Photo by Steven Ramon on Unsplash

The new normal is a change!

Iip Fariha
10 min readMay 29, 2020

Sejatinya manusia itu perlu perubahan, berubah setiap saat adalah proses belajar dan adaptasi sebagai manusia yang merdeka.

Pagi ini, saya mendapat kejutan, kiriman paket sebuah buku dari seorang teman. Change!. Buku karya Rhenald Kasali, PH.D ini sebenarnya buku lama, cetak tahun 2006. Walaupun saya ketinggalan baca dan jelas belum tahu isinya. Saya sudah mendapatkan energi positifnya hanya dengan melihat judulnya saja, dan jelas langsung saya tempelkan menjadi judul tulisan ini.

Sejatinya manusia itu perlu berubah setiap saat, berubah itu sepadan dengan bergerak, melakukan suatu aksi, berpindah dari satu situasi kepada situasi lainnya. Dalam bahasa arab, didalam alquran, disebutkan ad-dabbah artinya makhluk bergerak yang berhak mendapatkan rizki dari Tuhan. Mungkin ada yang pernah mendengar slogan,“merdeka atau mati”. Ya, orang yang merdeka memiliki daya untuk bergerak. Diam artinya tak berdaya, tak mampu bergerak, tak akan ada perubahan, itu sama saja dengan mati. Diam artinya terkurung, terpasung dan tidak memiliki kemerdekaan. Makna ini dapat kita perluas baik secara fisik maupun mental. Orang yang tak berubah, tak memiliki kemerdekaan. Pastinya karena tak melakukan apapun, maka kita anggap tak ada alias mati. Sebaliknya orang yang menciptakan perubahan, biarpun dia meninggal dunia, dia tetap hidup abadi, sebab aksinya menciptakan perubahan terus berpengaruh pada kehidupan dunia yang telah ditinggalkannya.

Kata perubahan ini juga mengingatkan ketika kami, saya dan kawan-kawan sepermainan, masih sekolah menengah dan sedang berada pada puncak adrenalin sebagai anak muda militan, kami memiliki tagline paling keren: “ubahlah sejarahmu, sebab bila kau tak mengubahnya, kau akan tergilas oleh sejarah itu sendiri”. Entahlah apakah semangat hanya milik anak muda? Saya merasa saat ini kita memang harus berubah.

Pandemi ini menuntut kita berubah, bahkan berubah dengan super cepat. Dalam hal ini saya melihat covid-19 kembali sebagai agen pemicu perubahan saja. Hanya saja tidak semua orang ingin berubah, tidak semua orang tahu kemana arah perubahan. Kemana dunia ini akan memaksa kita bergerak. Jadi sebagian menunggu dan berharap semuanya kembali baik-baik saja. Sebagian memiliki inisiatif untuk berubah atas kesadaran dan pemahaman yang baik, sebagian karena terbawa arus dan ikut-ikutan. Yang penting berubah dan mencari kenyamanan yang baru, menemukan keseimbangan dan hidup kembali ‘normal’. “Anda termasuk yang mana?”

Tetapi New normal bukanlah normal kembali, bukan kembali “longgar”. Kita tidak melupakan kehadiran covid-19 yang bisa jadi mungkin akan hilang suatu hari nanti, tetapi bisa juga berevolusi menjadi jenis virus baru yang lebih kuat dan ganas. Bukankah memang fenomena ini bukan kali pertama dialami kita di dunia? Apakah fakta ini menakutkan kita? Ya, kita takut dan cenderung mencari kabar baik yang menyenangkan meskipun hal itu dapat menjerumuskan. Terbukti banyak orang mengira semuanya bisa bebas tanpa masker lagi, berkerumun lagi. Terbukti kabar baik lebih mudah diterima, sehingga kita tergiur oleh hadiah padahal penipuan, banyak yang rela melakukan transfer diawal untuk suatu pinjaman fiktif. Kita tak suka bersikap waspada dan eling, tak mau berpikir sebelum bertindak.

Ketika gagasan the normal muncul, memang sebagian orang bersuka cita, karena menyangka semua akan kembali normal dalam arti sebagaimana rutinitas sebelum pandemik ini muncul. Sebagian marah karena merasa telah dikhianati atas semua proses yang belum sempurna. Sebagian lagi khawatir dan mencari-cari kamus dan petunjuk untuk mendefinisikan apa maksud dari kata ‘the new normal’. Bagi saya sendiri, the new normal is a change!.

Tidak ada pilihan lain, selain berubah dan menemukan pola yang lebih adaptif, masuk akal, benar dan menyelamatkan bagi kehidupan pribadi, juga keluarga, masyarakat dan bangsa ini.

Masalahnya, berubah seperti apa? Apakah latihan pola hidup selama PSBB ini sudah cukup merubah pola pikir, pola sikap, relasi dan interelasi masyarakat kita?. Pola hidup kembali lebih sehat, lebih tertib dengan prosedur baru ini sesungguhnya bukan pembatasan seperti aturan kebijakannya itu sendiri. Pola baru sesungguhnya perlu dibiasakan sebagai adaptasi terhadap kehidupan dunia kita yang memang berubah. Apa yang tampak sebelumnya tidak normal dan akan kita serap dalam budaya baru yang kita anggap sebagai normal yang baru.

Tak ada pilihan lain, mari kita sambut dan ucapkan Selamat datang The new normal. Kita memang sudah berubah dan perlu perubahan. Change!

Tidak bisa lagi anak-anak kita pergi ke sekolah, kecuali dengan menyiapkan perangkat ekstra kebersihan dan metode belajar dengan budaya berjarak. Itu artinya rasio jumlah siswa dalam satu kelas, dalam satu sekolah dan dalam satu kawasan akan berubah dibandingkan dengan luas fasilitas yang tersedia. Itu artinya akan ada banyak tempat cuci tangan,baik di tepi jalan, di depan rumah maupun di depan kelas. Sebenarnya kebersihan adalah bab pertama dalam agama islam. Mengapa kita begitu kaget dengan prosedur kebersihan ini?.

Sejak jaman dulu, nenek kita juga selalu menyimpan gentong dan pancuran air di depan rumah. Agar sepulang mereka dari ladang dan sawah langsung suci tangan, bahkan mandi dan berwudhu. Saya mengalami aktivitas mandi di pancuran di samping rumah, airnya dialirkan dari sumber mata air bukit dengan pipa terbuat dari bambu, sungguh sejuk dan bersih. Nenek saya memiliki beberapa sumur umum yang dipergunakan oleh masyarakat satu kampung. Seingat saya, dulu selalu ada sumur umum dan tempat MCK di sekitar masjid. Seharusnya pusat ibadah dan pesantren merupakan contoh terbaik dalam menjaga budaya bersih jasadi dan ruhani ini. Covid-19 hanya mengingatkan kita untuk kembali berubah, lebih bersih dan peduli pada diri dan alam semesta. Ingat kita ini abid (hamba Allah) dan khalifah fil ardh (pemimpin di muka bumi).

Kembali lagi pada fasilitas pendidikan, baik sekolah umum, boarding ataupun pesantren. Maka tampaknya akan diperlukan ruang duduk yang lebih lebar, juga ruang sosial untuk bermain yang lebih luas bagi setiap orang. Itu bisa jadi pengurangan jumlah siswa, penataan ulang dan desain tata ruang baik indoor ataupun outdoor. Dan mungkin juga model pakaian yang tertutup dan berbagai aktivitas yang disesuaikan. Aktivitas grup akan berubah pola, semisal jenis olah raga yang lebih aman atau relasi kerja kelompok dan interaksi guru dan siswa saat belajar mengajar di kelas akan disesuaikan. Mungkin saja tak ada lagi kasus pelecehan atau perundungan. Mungkin akan lebih banyak sistem webinar, tugas mandiri, dan prosedur pemantauan status kesehatan siswa dan guru akan diperketat. Seingat saya, ketika SD, ada fasilitas kesehatan sekolah yang memadai di sekolah dengan pak mantri kesehatan yang sigap menjaga kesehatan siswa. Saya biasa datang kepada Pak Matri sekolah ini untuk sekedar cek suhu tubuh atau minta vitamin. Sekarang ruang UKS sekolah kadang-kadang jadi tempat gudang atau pacaran siswa mabal. Menyedihkan.

Apakah pikiran ini terlalu lebay? Bisa jadi akan ada yang merasa ini memang berlebihan. Bagi sayapun hal ini terlihat sebagai suatu fantasi, mengingat kesiapan kita. Bagaimana menyediakan infrastruktur pendidikan, kesehatan masyarakat dan sumber daya yang memiliki kesadaran bahwa kesehatan dan pendidikan merupakan garda terdepan urusan kualitas manusia indonesia. Apakah kita serahkan urusan ini pada pak Menteri saja, dan kita kembali menjadi penontonp pasif. Tak adakah yang dapat kita lakukan dengan inisiatif pemangku kepentingan di level terendah?.

Mungkinkan sekolah di rumah, home schooling lebih masuk akal? Mungkinkan anak dibawah usia 7 tahun dilarang ke sekolah atau mengikuti kegiatan belajar dalam radius lebih dari 3 km dari rumah orang tuanya. Barangkali ini membuka peluang ruang belajar komunitas atau guru-guru privat?. Peluang perubahan ini sangat besar dan kita belum tahu kemana arah setiap orang mengambil keputusan dalam beradaptasi paska pandemi. Apakah semua keluarga, seorang Ibu atau Ayah mau bekerja sama dan berani mengambil tanggung jawab besar ini? Padahal para aktivitis pendidikan getol menyuarakan pentingnya pendidikan dini, yaitu bagaimana membangun karakter dan kelekatan anak dengan ibu pada fase awal 10 tahun kehidupan pertama mereka.

Ataukah kita masih juga menunggu kebijakan demi kebijakan yang akan diputuskan oleh pemerintah daerah maupun pusat terkait dengan mobilisasi rakyat dalam area pendidikan, pekerjaan dan juga bisnis. Wait and see…

Bukankah dulu tak ada sekolah bayi dan penitipan anak? Dulu tak ada sekolah orang tua, sebab setiap keluarga memiliki sistem mengajarkan nilai-nilai keluarga melalui dongeng dan relasi bermain bersama ayah ibu sejak dari ayunan sampai kita cukup berani pergi sendiri ke sekolah. Lupakan daycare dan babyschool.

Intinya perubahan dan pergerakan. Walaupun maknanya dapat menjadi kembali pada tradisi lama dan kearifan lokal budaya, bahkan mungkin pola nenek kita yang baik dan positif.

Barangkali tidak banyak orang yang dapat kembali ke kota, merasa lebih aman mencari pekerjaan di daerahnya masing-masing. Kreatifitas adalah nomor satu. Era digital, memungkinkan orang bekerja di rumah, di kamarnya sendiri dan tanpa perlu berelasi dengan orang secara langsung. Era ini tak perlu lagi seseorang pergi ke kantor bila pekerjaan dapat dilakukan dengan remote control dari gawai digenggamannya. Era ini sangat mungkin orang lebih aman berkumpul bersama keluarga dan mencari cara hidup sekecil mungkin bergantung pada orang lain. Era ini mungkin saja akan banyak orang lebih mementingkan diri sendiri walaupun belum tentu selfishness (cinta diri).

Gotong royong adalah akar budaya indonesia. Kebaikan dan kepedulian akan semakin berlimpah, diikuti semakin kuatnya ikatan antar kelompok masyarakat terkecil dalam hal ini keluarga dan unit-unit di lingkungan sosial terdekatnya. Mulai banyak ibu-ibu mengisi waktu bosan saat dirumah saja dengan berkebun. Bulan in tidak perlu bingung membeli cabe yang harganya mahal, cukup saling bertukar panenan dengan tetangga sebelah rumah. Ada fenomena satu kawasan perumahan sanggup menciptakan pasar antar tetangga. Kebutuhan pokok sehari-hari sudah dapat dipenuhi tanpa perlu ke pasar tradisional apalagi ke pasar modern. Perekonomian berputar, kepedulian dan ikatan gotong royong kembali dikuatkan. Petani langsung ber-WA an dengan ibu-ibu arisan. Tak ada lagi tengkulak dan permainan harga pasar.

Betapa sulitnya menahan orang untuk tidak pergi ke kota dan menyadarkan masyarakat tentang ketahanan pangan mandiri karena sudah terlanjur nyaman dengan pasokan sayuran dan buah yang eye-cathing di pasar modern. Kini kita berubah lagi. Kembali pada kearifan lokal dan kemandirian masyarakat. Masa kecil saya masih kenyang dengan memetik buah dan sayur dari halaman, membagi sisanya pada tetangga. Saya juga bermain “gathering” dengan teman sepermainan dengan urunan hasil beternak atau berkebun sendiri. Kami membawa ikan dari kolam, telur bebek peliharaan, kangkung dari belakang rumah dan memasaknya dengan tungku dan kayu bakar hasil mengumpulkan ranting dari kebun belakang rumah.

Mungkin ada yang ogah dan malas, siapa yang mau bersusah-susah seperti itu, seperti jaman batu melalukan barter barang?. Tak ada lagi tanah untuk berkebun, tak ada kolam untuk beternak ikan. Kawan saya beternak lele dengan torn bekas dan menutupnya dengan plastik bekas air mineral yang diikat menjadi tempat bertanam kangkung. Sungguh kreatif dan murah. Padahal bisa saja sekarang uang memang makin susah dicari, dan siapa pula yang mau membayar anda pergi ke kantor, sementara kantor dan pabrik satu persatu tutup dan pengusahanya hidup mengandalkan tabungan. Siapa pula yang mau menukar uang tabungan dolarnya dengan apartemen pinggir danau atau vila di sisi pantai bila berkumpul dengan keluarga di rumah saja lebih membahagiakan dan lebih hemat.

Kita perlu berubah. Suka atau tidak, cepat atau lambat, apakah terpikir atau tidak sebelumnya, akan banyak perubahan. Apakah ada harapan untuk normal kembali seperti dulu? Tak ada kepastian kehidupan kita akan sama lagi. Yang pasti adalah perubahan itu sendiri. Tetap Produktif dengan keyakinan yang baik.

Seberapa jadulnya gawai kita, dunia bergerak ke arah digital, kita tetap harus berusaha beradaptasi, bila tidak mau kehilangan kontak dengan teman dan keluarga, kehilangan kesempatan untuk belajar atau kehilangan pekerjaan. Sebab telekomunikasi jarak jauh adalah cara baru dalam berelasi. Kita sudah cukup bosan dengan webinar, namun akan lebih sering lagi di masa depan. Rapat, transaksi bisnis, belajar, mengajar, menikah kini dilakukan melalui ruang virtual.

Segaptek apapun kita sekarang, seperti saya, dipaksa untuk mengerti bagaimana membuat jadwal webinar dan menyusun semua jadwal terbagi dua dengan agenda yang berbeda: pertemuan real dan virtual.

Selambat apapun kita belajar, seperti saya pembaca lambat, kita tetap harus bergerak dan merangkak menemukan pola baru yang lebih baik dari sekarang. Menemukan informasi yang benar, belajar keterampilan baru, menyerap budaya dan nilai-nilai baru, berinisiatif mencoba hal baru, bertanya dan mengujinya walaupun beresiko salah. Apakah kita akan menunggu pengumuman bahwa semua sudah aman, dan kita kembali nyaman-nyaman saja? Tetaplah bersikap waspada, tetapi bijaksana. Lalukan hal yang baik yang sudah kita latih selama PSBB. Kita perlu menguatkan dan kembali pada kearifan lokal budaya kita di satu sisi dan melakukan perubahan disisi lain. Tanggung jawab kehidupan adalah menjaga diri, nyawa pribadi dan keselamatan orang lain, itu prioritas pertama. Lalu memutuskan pekerjaan apa yang paling kecil resikonya agar roda kehidupan kita tetap bisa berputar.

Indonesia superkaya dengan potensi alam dan kemurahatian. Kita kembali minum jamu dari rempah-rempah yang tumbuh di halaman. Ada madu, propolis, jahe, kunyit yang dapat memperkuat daya tahan tubuh kita dari penyakit. Kita terbiasa berjalan kaki, olah tubuh dengan silat dan berenang di danau atau laut kita yang luas. Kita biasa beternak ikan di empang, sawah dan sungai yang sangat panjang dan berlimpah airnya. Kita tak perlu import sumpit, karena makanan kita semua segar dan tangan kita bersih. Kita tak perlu tas branded, karena kulit domba dan eceng gondok kita lebih cantik dan kuat sebagai bahan baku kebutuhan sandang kita. Kita tak perlu merk pakaian dari eropa, sebab tenun dan batik kita lebih eksotis dan memiliki makna filosofis yang dalam. Bahkan kita tak perlu dolar, dibawah telapak kaki kita tersimpan emas, perak dan tambang yang dapat menjadikan rupiah kita lebih berharga daripada uang kertas manapun.

Kita sudah tahu semua itu, dan teramat banyak orang pintar di Indonesia, yang berjuang untuk merebut kembali kekayaan kita yang terlanjur dimiliki asing. Kita belajar, melalui pandemi ini, terkadang bersikap sebagai orang bodoh dan belajar kembali bisa jadi menyelamatkan kita. Kita perlu manusia pembelajar yang mampu dan mau bersikap terbuka pada peluang lebih baik daripada merasa paling benar dan memaksakan kehendak sendiri karena kecerdasan dan status quo. Kerendahan hati untuk menerima bahwa kita semua sedang belajar menjadi manusia baru dan membuat sejarah baru. Change itu adalah sebuah sejarah baru. Orang pintar tidak selalu dapat ditiru dan kita tak bisa mengandalkan apa yang kita sudah tahu, tetapi sebaliknya melihat peluang dan memahami apa yang perlu kita terima dan kita renungkan kembali agar bisa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.

Para pengusaha tahu juga apa artinya, mereka merubah Mall dan Hotel menjadi rumah sakit. SPG tidak lagi diperlukan, mereka mencari perawat dan dokter-dokter yang pintar dan berhati mulia. Siapa yang mau bersusah payah datang ke restoran mahal, semua orang meminta layanan rumah dan mengadakan dinneristimewa di rumah sendiri dengan layanan dine in dan potongan harga. Bila anda pekerja, maka banyak hal yang perlu anda pelajari dengan super cepat. Bila tidak, anda akan tertinggal dan tergilas oleh keadaan.

Bagi sebuah keluarga yang sehat, untuk apa pergi Mall misalnya, bila kebutuhan bisa dipenuhi di rumah saja. Dan untuk apa berwisata, bila kebahagiaan diperoleh dengan bercengkrama bersama anak-anak yang sholeh dalam sujud dan ruku berjamaah di sudut rumah sendiri. bila terpaksa di rumah saja, kita tetap dapat sehat dan bahagia. Ada 10 cara tetap sehat dan bahagia.

Memang masjid dan surau sempat ditutup, gereja dan pura ditinggalkan, namun spiritualitas dan keimanan kita pada Allah SWT pada Tuhan semesta alam bisa jadi makin kuat. Keimanan ada didalam hati, di lubuk hati paling dalam, bukan di majlis dan ruang pertemuan megah dan simbolik keagamaan. Saatnya peran pusat peradaban dalam hal ini seperti majlis ilmu dan masjid menemukan pola baru membangun umat dengan cara-cara yang elegan.

Akhirnya saya menemukan paradok dari perubahan ini, ada yang tak boleh kita ubah yaitu nilai-nilai kemanusiaan kita sendiri. Kepedulian, gotong royong, kasih sayang, cinta, kerendahan hati dan tindakan bersyukur merupakan nilai-nilai yang kita andalkan sepanjang sejarah. Mungkin ada banyak nilai lain yang sudah kita miliki dan menjadikan kita tetap berada dalam posisi normal.

Jadi, seperti apa New normal anda?

Bandung, akhir Mei 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet