Titik Terendah

Iip Fariha
4 min readSep 6, 2022

--

Photo by Oliver Hihn on Unsplash

Hampir 3 bulan sudah saya tidak menulis secara khusus, yang memungkinkan tulisan tersebut dapat saya posting baik di medium atau di blogspot. Selama itu, bukan berarti tak ada yang tercatat atau tak ada kisah yang layak di bagi. Pertama-tama merasa perlu menginjak rem untuk memastikan proses penyelesaikan penerbitan buku perdana hingga berhasil dicetak dengan selamat. Hal lain adalah karena qodarullah terus sakit yang cukup darurat mengharuskan saya bersegera menuju ruang rawat yang sedianya perlu tindakan darurat pula. Namun pada saat yang sama banyak hal yang ternyata menyita perhatian dan secara fisik melelahkan. Jadilah diri belajar berdamai dengan semua tugas dan tanggung jawab. Melambatkan, menengok situasi kiri kanan, ibarat kita sedang memarkir mobil untuk sesaat isirahat, mencukupkan bekal sebelum menempuh perjalanan kembali yang masih panjang.

Terkadang kita teramat bersemangat dan merasa perlu selalu produktif. Sebenarnya tidak juga. Ini bukan suatu pembenaran sih, walau sesungguhnya ada banyak sudut pandang yang mungkin kita bisa berbeda membuat kesimpulannya. Ibarat menyupir mobil, saat seseorang sakit, seolah sedang memarkir kendaraan fisik dan menurunkan suhu mesinnya yang mulai mengganggu konsentrasi, psikispun perlu rehat supaya tak burnout, kelelahan. Kenyataannya terkadang sakit sekedar alarm tubuh bahwa kita memang perlu memberi ruang bukan hanya untuk sel-sel tubuh saja, tetapi juga pikiran dan spiritual agar aktivitas rutin menemukan keseimbangan. Terkadang ada sakit yang teramat berat, sehingga bahkan kita tak mampu berpaling pada persolan lain selain berjuang menghadapi sakit.

Sakit memang bisa menakutkan, karena hal itu bukan saja dapat mengurangi daya produktivitas, bahkan membuat diri tak berdaya. Terlebih bila kita tak siap untuk berhenti dan membiarkan orang lain mengambil alih komando atas hidup kita sehari-hari. Dalam hal ini dokter, tenaga medis atau bahkan “si sakit” didalam tubuh kita sendiri yang memaksa kita untuk menyerah. Saat sakit terkadang jam makan dan tidur saja menjadi berubah atau malah ditata sesuai dengan keterbatasan fisik atau jadual minum obat.

Bagi yang mengalami sakit hebat, kondisi tak berdaya ini dapat menjadi titik terendah dalam hidup. Saya pernah mencicipinya, semoga saja saya tak mengalami hal demikian lagi. Bagi seseorang, sakit dapat menjadi big shock, kejutan yang dapat menyertai muncullah sikap mental penolakan terhadap kenyataan. “Ah masa sih saya harus sakit, semuda ini?”. Kenapa saya harus menghadapi hal ini, padahal saya sudah hidup tertib, sehat, olah raga dan cukup istirahat misalnya.

Hanya dengan menyadari bahwa segala fakta diterima secara objektif, maka kita berpeluangan untuk memberikan penilaian terhadap sumber daya yang ada. Kenyataannya tubuh kita tidak benar-benar dapat kita kendalikan. Saat kita dengan sadar makan misalnya, kita hanya tahu bahwa kita mengambil makanan dan mengunyah lalu menelannya. Selebihnya kita tak mengerti dan tak menyadari proses terus berlanjut dan bagaimana hal itu bisa berdampak pada tubuh kita pada tingkat sel dan keseimbangannya dalam sistem biologis, kimiawi ataupun psikologis bahkan secara spiritual.

Ketika tiba-tiba sakit, umumnya faktor pemicu adalah asupan makan yang salah. Apakah kandungannya kurang tepat, kelebihan atau kekurangan, tidak seimbang, tidak bersih, tidak halal atau bahkan tidak disertai niat yang lurus untuk memenuhi kebutuhan menjaga kesehatan dan kehidupan yang dianugrahkan pada kita. “Nah.. bagian mana yang kita sering lalai?”

Jika sakit memang memerlukan treatment medis, namun juga mengelola pikiran yang bisa jadi lebih mengancam karena sakit memicu persepsi tentang diri dan ketubuhan, emosi, perubahan sikap dan tindakan kita selanjutnya. Rasa sakit terkadang wajar, menerima diri dalam keadaan sakit bukan dipersepsi sebagai diri yang lemah bahkan berbeda atau tak berguna. Maka sakit terutama sakit yang amat hebat dan memerlukan perawatan lama bahkan seumur hidup perlu penerimaan. “Apakah hal ini merupakan penderitaan atau bukan, menerima hal ini sebagai kenormalan atau sesuatu yang perlu disingkirkan dan dilawan?”

Sakit tidak menyenangkan. Namun banyak orang yang memilih tetap bersemangat dan memiliki makna dalam hidupnya sejalan dengan sakit yang dideritanya. Sakit terkadang menjadi titik nol pada banyak orang yang membuat hidupnya juga jauh lebih baik dan menjadi inspirasi banyak orang. Tengok saja orang yang pernah lolos dari maut setelah berjuang melawan kanker misalnya, atau orang yang cacat parah setelah kecelakaan justru menjadi motivator ulung bagi banyak orang. Hidupnya lebih tercerahkan dan lalu menjadi inspirasi manusia lain yang sehat.

Orang normal yang tak pernah sakit, tentu saja mereka tidak akan benar-benar merasakan bagaimana bangkit dari keterpurukan dan mengatakan bahwa hidupnya berharga. Terlebih bila si sakit menyadari bahwa takdirnya ini sebagai sebuah anugrah, ia mungkin telah menemukan Allah bersamanya, karena apa yang terjadi merupakan hal paling baik dalan hidupnya dan dengan menjalaninya bahkan ia bisa hidup dengan tenang. Itulah tampaknya yang juga terjadi dengan Victor Frankl yang menemukan makna hidup dan semangat hidup pada orang-orang yang terkurung dalam kamp kematian Nazi. Kita sesungguhya juga sudah divonis akan meninggalkan dunia ini, setiap saat kematian akan mendatangi kita. Betapa berharganya waktu yang kita miliki saat ini, sesaat terkadang sakit menjadikan kita kembali sadar, alarm ini seharunya kita syukuri.

Dalam kenyakinan agama, sakit itu tanda Tuhan sayang pada kita, karena Ia menyapa kita, membuat kita rehat dan memiliki waktu luang untuk lebih santai berdialog denganNya. Mungkin pula melalui dialog dengan diri sendiri, dengan tubuh yang sakit, dan dengan melakukan evaluasi atas apa yang terjadi. Saya menemukan buku berjudul “Berbahagialah Wahai Orang Sakit” karya Dr. Muhammad Ar-rukban dan Dr. Said bin Ali bin Wahf AL-Qahthani. Dari judulnya saja sepertinya sakit bukanlah hal yang buruk, tetapi justru disikapi dengan rasa bahagia. Bagaimanapun titik terendah ini membuat kita mampu melihat diri dan kehidupan kita pada titik tertinggi. Hanya gelap yang membuat kita sadar ada cahaya dan hanya sakit yang membuat kita belajar bersyukur karena kita tahu rasanya sehat.

Bagi setiap muslim yang terkena sakit, Allah hapuskan segala kesalahannya, seperti sebuah pohon meruntuhkan daun-daunnya (HR Muslim)

Bandung, 6 September 2022

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

Responses (1)