Dunia Super Sibuk

Iip Fariha
6 min readJan 26, 2022

--

#jurnaling

Photo by Jené Stephaniuk on Unsplash

Seorang ibu mengeluhkan pekerjaannya. Belum sempat mengepel, anak-anak main air, tagihan listrik dan telepon belum dibayar, suami berselingkuh, ART tidak dapat dipercaya malah jorok, bikin snewen, hidup gak ada indah-indahnya. fuuuh…!

Kita ingin memiliki rumah yang bersih dan tertata rapi, baju dalam keadaan tersusun di lemari, taman tertata rapi, anak-anak nurut dan mengerjakan tugas sekolah dengan tertib. Bukan hanya itu, kita ingin pekerjaan kita selesai dengan baik, tidak dikejar tenggat waktu, tidak ditegur rekan kerja apalagi dipermalukan bos di kantor. Kita maunya suami perhatian, membawa kita melakukan me time tanpa gangguan pekerjaan rumah atau tangisan anak-anak. Kita berjuang bahagia dan mencoba menikmati piknik bersama, tetapi lalu cemas dengan semua pekerjaan yang ditinggalkan, khawatir dengan keselamatan anak-anak, malah berkonflik dengan suami dan uang kita terbatas.

Terkadang kita ingin memastikan semuanya baik-baik saja, tapi dunia dan hidup kita tidaklah selalu baik-baik saja. Apalagi kita memiliki standar dan berpikir menurut subjektivitas kita. Dunia tidak dan tidak akan pernah benar-benar sesuai dengan maunya kita. “Memang kita mampu mengendalikannya?”

Semua hal ini menjadi PR setiap hari, membuat pikiran ruwet, jlimet, overthinking, lalu khawatir tanpa akhir. Belum cukup juga, emosi mudah tersulut, sumbu pendek kata orang. Bagaimana lagi, si ibu memang merasa tegang, cape, sudah pasti jadi, “Piuusiiiiing”

Belum lagi tak ada satupun yang mengapresiasi apa yang sudah kita lakukan. Peran bertumpuk dan overload membuat kita nyaris tak bisa bernapas. Stress? ya, overthinking? ya, marah, kecewa, lalu sakit-sakitan dan ga hepi. “Kenapa ga mati saja,”teriak seseorang yang sudah frustasi dan mungkin depresi. “Wajar?” ya, bila kita tak mengelola hidup dengan baik, kita bisa terjebak dalam lingkaran setan yang kita ciptakan sendiri. Dan sialnya itu bisa berawal dari isi kepala kita sendiri, dan kita bawa kemana-mana.

“Eh tapi masa ga bisa hepi sih? dibikin hepi aja gimana?”, cari pembenaran, pelampiasan. Cari cara untuk healing, mungkin ikutan komunitas, ikut kegiatan menggambar, menulis, mengikuti kajian, dengerin nasehat ini dan itu. Tambah sibuk dan tak jelas lagi mana yang penting mana yang bikin hepi. Lalu menyalahkan diri, atau dilabeling kawan, “Masa iya sih ga bersyukur? Kan suami punya penghasilan baik, anak-anak juga sehat, makan masih enak, bisa nonton film, punya mobil. Seharusnya bersyukur dong!” , “Ah kamu lagi kurang iman kalee” Judgement teman menjadi cap baru yang mengungkung kebebasan dan harga diri direndahkan.

Hidup begitu sibuk, diwarnai benang kusut pikiran dan drama yang penuh perasaan menguras air mata masih tema yang ngetrend. Apa yang salah? atau memang begitu adanya manusia? Seperti sinetron atau drakor yang digandrungi emak disela-sela mengerjakan setrikaan.

##

Itulah sebabnya kita melakukan kegiatan workshop bye bye overthinking. Mengurai benang yang sudah kusut tidak semudah mengurai pikiran yang sudah bercampur, bertumpuk, juga berisi hal-hal negatif, tidak logis dan tidak memberdayakan. “Mengapa tidak mengguntingnya aja?” Ya, kalau benang, barangkali kita bisa buang saja sekalian dan ganti yang baru. Pikiran kita adalah jiwa kita, ia menyatu dan mempengaruhi emosi, dan menentukan tindakan dan keputusan yang kita perbuat dalam hidup. Sedangkan kita diberikan potensi akal ini untuk memandu hidup agar menemukan kebaikan, kebenaran, dan berjalan dengan lurus, tidak zalim pada diri sendiri, tidak juga tersesat pada tindakan-tindakan yang keji sehingga kita hidup dengan damai, tenang dan bahagia.

Manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan hidupnya, hajat hidup itu bukan sekedar makan, minum, sex tapi juga suplai untuk otak dan hati. Mengabaikan kondisi emosionalitas sama saja seperti puasa tak pernah ifthar. Banyak orang menahan diri, alasan untuk melakukan sabar, tapi sesungguhnya abai dan mencari pembenaran. Agama tidak membenarkan tindakan hal tersebut, jangan salah kaprah dengan dalil bersabar dan ikhlas.

Kesedihan perlu dibalut dengan pelukan dan dukungan. Ketakutan perlu ditenangkan dan diberdayakan menghadapi situasi nyata dengan solusi yang memberdayakan. Kemarahan perlu ditaklukan dengan menggunakan cara yang aman dan tepat sasaran. Emosi yang ditolak menyimpan energinya yang gelisah menuntut saluran. Tetapi tidak sekedar selokan pembuangan, dan membuangkan seperti kita melempar sampah dan menuai busuk di TPA. Mungkin bahkan bom waktu sewaktu-waktu meledak tak terduga. Sampah saja perlu dipilah dan dipilih, dikelola dengan metoda 4R. Sebagian ada yang masih berguna, sebagian dialihfungsikan, sebagian dihancurkan, sebagian memberi manfaat lain yang memberdayakan.

Emosi bukan sampah, emosi adalah perasaan yang membuat hidup kita berwarna dan indah, seperti lukisan yang memiliki pesan dan makna. Pikiran membingkainya, membuatnya layak untuk diperhatikan, dan ditempatkan di tempat yang semestinya. Tempat adalan konteks, situasi, kejadian yang membuat kita memahami dan dapat melakukan validasi terhadap pesan dan makna dari kehidupan kita.

Kita akan jauh lebih menghargai sebuah lukisan ketika ia ditempatkan dalam bingkai yang cocok dan disimpan di galeri seni. Mungkin orang tak akan melirik sama sekali ketika sebuah kertas lusuh, diremas dan bertumpuk ditempat sampah. Jika kita memperlakukan kebutuhan emosi kita seperti sampah yang perlu dibuang, tampaknya kita akan terus menerus menggerus hati kita semakin luka atau kering lalu mati. Saya tidak tahu apakah perumpamaan ini cocok tetapi kita bisa lebih menghargai hidup kita sebagai anugrah, sehingga semua hal yang kita alami dipahami maksudnya, bermanfaat dan tentunya berharga.

Hidup berharga dan bahagia itu disini, bukan menunggu di syurga. Sebab apa yang kita dapatkan kelak adalah apa yang kita tanam hari ini.

Pikiran dan perasaan tidak pernah lepas dari konteks, terkadang kita melewatkan momen karena semua bergerak dengan kecepatan tinggi. Dunia begitu sibuk, semua orang memiliki kegiatan dan fokus masing-masing. Banyak kejadian yang terjadi di sekeliling, dan tak mungkin seluruhnya kita rekam. Bahkan bagaimana kita sendiri sedang menjalani aktivitas terkadang luput dari pengamatan. Kita bisa kehilangan pengalaman personal yang bersifat pribadi.

Semua orang dapat terpapar oleh stimulus dunia luar yang hirup pikuk, sebagian kita sulit untuk memilahnya, lalu malah terputus dengan apa yang benar-benar riil kita hadapi. Itulah sebabnya fokus dan mindfulness itu tidak mudah. Kita sering perlu menyingkir sesaat dan mencoba untuk mengikat pengalaman pribadi dengan menulis jurnal. Ya menuliskannya saja dulu walaupun masih sulit untuk menatanya. Menulis (Apakah Perlu Referensi?), yang penting kita mulai menerimanya sekaligus menariknya dalam kesadaran.

Jurnal membantu kita jeda, menyortir tumpukan pikiran dan emosi yang bercampur sehingga tak bisa kita bedakan mana warna primer dan sekunder. Konteks dan kejadian perlu dibingkai dengan jelas dengan pengetahuan dan wawasan. Apa yang sebenarnya terjadi, kapan dan dimana hal itu saya alami, mengapa saya mengalami ini, bagaimana hubungan sebab akibat yang membuat saya berpikir dan berasa seperti saat ini.

Ketika kita menuliskannya dalam sebuat jurnal pikiran, seperti kita sedang membuat lukisan kehidupan kita, kita mungkin sesaat spontan mencoret dan melukisnya. Tapi lukisan kita dapat kita tengok kembali, seperti bagaimana kita dapat mengenali warna emosinya. Apakah ini benar-benar emosi primer yang kurasakan ataukan campuran rasa. Emosi sering bercampur tetapi berbeda dengan emosi sekunder yang kehilangan arah dan tujuan semula, seringkali pula tercipta untuk skenario dramatis akibat kebutuhan untuk mendapat perhatian.

Apakah pikiranku logis dan sesuai dengan konteksnya saat ini, bukan hasil mengolah dugaan tak berdasar, atau melebih-lebihkan agar tampak lebih hebat dan dominan. Apakah saya mengenali jenis pikiran ini, overthinkingkah? logiskah, lebaykah? benar dan bermanfaatkan, memberikan solusikah?

Kita memiliki akal sebagai alat yang canggih, walaupun otak freprontal ini tentu perlu dilatih dan dimatangkan dengan wawasan dan pengalaman. Otak tempat kita mampu berpikir kritis memang seperti pisau bedah yang dapat menganalisa dengan tajam bila sering kita asah. Fungsi luhur, sebagai kelebihan homo sapien ini mampu membuat pertimbangan, dan membuat keputusan. Fungsi berpikir dengan akal sehat ini mampu untuk memandu agar setiap lintasan pikiran kita teruji dan dipetakan sesuai konteksnya. Pikiran kritis mengendalikan gejolak emosi yang mungkin menjadi liar karena kurang wawasan atau keterbatasan pengalaman. Maka akal sehat itu penting agar spontanitas tetap dalam batasan wajar juga tak merugikan.

Seorang ibu rumah tanggapun terkadang perlu memilah peran dan prioritas kegiatan. Ada banyak hal yang penting, tapi mungkin dapat didelegasikan, sebagian tidak perlu dipikirkan bahkan tak masalah saat kita abaikan. Banyak hal didunia yang hirup pikuk ini tak relevan atau bahkan tak manfaat bagi kehidupan kita yang singkat. Sebagian malah perlu diabaikan saja, karena diluar kendali kita. Sebagian lagi cuma hal-hal receh yang walaupun ketinggalan, tak akan menjadikan hidup kita berantakan.

Penghargaan terhadap pencapaian juga penting, bukan untuk diagungkan di depan publik seperti kompetisi peran. Tetapi hal-hal rutin dan apa yang kita anggap sepele dan kecil seringkali tersembunyi tapi sangat penting. Keberhasilan hidup seseorang bukanlah karena ia sanggup menunjukkan hal-hal besar atau menang dalam perlombaan. Kehebatan seseorang itu adalah justru saat ia mampu mengelola hidupnya yaitu ketika ia mampu mengerjakan hal-hal yang justru sangat menyebalkan atau mungkin terabaikan.

Hidup memang begitu sibuk, tetapi terkadang kita meremehkan semacam rumah yang bersih dan pola makan yang sehat. Ada tugas receh seperti menjaga dapur dan cucian tidak menumpuk, tetap menjadi tugas harian yang menyebalkan. Namun mana dan kapan saat kita perlu melakukan itu dengan riang, saat kapan hal itu hanya perlu didelegasikan atau kita abaikan. Menjadi bahagia ada didalam pilihan pikiran dan emosi yang menyertainya. Tindakan kita dapat saja sama, namun nuansa lukisan hidup yang kita ciptakan tentu berbeda pesan dan maknanya. Kata orang, bahagia ada dalam hati, dan pikiran kita tentunya. “Bukan dari aplaus pendukung medsos kita, bukan?” Jadi menulislah sebagai proses mendidik diri dan membuat hidup lebih bahagia yang seutuhnya.

Selamat melukis hidup, dunia memang selalu sibuk tetapi kita dapat menyetir hidup kita untuk melambat atau berhenti sesaat. Selamat membuat jurnal harian. Jadikan hidup kita bermakna dan meraih bahagia setiap saat.

Bandung, 26 Januari 2022

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet