Takut menikah
Banyak orang mengalami kesulitan untuk menemukan jodoh, sebagian lagi bercerai dalam 2 tahun pernikahan mereka. Banyak alasan untuk takut menikah.
“Assalamualaikum Teh. Perkenalkan saya Mawar, Maaf saya menghubungi Teteh secara pribadi.
Saya berusia 28 tahun, anak pertama dan belum menikah. Saya juga belum pernah berpacaran sama sekali. Saya sudah kerunghal (Sunda: terlangkahi dalam hal nikah) sama adik laki-laki saya yang pertama, dan mungkin oleh adik laki- laki yang kedua juga. Tapi bukan tentang karunghal yang ingin saya konsultasikan.
Jadi begini Teh. Teori bilang, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Tapi bagi saya sosok ayah adalah orang yang sering membuat saya patah hati dan kecewa. Ayah bagi saya seperti aib yang harus selalu ditutup rapi agar saya tidak malu.
Apa yang membuat saya kecewa pada dia adalah karena sikapnya yang egois dan sering melempar kesalahan pada orang lain (baik kepada saya maupun kepada ibu saya). Juga tata cara dia berelasi dengan org lain terlalu sok sehingga sering kali orang lain kebingungan menanggapi isi obrolan dia.
Ayah saya selalu menggampangkan sesuatu dan kadang menyepelekean apa yg sedang saya kerjakan. Dia juga mudah tersinggung. Kalau marah suka tendang atau lempar barang, nada meninggi dan menunjuk-nunjuk, dan kadang juga dia mengatakan kalau hidupnya dia di keluarga serba salah !.
Saya sangat kecewa dengan sikapnya. Saat ini, bahkan mungkin sudah dari masa remaja saya, saya merasa semua lelaki sama aja entah itu ayah saya, adik saya atau mungkin paman saya juga sama saja.
Saya merasa kalaupun saya menikah, saya hanya akan merasakan tidak akan berhasil karena di mata saya laki-laki pada dasarnya sama saja!
Saya takut menikah hanya akan memberi saya luka-luka baru. Namun, di sisi lain diri saya, saya sangat ingin punya anak dan hidup berkeluarga. Tapi saya takut untuk punya suami. Mudah-mudahan ikhtiar saya ke Teh Iip bisa memberi saya jalan keluar dari rasa takut”.
##
Hidup adalah pilihan.
Sementara orang takut menikah karena luka-luka lama terbangkitkan adalah wajar, mengacu pada apa yang pernah dialami dan efeknya pada persepsi dan sikap terhadap laki-laki serta bagaimana membangun keluarga. Banyak orang pernah memiliki pengalaman buruk di dalam hidup. Bahkan dapat dikatakan semua orang pernah mengalami suatu kejadian yang dirasakan tidak menyenangkan, mulai level tidak suka sampai pada situasi traumatik. Meskipun kelak pengalaman hidup itu menjadi kekuatan untuk menempa hidup seseorang semakin kuat dan positif.
Walaupun, ada sebagian orang yang terus menderita dan menghadapi masalahnya seumur hidup. Hal ini karena sesungguhnya ada bagian dari sikap kita yang berkontribusi dalam menentukan takdir hidup kita sendiri. Karena manusia memiliki kekuatan yang kita sebut sebagai potensi untuk menentukan dan mengubah dirinya dalam menghadapi hidup dan kehidupannya. Bersikap pasif atau berinisiatif untuk melakukan perubahan adalah suatu pilihan hidup sehingga kebahagiaan atau kesengsaraan juga pada akhirnya dipengaruhi oleh pilihan kita.
Dalam pemikiran demikian, takdir hidup manusia kemudian sebagian menjadi tanggung jawabnya sendiri. Mengapa saya katakan sebagian? Karena ada bagian lain yang pada saat yang sama kita tidak memiliki kemampuan untuk mengaturnya. Sebagai gambaran saya akan menjelaskan dengan perumpamaan. Apabila kita memiliki kemampuan mengendalikan mobil, kita dapat memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang kita tuju dengan mobil tersebut. Pada saat yang sama kita tak pernah tahu apakah mobil ini benar-benar dapat kita kendalikan dan sampai di tujuan, karena pada saat yang sama bisa saja misalnya ada kemacetan di jalan, atau tiba-tiba bannya meletus ketika menginjak paku di jalan.
Kebebasan kita dibatasi oleh takdir lain yang tidak ada dalam kendali kita. Namun situasi tersebut juga memberikan kita suatu pilihan lain, apakah akan memutuskan untuk mencari cara lain sampai ke tujuan, misalnya dengan mencari Gojek, menumpang mobil lain ataukah menyesalinya. Apakah kita akan marah terhadap kejadian tersebut atau mungkin duduk menangisi mobil yang terhenti?
Berkaca pada kisah ini, kejadian yang dialami oleh setiap orang pada situasi tekanan ringan sampai pengalaman traumatik sekalipun tidaklah akan selalu berakibat buruk pada orang tersebut. Potensi konflik dalam keluarga memang sangat banyak, sebab menikah bukanlah seperti membeli makanan instan. Pertemuan dua instan itu sendiri yang membawa satu set harapan dan keinginan memberi peluang konflik dalam keluarga. Namun didalam proses itulah keluarga bertumbuh. Fakta membuktikan bahwa kompetensi justru muncul dari kesulitan serta daya tahan terhadap tekanan (resiliensi) yang sangat penting akan terbentuk dengan ditempa melalui masalah hidup. Ibaratnya pedang yang indah dan mahal hanya lahir dari besi yang siap dipukul dan dibakar. Namun besi tua dan tak dipakai hanya akan menjadi rongsokan dan berkarat.
Perubahan Hidup Pascatrauma
Memang adakalanya pengalaman tidak menyenangkan atau trauma menyisakan pemikiran dan perasaan negatif yang membekas dan berpengaruh pada sikap selanjutnya dalam merespons situasi di lingkungan. Hal ini yang kita kenal sebagai simtom pascatrauma. Gejala ini dapat berupa emosi yang negatif, pemikiran yang distorsi, penghayatan fisiologis tubuh dan perilaku yang maladaptif. Kondisi perasaan itu dapat berupa sedih, putus asa, marah, dendam, sedih, cemas, takut dan lain-lain. Pemikiran yang menyimpang tampak dalam bentuk sulit percaya pada orang, merasa terkucil, berpikir negatif pada relasi seksual, merasa tak berharga, dan lain-lain. Sedangkan respons tubuh tampak dalam bentuk sulit tidur, mimpi buruk, keluhan fisik, dan lain-lain.
Pengalaman buruk seringkali bukan peristiwa tunggal, namun hasil dari proses panjang dan siklus yang terjadi melibatkan orang-orang terdekat dan berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bila kita perhatikan, misalnya, sikap kita terhadap anak atau seseorang dipengaruhi oleh bagaimana kita diperlakukan orang tua, sedangkan orang tua kita juga mendapatkan perlakukan tertentu dari nenek dan kakek kita sehingga memperlakukan kita demikian. Karena itu penting untuk menghentikan lingkaran setan masalah mulai dari diri sendiri sehingga hal tersebut tidak semakin buruk atau berulang pada generasi berikutnya.
Kesadaran bahwa ada suatu masalah yang perlu diselesaikan (unfinish bussiness) dalam hidup membuka peluang untuk memperbaiki diri dan menjadi lebih baik di kemudian hari. Juga memberikan harapan akan masa depan bahwa generasi seterusnya menjadi lebih unggul dan lebih bahagia. Pada tingkat masyarakat dan bangsa tentu ini menjadi pijakan bagi peningkatan kualitas manusia dan sumber daya yang positif dan makin maju. Dalam kasus ini adalah anak-anak yang dilahirkan dari ibu dan orang tua yang bahagia akan lebih berpeluang bahagia dan sejahtera pula.
Sebaliknya bila kita membiarkan dan mengabaikannya, kesejahteraan mental dan kualitas hidup manusia akan memburuk dan hal-hal negatif lainnya tentu menyertainya juga pada level keluarga, masyarakat dan negara. Itulah pentingnya kita peduli kesehatan mental pada level dan unit terkecil dan kasus yang paling personal. Sebab kualitas manusia dalam suatu bangsa berawal dari unit terkecil yaitu keluarga dan itu dimulai dari seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya.
Introject Ayah
Kekerasan seperti yang dialami pada Teteh dalam kisah ini juga banyak terjadi pada orang lain, kekerasan bersifat verbal, tindakan fisik, emosional sering tersembunyi di rumah-rumah dan terabaikan karena berbagai alasan. Seringkali juga muncul dalam kemasan yang tak dapat disentuh oleh hukum karena dilakukan oleh orangtua, guru, pemegang otoritas, dan lain-lain. Pihak yang mendapatkan tekanan dan kekerasan pun tak berdaya dan semakin terpuruk pada sikap defensif atau melakukan balas dendam kembali pada orang lain yang berada dalam posisi lebih lemah. Maka kekerasan demi kekerasan, perundungan demi perundungan seringkali tidak mudah diselesaikan. Karena sulit memutus rantai dan menelusuri riwayat keterkaitan dalam lingkaran tak berujung.
Ayah yang misalnya marah dengan cara menendang, melempar barang sangat mungkin lahir dan dibesarkan dari keluarga yang memiliki kesulitan dan masalah tertentu yang menimbulkan perilakunya ini. Katakanlah tidak ada role model dalam mengkomunikasikan emosi dengan cara yang santun, atau tidak mendapatkan kesempatan untuk melatih mengontrol dorongan keinginan dan kesulitan mengelola emosi sesuai dengan usianya. Lalu anak-anak dari orang tua yang mengalami masalah seperti ini juga akan memiliki potensi untuk menjadi pribadi yang kurang matang atau menghadapi problem serius. Katakanlah menjadi sensitif secara emosional, sulit percaya pada orang lain, mudah berkonflik dan kesulitan dalam berelasi sosial. Demikianlah lingkaran setan kekerasan terbentuk dari generasi ke generasi.
Dalam konsep innerchild, suatu unit kepribadian, dikenal istilah introject. Ini mengacu pada istilah dimana seseorang dipersepsi akan memiliki sifat-sifat, karakter, kepribadian dan perilaku yang sama dengan orang yang diasosiakan dengan orang tersebut. Dalam hal ini bahwa setiap laki-laki atau seorang suami mungkin akan memperlakukan sama dengan seorang ayah. Karena pengalaman memberikan pelajaran tentang relasi tersebut begitu nyata dan membekas dalam hidup sehingga sulit untuk memercayai dan membangun hubungan relasi interpersonal, bahkan takut untuk berkeluarga karena relasi marital (pernikahan) menjadi ancaman dan sumber ketakutan untuk berakhir pada kehidupan keluarga yang buruk.
Kasus seperti ini cukup rumit karena melibatkan pengaruh proses pola asuh dan riwayat kekerasan dalam keluarga. Ada baiknya memiliki kesadaran akan potensi masalah berikutnya pada generasi lebih lanjut sehingga siklus kekerasan dapat dihentikan. Kadangkala diperlukan reedukasi bagi subjek yang mengalaminya. Meliputi proses limited re-parenting oleh nurture parent dalam konsep ego state, yang dapat dipandu oleh profesional. Terkadang perlu reintegrasi melalui teknik-teknik psikoterapi seperti psikodrama. Mungkin diperlukan coaching atau konseling marital (keluarga) untuk melatih kompetensi baru seperti mengelola dan mengendalikan emosi serta membangun keterampilan berkomunikasi dan relasi sosial yang sehat dan bermartabat dalam kesetaraan dan harga diri masing-masing individu.
Mempersiapkan Pernikahan yang Ideal
Saya mengamati peserta sekolah pranikah Salman ITB, dimana saya menjadi salah satu narasumber dan mendapat kesempatan untuk menfasilitasi sebagai konselor bagi yang akan bertaaruf ( berkenalan ). Saya melihat kegamangan dan ketidaksiapan untuk menikah bukan karena kurangnya pengetahuan atau kesiapan fisik dan materil namun lebih banyak karena hambatan psikologis dan tiadanya kesempatan untuk belajar berelasi sosial, mengekspresikan kebutuhan emosi dengan baik serta komunikasi yang setara,kongruen.
Dengan PR hambatan dalam diri yang masih perlu dibenahi, jalan menuju pernikahan menjadi sulit dan lebih membahayakan lagi bila tidak diatasi sebelum memutuskan untuk menikah. Data di pengadilan agama mengenai kasus perceraian mayoritas terjadi karena konflik yang bersumber dari ketidaksiapan pasangan untuk menghadapi masalah dengan cara-cara yang baik melalui komunikasi yang kongruen. Sementara potensi konflik akan selalu ada dalam kehidupan keluarga. Dan, persoalannya bukan pada masalahnya tetapi kesiapan dan kematangan pasangan untuk bertumbuh bersama. Karena itu pertama-tama mari bicarakan seperti apa keluarga yang ingin dibangun, apa saja yang perlu dipersiapkan, selain urusan sekunder seperti tampilan fisik, finansial, pekerjaan dan upacara perkawinannya itu sendiri.
saya membantu para peserta sekolah pranikah salman dengan konseling kelompok menggunakan teknik Psikodrama. Anda dapat membaca kisahnya di https://idesalman.wordpress.com/2019/05/28/aku-bertemu-jodoh-dalam-psikodrama-di-salman/
Dengan penjelasan ini, selanjutkan dapat dilakukan hal-hal berikut.
1. Mencoba memahami apa yang terjadi pada pengalaman hidup ayah, ibu dan orang tua mereka. Bagaimana mereka diasuh, bagaimana sikap mereka terhadap pernikahan dan keluarga dan bagaimana mereka dapat bertahan dalam kehidupan pernikahan mereka.
2. Cobalah memahami tipe keluarga lain, misalnya keluarga paman, teman, atau tetangga. Perhatikan hal-hal apa saja yang menjadi kekuatan dari keluarga mereka, apa yang menjadikan mereka bertahan dan juga penyebab masalah yang menimbulkan konflik dalam keluarga.
3. Identifikasi gambaran keluarga yang sehat dan yang maladaptif, tidak sehat secara mental. Tuliskan dan diskusikan dengan orang-orang yang memahami masalah keluarga atau dengan seseorang yang ingin melakukan pendekatan dalam upaya pernikahan.
4. Diskusikan hal-hal apa yang dapat menjadi pelajaran, keluarga seperti apa yang akan dibangun bersamanya. Apa yang perlu diubah dan diadopsi untuk menjadikan kehidupan keluarga sebagai hal yang positif dan lebih menyenangkan.
5. Ajak calon pasangan untuk bertemu konselor pernikahan dan diskusikan hal-hal yang masih menjadi batu sandungan dalam membangun keluarga yang sehat, menentramkan dan bahagia sesuai dengan idaman bersama.
Tentu saja kiat dan langkah-langkah ini juga dapat dilakukan oleh siapa pun termasuk yang sudah memiliki pasangan sebagai bentuk evaluasi dan screening sederhana terhadap masalah yang dihadapi bersama.
Semoga berhasil
Bandung, 11 Mei 2020