Ada beberapa jurus menghadapi stress, berikut adalah 5 diantaranya:
Jurus ke-1: Mengubah pikiran negatif
Ada tiga langkah yang perlu dilakukan pada jurus pertama ini, yaitu: menandai pikiran negatif, melakukan jeda dan berpikir reflektif.
Dengan menggunakan kasus burn-out sebelumnya sebagai contoh, kita dapat menandai pikiran dan perasaan negatif bercampur sebagai lintasan pikiran yang sulit dikendalikan. Mari kita tandai dan bila perlu menuliskannya.
Persepsi dan pikiran negatif :
· Tidak nyambung kalau bicara
· Sering mendapatkan bantahan
· Mendapat cibiran
· Penghakiman
Perasaan negatif:
· Tidak percaya diri
· Tertekan
Fisik/biologis:
· Kewalahan, secara fisik terkuras.
Hasilnya adalah tindakan yang tidak adaptif:
· Diam saja, menyerah, pasrah, pasif.
Pikiran negatif sebenarnya mudah dikalahkan kalau kita terbiasa melakukan jeda. Jeda seperti penanda koma (,) dalam suatu rangkaian kalimat. Berhenti sejenak, mengecek akurasi apa yang dipikirkan dan sinkronisasikan dengan perasaan yang muncul. Terkadang perlu melakukan kontekstualisasi atau membingkai kejadian secara khusus, sehingga dapat dipersepsi sebagaimana adanya. Ibarat makanan, maka jeda adalah ‘mengunyah’ dulu sebelum ‘menelan’ informasi. Mengecek akurasi dan objektivikasi informasi sebelum membuat kesimpulan dan menentutkan sikap. Pada akhirnya jeda adalah berpikir dulu (merenungkan atau berpikir reflektif) sebelum bertindak. Jeda sulit dilakukan bila kita selalu merasa berada dalam situasi darurat atau terancam. Jeda hanya terjadi bila kita terbiasa melambatkan respon untuk bersikap waspada terhadap tindakan gegabah atau terburu-buru, berespon otomatis atau seperti layaknya sumbu pendek.
Merenungkan adalah aktivitas Reflektif yang dapat kita latih untuk mengubah pikiran negatif hanya dengan mengajukan pertanyaan.
Misalnya :
Apakah benar?
Adakah buktinya?
Siapa yang mengatakan hal tersebut?
Kita coba praktikkan:
Apakah benar, bahwa kalau bicara sering tak nyambung?
Apakah benar sering dibantah?
Apakah benar selalu mendapatkan cibiran?
Adakah buktinya?
Siapa yang mengatakan hal tersebut?
Saya bisa menduga, jawabannya “tidak selalu”. Artinya, ada satu saat sebenarnya kejadiannya berbeda, tapi pikiran kita tetap sama.
Jadi saat kapan ada pembicaraan tak nyambung? Saat kapan dibantah?
Pertanyaan ini akan membawa kita pada kejadian persis yang dialami sesungguhnya. Mungkin hanya 1 -2 kali. Nah, kita bisa ambil satu kejadian untuk contoh saja, agar mudah mengevaluasinya. Silakan renungkan dan pikirkan kejadian tersebut.
Apakah kejadian: pembicaraan dibantah orang lain merupakan sesuatu yang mungkin saja terjadi? Sangat mungkin.
Apakah setiap orang pernah pengalaminya? Mungkin.
Jadi apakah hanya anda saja yang pernah omongannya dibantah? Tidak mungkin.
Jika kita menggeneralisasi kejadian dan sudah mampu membaca pikiran orang lain, yaitu bahwa seseorang PASTI akan mencibir saya, anda sudah mulai melakukan generalisasi kasus. Bila setiap kejadian dimaknakan seperti ini (pasti dicibir, tidak nyambung,akan selalu dibantah), tentu saja akan sangat mudah tertekan dan tidak akan pernah berani bicara di depan umum, tegang dan pasif. “Saya akan sangat tidak percaya diri dan saya akan selalu diam di manapun saya berada’.
Setiap orang sering diganggu oleh pikiran negatif, pikiran negatif itu seperti lintasan hati, lewat mondar mandir seperti kereta api. Bila kita fokus pada pikiran negatif dan tidak pernah mencernanya, kita yang balik menjadi korban sabotase alias makanan empuk bagi si pikiran negatif. Seseorang akan mudah untuk emosional dan tindakan menjadi tidak adaptif lagi. Karena itu ada istilah pikirannya dibajak oleh perasaan emosional.
Bila pikiran negatif dibiarkan bekerja secara otomatis, maka yang terjadi adalah “sumbu pendek”!
Bayangkan sumbu pendek. Sekali disulut, langsung meledak.
Jadi mari berlatih mengendalikan pikiran!.
Jurus ke-2: Mindfulness
Kondisi emosionalitas dapat terjadi bila pikiran negatif. Khususnya kecemasan dapat diatasi dengan mindfulness. Pada mindfulness, seseorang menyadari sepenuhnya moment, pikiran, perasaan, sensasi tubuh dan kehadiran seluruh diri secara terintegrasi dalam momen itu. Menerima pikiran yang muncul, merasakan sensasi yang masuk melalui lima indra, menerima apapun perasaan yang menyertainya. Belajar tetap fokus dan rileks. Banyak teknik dan panduan mindfulness dibagikan secara bebas di yutube atau website atau artikel psikologi positif.
Mindfulness melatih fokus, menerima lintasan pikiran dan perasaan, sekaligus melepaskan yang tidak relevan sehingga tercipta sensasi rileks, dan perasaan damai terkendali dari momen ke momen. Latihan Mindfulness sering diawali dan dikombinasikan dengan melatih napas, duduk nyaman atau tidur dalam posisi yang rileks. Dapat juga dilakukan melalui aktivitas gerak seperti berjalan, makan, mandi, dan sebagainya. Mindfulness melatih mengawasi “diri” yang bernapas, merasakan, memikirkan dan bertindak. Sehingga setiap momen dalam keseharian aktivitas kita menjadi rileks, hadir dengan sepenuh rasa, sepenuh hati dengan jiwa yang tenang. Dalam keadaan rileks, segala sesuatu dapat dihadapi secara terkendali, tidak baperan, sumbu pendek ataupun mudah terganggu oleh hal-hal yang tidak penting.
Misalnya, penting nggak sih memikirkan bagaimana orang lain menilai kita? Bagaimana kalau mereka melihat kita kikuk dan tidak cukup luwes bergaul? Penilaian orang lain tak bisa kita kendalikan, pikiran dan perasaan kita sendiri yang dapat kita atur dan dibawah kontrol sendiri.
Jurus ke-3: Memisahkan Realitas Objektif dengan Masalah Pribadi
Sering kita terjebak di lingkungan yang kurang kondusif. Bagaimana dengan lingkungan yang menjadi sumber stres? Bahkan membuat hidup semakin tertekan?
Saya juga pernah membahas tentang hal ini pada sesi pemaafan. Kita tak akan pernah selamanya bisamengontrol lingkungan. Apa yang bisa kita lakukan adalah mengubah sikap kita dan peduli pada kesehatan mental sendiri.
Hal yang perlu kita tekankan dalam kasus ini adalah bahwa seringkali seseorang membuat aturan yang tidak dapat diterapkan atau tidak realistis.
Misal:
Seharusnya mertua itu menyayangi menantu.
Seharusnya suami itu memanjakan istri dan menolong semua pekerjaan istrinya.
Seharusnya saya dapat menjadi istri idaman dan mampu mengerjakan semua peran saya.
Semua orang akan sangat tersiksa dengan aturan ini, karena kenyataan hidup tidak sama dengan tuntunan nilai dan agama. Memang hidup kita mengacu pada harapan dan model yang kita miliki, tetapi semua itu suatu proses.
Buang kata ‘harus’. Mertua bisa menyayangi menantu, bisa juga tidak. Itulah realitas.
Membangun keluarga itu membangun suatu masyarakat kecil, baik suami dan istri, anak dan mertua memerlukan proses dan waktu untuk bertumbuh. Dari mana mulainya? Dari masing-masing individunya, dari orang yang pertama kali menyadari bahwa perlu ada yang perlu diubah.
Apakah kita tak boleh mengharapkan orang lain berubah? Boleh, tapi tak menjamin mereka berubah. Dan tak adil bila menuntut orang lain berubah sementara diri sendiri tidak.
Jurus ke-4: Positif self-talk
Setiap orang memiliki dialog dalam diri yang seringkali terjadi secara otomatis. Bila kita terbiasa menggunakan jurnal, menulis diary atau menulis essay, seringkali dialog ini menjadi nyata dalam tulisan. Artinya dapat dibaca ulang dan sekaligus dievaluasi kembali.
Banyak orang lain lagi menggunakan jurnaling sekedar menulis jadwal kegiatan sehari-hari, namun tidak terbiasa dan tidak cukup sabar mengerjakannya sebagai kegiatan evaluasi kesehatan mental mereka dalam bentuk dialog dengan “diri sendiri’. biasanya dialog ini dilakukan menjelang tidur sebagai suatu muhasabah diri.
Dialog dalam keadaan situasi soliter, melatih evaluasi terhadap respon yang terlah terjadi, mengeluarkan sampah pikiran yang tidak perlu di simpan atau melatih membuat pertimbangan dan mengoreksi kondisi emosi sehingga makin terkendali.
Bila kita mampu rileks, terbiasa mindfulness atau memiliki kemampuan mengelola lintasan pikiran, dialog dengan diri sendiri akan semakin fokus dan melahirkan gagasan baik untuk menyelesaikan masalah.
Jurus ke-5: Kelola peran dan stress dalam hidup dengan baik
Stres itu diperlukan sebagai suatu daya untuk menciptakan dinamika hidup. Tapi bila berlebihan atau tak bisa dikelola, maka akan menjadi distress dan energi fisik dan psikis terkuras alias burnout.
ragam cara menghadapi stress diperlukan terkait dengan berbagai peran dan hidup, tuntutan yang berbeda, sehingga seringkali diperlukan fleksibilitas dalam menghadapinya. Kesehatan mental akan terlihat pada pengelolaan emosi yang baik, pemikiran yang logis dan kehidupan sosial yang seimbang dan menyenangkan.
Pada beberapa kasus sebelumnya ada contoh yang baik, misalnya bagaimana caranya memaafkan, bagaimana mengelola multiperan,berdamai dengan diri sendiri, mengelola dan memberdayakan innerchild. Yang paling utama adalah mengembangkan aspek spiritual dalam hidup, cari makna dalam pengalaman hidup pribadi, lakukan hal-hal yang memberdayakan dan membangun harapan (hope). Intinya hidup secara seimbang lahir dan batin.
Selamat berlatih.
Bandung, 22 Mei 2020