volha-kudzina-Ww4o8k_BC7Y-unsplash.jpg

VITAMIN JIWA

Iip Fariha
6 min readJul 20, 2020

--

Secuil refleksi kenangan tentang kesehatan mental 30 tahun lalu

Teman-teman kuliah saya 30 tahun lalu, apalagi kakak angkatan di Fapsi Unpad, tentu masih dapat mengingat figur ibu Parwati Soepangat (meninggal usia 84 tahun). Sejak lulus kuliah, saya hampir saja melupakan beliau, sampai mendapat kabar pada tanggal 24 Juli 2016, saluran resmi angkatan mengabarkan bahwa beliau meninggal dunia. Katakan saja, setelah 24 tahun tak berjumpa dengan beliau, saya mengingat kembali satu episode pertemuan kami sebagai dosen dan mahasiswa. Saya tidak sedang menceritakan kisah untuk mengenang kematian ataupun jasa-jasa beliau. Ini hanyalah salah satu secuil kisah berharga yang menyelinap di benak saya saat obrolan di WA grup. Dalam rangka 30 tahun kisah angkatan kami, seorang kawan menampilkan wajah beliau sebagai salah satu dari dosen walinya, lalu ingatan saya kembali terpaut untuk kedua kalinya.

Saya juga memang bukan anak wali beliau dan hanya -seingat saya- mendapatkan tatap muka dengan beliau pada matakuliah Kesehatan Mental, yang sekarang menjadi isu paling penting di seluruh jagat raya ini. Isu ini juga penting bagi saya sebagai praktisi psikologi klinis, sebagai satgas covid-19. Barangkali isu ini pula yang memancing ingatan saya pada satu kata-kata menarik dari beliau.

Khasanah ilmu pengetahuan itu teramat luas, seperti lautan yang tak bertepi dan tak bisa kita selami kedalamannya tanpa perangkat dan keahlian yang memadai. Seringkali kita sulit menerima dan menguasai suatu pelajaran, karena berbagai alasan, karena kurang menarik, metoda belajar membosankan, topiknya kurang diminati, waktu belajar tidak tepat, kecapaian, gangguan konsentrasi dan lain-lainya. Sebenarnya bisa juga karena memang ilmu itu belum waktunya kita kuasai. Karena kita tak mau kelihatan lemah, maka seringkali alasan diarahkan pada dosennya, seperti karena mereka terlalu pintar dan tak bisa menjelaskan secara baik pada kita.

Setelah melewati masa kuliah 30 tahun lalu, saya merenungkan, seringkali beberapa hal yang diajarkan guru-guru dan dosen itu hanya terekam sebagian atau malah tidak sama sekali. Saya termenung saat anak saya yang mahasiswa bertanya. Misalnya, dulu saya belajar statistik dan fisika, “apakah ilmu itu masih saya ingat dan saya pakai?”. Mungkin banyak yang menjawab banyak pelajaran sekolah dan materi kuliah langsung kita lupakan, setelah kita bekerja, setelah kita lulus, bahkan segera sesaat begitu kita melihat nilai ujian di papan pengumuman.

Pengalaman ini memberi kesan, seolah banyak pelajaran tak berguna, kuliah salah jurusan atau terlalu banyak informasi tidak relevan, sehingga kita juga melupakannya dengan cepat. Tidak sepenuhnya benar, bahwa kita melupakan dan apalagi mengambil kesimpulan bahwa materi kuliah tersebut tidak bermanfaat. Manfaat tidak selalu tampil dalam bentuk ingatan pada konten material matapelajaran, ataupun pada kemampuan kita mengembangkan aplikasi materi kuliah tersebut, mengajarkannya atau apapun bentuknya. Manfaat yang kita dapat dari guru-guru dan dosen-dosen kita terkadang datang dari secuil informasi berharga atau sepenggal kisah dari interelasi kita dengan mereka.

Saya nyaris tidak mengingat materi kuliah kesehatan mental dari dosen yang dikenal sangat rendah hati dan sederhana baik dalam tampilan fisik maupun sikap hidup beliau ini. Saya tahu berdasarkan rekaman secara visual satu episode, menyadari betapa rendah hatinya beliau. Saya mengamati pola kebiasaan beliau ke kampus dan membayangkan rasa damainya hidup beliau dari sorot mata dan sikapnya, sebagai pesan kesehatan mental yang saya terima, alih-alih menghapal isi kuliahnya.

Ketika itu sayapun tak mengetahui bahwa beliau seorang Pandita Budha dan keturunan seorang ningrat, beliau disebut-sebut sebagai Srikandi Budhis dari Solo. Yang saya lihat adalah bagaimana beliau begitu bangga dengan kebaya dan sanggul serta selop sebagai pakaian resmi tanda kecintaan pada budaya Indonesia, senantiasa berjalan kaki, naik angkutan umum dan hanya minun lemon hangat di kantin tempat mahasiswa nongkrong. Beliau teratur beristirahat selepas mengajar dan pergi lagi untuk mengajar ke kampus lain.

Saya nyaris hanya observer saja, tak pernah berkesempatan berbicara maupun berdialog. bahkan di ruang kelaspun, saya melihat beliau sebagai orang yang teguh dan serius dan bagi saya agak membosankan. Saya rasa, saya tidak salah bahwa beliau seorang yang serius dan memiliki keteguhan pribadi yang tersamarkan secara fisik bagi yang tak mengenalnya. Ini pernah terbukti, ketika ada seorang satpam baru di kampus kami, sempat berseloroh bertanya pada beliau dengan pertanyaan yang kurang sopan, meskipun hal itu memang terjadi karena salah penilaian, namun pengalaman ngobrol dengan pak satpam ini menjadi pengalaman berharga kemudian hari.

Sebagai suatu prosedur, Pak Satpam akan selalu menyapa dan menanyakan keperluan tamu, beliau yang waktu itu, bagi saya juga masih misterius, dipanggil sebagai mbok. “ Mau kemana Mbok?”. Bayangkan seorang professor yang berpenampilan super sederhana memang mengecoh kita semua. Banyak dosen-dosen kami di Dago Pojok yang memiliki ‘penampilan” ajaib, itu tak pernah kami pungkiri, dan siapapun akan terkecoh dengan mereka sebelum mereka melihat lebih dekat.

Beliau yang selalu tampak gesit dengan kain dan selop yang membatasi gerak kakinya, mengatakan pada kami untuk meningkatkan imunitas tubuh dengan vitamin jiwa. Saya semakin mengerutkan kening dengan pola kuliah beliau yang sangat formal. Apaan itu? beliau menyebutkan salah satu vitamin jiwa itu adalah menonton film Dono (warkop). Bagi teman-teman, mungkin hal itu adalah lelucon konyol, tetapi bagi saya sesuatu yang tetap serius namun dengan perasaan aneh, sebab memang Ibu menyebutkannya dengan serius dan sama sekali tidak terganggu dengan gelak tawa kelas. Entah pikiran apa yang ada dibenak tiap orang, karena satu kelas tertawa terbahak-bahak. Apakah karena dengan menyebut kata Dono, alm, saja semua orang sudah terhibur, ataupun film itu memang cocok sebagai vitamin jiwa, atau alasan apa. Terus terang, rasanya hanya saya yang tidak tertawa. Saya berpikir bukan merasa, padahal ketika saya sempatkan menonton film serial warkop — dan kala itu banyak orang yang sepakat film tersebut fenomenal, juga kontroversial, tapi bisa dipastikan semua orang yang menonton filmnya baik terpaksa atau tidak akan tertawa ngakak.

Seolah hanya “vitamin jiwa” itu saja secuil pelajaran yang saya ingat, bukan berarti kuliah dengan beliau tak berharga. Cukup dengan seujung jari kita mencicip rasa asin air laut, akal sehat kita sudah mengetahui bahwa seluruh lautan berasa asin, dan seujung titik air di jari ini dapat memancing banyak hal untuk menggoda kita menggarungi lautan sebenarnya.

Vitamin jiwa ini, sesuatu banget sampai kapanpun, saat pandemic sekarang, dan sepanjang hidup kita semua yang memang memberikan peluang untuk selalu berhadapan dengan masalah. Mungkin film kocak dapat menjadi suplemen kesehatan mental kita, mungkin piknik dengan keluarga yang membuat kita terasa seperti baru berganti baterei, atau mungkin menulis, bernyanyi bersama di ruang online, ngopi bareng teman, membaca kitab suci, apapun namanya itu.

Sekali waktu saat lelah, terkadang saya mencari tontonan lucu, saya akan langsung teringat pada Ibu, baiklah saya akan menonton ini, demi memancing otot tertawa saya, dengan demikian saya memberikan suplemen jiwa, melepaskan dopamine sebanyak-banyaknya yang membuat mental kita kuat.

Saya sebagai muslim menemukan kata kunci yang penting. Kelak ketika saya sebagai mahasiswa muslim beraktivitas di masjid kampus, saya mulai mencari referensi tentang kesehatan mental. Dan ketika ada tugas paper tentang kesehatan, saya menemukan tokoh Ibu Zakiyah Darajat sebagai seorang professor perempuan yang juga sangat serius, sederhana, tangguh dan luar biasa. Sayapun tak pernah bertemu beliau, tetapi sejak itu saya mulai mencari buku-bukunya. Sesuatu yang tak akan ditemukan di kampus Dago pojok. Dua sosok “ibu srikandi” ini memang sampai kapanpun seharusnya menjadi role model ketahanan mental, baik dalam keluarga, institusi pendidikan, agama maupun bangunan negara.

Lihatlah, secuil rasa asin di tangan memancing kita untuk menengok ke kedalamam dasar lautan. Walaupun entah kapan saya akan berhasil menyelam dan mungkin menemukan mutiara yang berharga. Bahkan mungkin saat ini masih pada batas bermain di pinggir pantainya saja, kebijaksanaan ilmu itu masih misterius sampai sekarang.

Secuil ingatan ini selalu membuat saya berterima kasih pada dosen-dosen yang terkadang tidak benar-benar saya kenal, tak saya ingat materi kuliahnya, bahkan mungkin saya tak merasa menerima banyak dari beliau. Bukan karena mereka tak berilmu, tetapi wadah yang menampung ilmu merekalah yang masih terlalu kecil. Jadi cukuplah dengan satu phrasa saja yang bernama vitamin jiwa. Saya masih harus menempuh perjalanan sejauh ini, berselancar dengan ilmu kesehatan mental yang perlu saya kaji, belum sepenuhnya saya kuasai dan yang mungkin tak pernah habisnya.

Terima kasih guru!

Bandung, 20 Juli 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet