Yang pasti hanyalah ketidakpastian

Iip Fariha
7 min readMay 3, 2020

--

Seringkali saat tak ada lagi yang dapat kita harapkan, barulah manusia menyadari kehadiran Tuhan yang Maha Kuasa atas segalanya. Tidak perlu menunggu semuanya tak bisa diharapkan, sebab keyakinan dan harapan inheren didalam diri setiap manusia.

“Izin share, Teh Iip, situasi nggak pasti ini bikin saya menyadari bahwa selama ini saya hanya bergantung pada sesuatu yang pasti. Inginnya selalu pasti. Saya belajar untuk terbiasa dengan ketidakpastian dan ini nggak nyaman. Dalam ketidakpastian, saya belajar mengamati, bukan mengartikan. Mengamati orang rumah saya yang begitu sangat patut disyukuri. Mengamati diri saya yang sangat lama tidak diperhatikan. Di tengah masa sulit ini, kalau semakin merasa paling sulit, ya lebih sulit. Belajar untuk menerima, satu per satu orang yang saya kenal, mulai terkena virusnya. Belajar untuk menerima. Dan saya menyadari bahwa ternyata merayakan hidup itu bukan hanya tentang apa yang didapatkan, tapi juga tabah dengan apa yang saya pelan-pelan lepaskan. Termasuk kesempatan- kesempatan yang akhirnya nggak bisa saya dapatkan

Ketika saya hanya memahami bahwa hidup adalah adu cepat kompetisi, masalah semakin sesak di dada. Mozart pernah berkata, “Keindahan musik bukan pada nada, tapi pada jeda antara dua nada.”

“Tidak semua keinginan harus dipuaskan segera!”.

(anonim)

###

“Apakah semua keinginan kita bisa terpenuhi? Apakah ada yang pasti dalam hidup kita?” “Tidak ada!”

Suka atau tidak suka mendengarnya, tidak ada yang pasti dalam kehidupan kita, kecuali ketidakpastian itu sendiri. Kehidupan berisi peluang, kesempatan dan tantangan. Hasil akhir tidak pernah ada yang bisa memastikan. Dalam ketidakpastian kita belajar berusaha dan menghadapi kemungkinan-kemungkinan. Memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk, menentukan mana yang penting dan yang tidak penting, mengukur kemampuan diri, mana yang sanggup dan tidak sanggup dihadapi. Dalam ketidakpastian kita belajar menerima bahwa usaha saja tidak pernah cukup. Karena selalu ada peluang berubah saat akhir dan ketika tidak semua hal bisa dikendalikan, peluang gagal dan berhasil sama saja. Ketidakpastian juga mengajarkan untuk menerima berbesar hati atas kekalahan, merayakan apa yang dimiliki dan merelakan apa yang bukan menjadi milik kita atau yang terlepas dari kita. Pada saat yang sama selalu ada kesempatan dan peluang lain. Peluang usaha itu sebenarnya selalu fifty-fifty. 50 % mungkin berhasil 50 % mungkin gagal.

Ini tampaknya terkesan filosofis dan kita sering menganggap hal ini sebagai petuah saja. Namun sebenarnya tema ini sangat banyak dibahas dalam kajian Psikologi positif, seperti logotherapy dan lebih banyak lagi dalam agama. suatu hari saya ingin menjelaskannya secara khusus, sementara silakan kaji pandangan Aristoteles tentang eudaimonia(kebahagiaan), yang menjadi acuan dari Seligman, tokoh Psikologi Positif tentang kebahagiaan, virtue dan teori Gardner tentang kecerdasan spiritual, juga tentang Psikologi Islam khususnya Anchor theory ( Hope ) dari Pak Bagus Riyono- Presiden Asosiasi Psikologi Islam Internasional.

Berbicara tentang peluang, seperti yang kita tahu secara matematis, sama praktisnya dengan melempar koin mata uang. Kita tidak tahu sisi mana yang akan keluar. Yang mana saja yang muncul lebih dulu, dalam permainan selalu bisa kita rayakan. Seperti kata Rendra, ”Ketika langit dan bumi bersatu, anugerah dan bencana sama saja. Bagi seorang yang memiliki iman pada Yang Mengatur semua ini, dua dikotomi tidak pernah merugikan siapa pun. Sakit dan sehat, hidup dan mati, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya.

Karena semua serba tidak pasti, fitrah manusia selalu mencari sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, acuan, ikatan, harapan atau keyakinan, iman, tempat berlabuh dan semisal itu. Terminologi ini banyak dibahas dalam ilmu Psikologi khususnya teori-teori motivasi, juga agama.

Kita mengenal teori Maslow, misalnya, yang menempatkan puncak tertinggi dari dorongan manusia adalah untuk mengaktualisasikan dirinya. Namun aktualisasi juga merupakan suatu kondisi/state atau hasil, sehingga teori ini bisa dikritisi, tentang apa yang membuat manusia mencapai kondisi tersebut? Terlepas dari kritik itu, Maslow menambahkan aspek spiritual pada puncak piramida teori motivasinya.

Sedangkan ahli lain seperti Gardner menjelaskan lebih rinci apa yang menjadi dinamika dari spiritualitas dalam psikologi.

Gardner (1999) melaporkan ada tujuh faktor yang penting dalam kecerdasan spiritual dan tingkah laku.1.  Keilahian, perasaan terkoneksi pada sosok Tuhan atau Sumber Energi Ilahi.2.  Mindfulness, kesadaran akan keterkaitan pikiran dan tubuh, dengan penekanan pada praktik-praktik yang meningkatkan hubungan itu.3. Intelektualitas, kognitif dan pendekatan spiritual, dengan fokus pada pemahaman teks-teks suci,4. Komunitas, kualitas spiritualitas yang terhubung dengan komunitas pada umumnya.5. Persepsi ekstrasensor, perasaan spiritual, dan persepsi yang terkait dengan cara pengetahuan yang tidak rasional.6. Spiritualitas masa kanak-kanak, asosiasi pribadi, historis dengan spiritualitas melalui tradisi dan aktivitas keluarga.7. Trauma, rangsangan untuk kesadaran spiritual melalui mengalami penyakit fisika atau emosional atau trauma pada diri sendiri atau orang yang dicintai.

Bisa dikatakan sisi spiritual dari Psikologi adalah pengakuan adanya kerentanan hidup manusia yang membutuhkan pegangan akhir yang menjamin kehidupan ini tidaklah sia-sia, bahwa puncak tertinggi manusia adalah kecerdasan spiritualnya.

Kembali pada potensi dasar manusia, fungsi utama dari manusia adalah adanya akal atau rasio. Ini memang banyak dibahas dalam Filsafat termasuk juga dalam ilmu Psikologi dan agama. Karena manusia berperilaku dengan suatu tujuan tertentu. Psikologi di sini khususnya Psikologi Positif yang dipelopori oleh Seligman, banyak mengambil pandangan dari filsafat Aristoteles yang percaya bahwa tujuan akhir manusia adalah mencapai kebahagiaan.

Indikasi manusia yang sudah memaksimalkan rasionya ditandai dengan munculnya virtue (akhlak-etika) dalam dirinya atau seseorang yang menjalani hidupnya untuk menghasilkan virtue (akhlak-etika) adalah orang yang hidupnya eudaimonic (baik-bahagia). Pada buku pertamanya, Authentic Happiness, Seligman menjelaskan tiga indikasi untuk menjelaskan konsep happiness (eudaimonia), yaitu adanya positive emotion (emosi positif), engagement (keterlibatan), dan relationship (hubungan positif) (Seligman, 2004). Tiga unsur ini difokuskan untuk membangun teknik-teknik dan intervensi setelah seseorang teridentifikasi virtue dan strength (karakter utama) yang ada pada dirinya. Virtue (etika) adalah karakter yang melekat pada diri seseorang, hasil dari cara seseorang itu mengatur dirinya. Platon mengatakan bahwa kondisi optimal (excellence) seseorang akan menghasilkan empat virtue (etika) utama, yaitu, Sophia(kebijaksanaan), andreia (keberanian), sophrosune (kebersahajaan), dan justice (keadilan) (Wibowo, 2010).

Bila Platon dan Aristoteles menjelaskan bahwa asal kemunculan dari virtue (etika), berasal dari daya-daya yang membentuk jiwa yaitu, rasio (logisticon), thumos (hargadiri), epithumia (nafsu rendah) (Aristoteles, 2004), (Wibowo, 2010), Seligman menambahkan dua virtue (etika) berdasarkan pengamatan dan penelitiannya, yaitu love-humanity (cinta-kemanusiaan) dan spirituality- transcendence (spiritualitas) (Seligman, 2004; Setiadi, 2016).

Trauma tidaklah selalu buruk karena dalam pengalaman traumatik terselip suatu dorongan lain pada manusia untuk memaknai pengalamannya, memancing suatu kompetensi baru yang lebih unggul atau menumbuhkan virtue dan nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Dalam konsep innerchild, trauma akan memunculkan innerchild lain, tergantung bagaimana kita yang memberdayakan menjadi hal yang positif atau tidak.

Ketika seseorang mengalami sakit yang hebat, dia belajar menghargai kesehatannya, lebih mengerti bagaimana cara kerja fisiknya dan lebih menyadari kehadiran sistem otomatis yang bekerja dalam tubuhnya yang sempurna tanpa campur tangannya. Belajar menghargai manusia lain yang juga berjuang untuk sehat dan orang lain yang menolong manusia sakit.

Dalam Psikologi positif,terutama logotherapy, kita belajar menemukan makna hidup dalam sakit dan penderitaan, tentang keberhargaan waktu yang kita miliki, tentang cinta dan penghargaan, tentang tanggung jawab dan pilihan hidup yang lebih arif dan penuh syukur.

Kehadiran pandemik virus corona khususnya Covid-19 mengajarkan kita hal-hal yang paling mendasar, tentang belajar mencuci tangan, menjaga kebersihan dan kesehatan diri, menjaga imunitas tubuh dengan makan dan hidup seimbang.

Dalam berjarak dengan manusia, kita belajar menghargi orang dan keberadaannya, selalu jeda sebelum merespons, memberikan hak-hak privasi dan kemerdekaan untuk bertindak dan berpikir.

Ketika kita hanya bisa tinggal di rumah, kita memberi kesempatan kepada alam semesta untuk berbenah tanpa campur tangan kita. Udara, air dan bumi berproses dan mengalir melalui sistem alam semesta yang alami. Polusi berkurang, udara menjadi bersih, oksigen meningkat, ozon membaik dan Corona sendiri yang hanya makhluk mikrokosmis ini telah mengalahkan milyaran manusia yang berseteru dan berlomba siapa yang paling mampu menyelamatkan iklim.

Dalam kesendirian kita mengerti banyak kebutuhan hidup kita yang tak bisa kita urus sendiri. Betapa kita saling bergantung satu sama lain sebagai makhluk yang sama-sama tak berdaya. Dalam kesunyian, kita belajar menemukan pegangan atas kecemasan dan ketakutan kita yang tak mampu mengendalikan apa yang mungkin saja terjadi. Dalam kematian kita belajar mencintai hidup dan yang memberi kita kehidupan. Belajar mengoreksi kesalahan, meminta ampun pada Tuhan dan memanfaatkan waktu kita yang tersisa.

Melalui pesan Corona yang tak pernah bisa kita lihat, kita belajar untuk mengerti pada akhirnya ini semua hanyalah tentang kasih sayang Tuhan dan bahasa cinta-Nya. Dan mungkin perlu waktu untuk kita cerna. Karena kita masih sering berkutat dengan keinginan diri tanpa mengerti hakikat yang tersimpan dari ini semua.

Mari jeda sebentar, untuk merenungkan pelajaran apa lagi yang diperoleh dari covid-19 ini. Pada akhirnya kita akan menemukannya, itulah virtue, nilai, karakter, dan kita akan belajar berprilaku yang lebih baik yaitu akhlak. Semua itu akan muncul bersamaan dengan pertumbuhan diri kita. setiap orang memerlukan waktu untuk berproses dan sampai pada pemaknaan ini.

Sedangkan jurus pamungkas dari ketidakpastikan itu adalah Hope, Harapan sebetulnya lebih bersifat praktis sekaligus lebih filosofis daripada teori yang mendasarinya. akan saja jelaskan berikutnya.

Pada awalnya, semua manusia mengandalkan materi, koneksi, dan diri sendiri untuk berjuang menghadapi hidupnya. Ternyata uang banyak, makanan banyak, obat-obatan tak akan menyelamatkan. Bila kita terkena takdir yang sudah ditetapkan bagi kita, misalnya, sakit atau kematian. Siapa yang bisa menangkal? Bisa, hanya sebagai peluang saja.

Manusia mengandalkan jabatan, posisi, maka bila situasi tak lagi mungkin, tak ada urusan dengan posisi Anda. Apakah Anda anggota DPR, punya uang banyak, Anda antri dan diisolasi, misalnya, atau bila mati terinfeksi Corona, apakah ada yang menyentuh dan memeluk bahkan menyampaikan selamat tinggal saat anda sudah menjadi mayat? Mungkin bahkan dimana anda bisa dikuburkan, masih mungkin dipertengkarkan masyarakat yang takut.

Manusia bisa saja mengandalkan diri sendiri? Sepertinya tidak. Kita makan saja bergantung pada orang lain. Syukurlah, misalnya masih ada bahan baku di rumah. Bagaimana jika tak ada petani yang menanam? Tak ada pedagang, tak ada tukang sayur, tak ada driver Gojek, tak ada … tak ada… Tak ada siapa-siapa.

Ketika manusia menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa diandalkan, selain kekuatan keyakinan, maka manusia membentuk harapan (Hope) dalam dirinya. Berharap pada Yang Mahatinggi, pada Yang Mahakuasa dan Yang Mengendalikan ini semua. Mari tidak menunda ketika semua tak bisa lagi diandalkan, bergantunglah pada Yang Maha Kuasa sejak awal mula, dan kita punya pegangan yang paling kuat dan tak terkalahkan.

Be religious…

Bandung, 4 April 2020

*****

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet