Keluargaku yang Berharga

Iip Fariha
4 min readDec 16, 2021

--

#ngobrolasyikpsikodrama

Photo by M.T ElGassier on Unsplash

Berikut adalah kisah yang ditulis pada fase reflektif psikodrama tentang keluarga. Seperti dituliskan oleh salah satu peserta, kita sebut saja namanya Ibu Gemilang yang berkenan untuk membagikan kisahnya. Semoga Anda dapat memetik hikmah dengan bercermin secara bijak pada model keluarga ini. Selamat membaca.

##

“Seberapa kamu merasa nyaman dengan keluargamu?”

Pertanyaan ini membuatku tersentak, “Ya, seberapa nyaman aku dengan keluargaku?”. Kusadari bahwa pertanyaan itu begitu penting dan bisa menjadi sebuah ukuran.

Angka 8 dari skala 10 akhirnya kupilih cukup mewakili, yaitu nyaman bisa menjadi diri sendiri, kalau itu ukurannya. Aku masih termenung, “Apakah anak-anak merasa nyaman denganku?”

Well, aku adalah seorang ibu dengan keluarga besar. Aku memiliki 7 orang anak yang mulai beranjak dewasa. Menurutku, anak-anak cukup dekat dan mau terbuka denganku. Mereka senang bercerita apa saja. Mereka bisa bercerita seperti kepada teman mereka, pekerjaan, cita-cita, obsesi dan masalah pribadi mereka, bahkan mereka tak sungkan ketika menceritakan urusan pacar.

Bila diasosiasikan, aku ingin seperti meja makan. Sebuah meja makan keluarga yang terletak di sebuah ruang makan yang hangat. Aku baru menyadari bahwa selama ini aku berusaha menjadi penjaga kehangatan dalam keluarga melalui kasih sayang, perhatian dan pelayanan yang bisa kucurahkan untuk anak-anak.

Aku juga ingin seperti bunga, yang tampil indah, luwes tampil manis di atas meja. Aku seorang ibu dan wanita yang tampil seperti itu. Aku tak ingin menjadi lampu yang tampak dominan di ruangan. Lampu selalu memancarkan sinar yang kuat ke semua arah, dan aku bukanlah seorang pengatur yang dominan seperti itu. Meskipun mungkin itu suatu kelemahan, aku tak ingin menjadi pengatur, memaksakan kehendak kepada anak-anak, bersikap keras kepada anak-anak walaupun hal itu benar.

Bila rumah tangga sebuah rumah, maka aku adalah jendela. Ya, aku menyadari fungsiku saat ini. Kusadari bahwa aku mempunyai tugas membukakan mata mereka seluas-luasnya, mengenalkan dunia luar kepada anak-anak. Dunia penuh dengan aneka bentuk rupa dan tantangannya, yang akan menjadi bekal pegangan mereka melangkah ke dunia luar melalui pintu masing-masing yang akan mereka pilih.

Aku adalah jendela yang akan membantu mereka melengkapi wawasan mereka tentang dunia. Aku misalnya mendampingi salah satu putriku yang tertarik memilih guru PG atau PAUD sebagai profesi yang akan digelutinya. Begitu seterusnya untuk anak-anakku yang lain sesuai dengan kemampuanku.

Sebagian orang mungkin akan menilai keluargaku aneh. Aku tak merasa demikian. Kami rutin dan sering berkumpul bersama secara komplit, aku, suami, anak-anakku dan anak-anak sambungku. Kami berkumpul saat weekend, melakukan kegiatan syukuran ulang tahun, nonton film, wisata bareng, merayakan lebaran, dll. Keseruan dan kegembiraan yang betul-betul kami rasakan sekaligus banyak hikmah besar dari kebersamaan yang kami jalani. Menurutmu, “Apakah itu hal aneh?”. Aku menerima semua anak-anakku dan tak pernah membedakannya bahwa mereka tidak semuanya lahir dari rahimku. Bagiku, keluargaku sangat berharga. kami merasa sangat “kaya” dengan kesatuan dan sinergi itu. Anak-anak malah tidak menutupi kenyataan itu dari teman-temannya, mereka terkadang bangga karena mempunyai 2 rumah, 2 ibu, plus 3 saudara tiri.

Bagiku memang anak-anak tidak perlu merasa menjadi korban dari perceraian orangtuanya. Itu hal pertama yang akan menentukan. Permasalahan itu cukup bagi ayah ibunya dengan berubahnya status pernikahan mereka. Tapi anak-anak tidak perlu merasa kehilangan sosok ayah yang mereka butuhkan. Mereka juga tetap memiliki ibu dan juga menerimaku sebagai ibu sambung.

Bagiku Allah sudah begitu baik memberikan kondisi keluarga seperti ini yang sebagian dari hikmahNya membuat anak-anakku lebih matang dibandingkan teman seusianya. Aku memiliki empat orang anak yang sudah mandiri dengan pekerjaan/bisnis masing- masing sambil menyelesaikan kuliah adalah karuniaNya yang Maha besar. “Bukankah itu karuniaNya?”

Baru kusadari ini semua, 3 jam psikodrama memberiku kesempatan untuk melakukan refleksi. Psikodrama membuatku makin menyadari bahwa keluarga amat berharga.

Benar juga seperti kata Teh Iip bahwa selama ini banyak pikiran-pikiran yang tidak terucapkan. Emosi, cita-cita, harapan yang tidak terekspresikan yang ternyata terfasilitasi terungkap melalui kelas psikodrama.

Aku merasakan kegiatan ini begitu komplit. Aku merasakan proses healing saat aku merunut sifat/karakter yang dimiliki. Itu semua berkaitan dengan apa yang kualami dalam keluargaku di masa lalu. Aku menyadari juga bagaimana cara orang tua mentreat anaknya. Apapun itu cukuplah menjadi contoh/hikmah bagi gambaran ideal keluarga masa depan yang lebih baik yang ingin kami wujudkan. “Mungkinkah?”

Aku masih merasa ada sesuatu yang tidak nyaman. Saat kurenungkan kembali pertanyaan “ seberapa nyamankah hal itu?”. Paling tidak saat ini aku menyadari posisiku di skala 6. Aku masih merasakan kegalauan menyangkut target iman taqwa, sholeh sholehah yang kurasakan masih sangat kurang, baik bagi anak-anak maupun diriku sendiri yang tentunya menjadi role model mereka sehari-hari.

Makin bertambah kesadaran diriku kini dan semakin termotivasi untuk tak sekedar menjadi sosok bunga yang bisa memberi kehangatan melainkan lebih mampu pula berperan sebagai ibu yang juga tegas. Aku perlu mendorong putra putri hingga saatnya husnul khatimah yang akan mereka jemput dengan sebaik baik akhlak yang mereka miliki. Dan hanya kepadaNya lah kita semua kembali 🤲

G, Bandung

##

Anda tertarik untuk merenungkan juga, “Dari 0 sampai 10, Seberapa nyaman Anda dengan keluarga Anda?” .

Bagi praktisi psikodrama, Anda perlu mengenal-istilah-dalam-psikodrama salah satunya adalah teknik spektogram ini.

Bandung, 16 Desember 2021

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet