Skenario Psikodrama,
dari mimpi hingga pengalaman spiritual
Banyak peserta kelas psikodrama bertanya tentang apa yang didramakan dalam kegiatan psikodrama? Apakah kita akan bermain teater atau membuat kisah sinetron atau berpura-pura sebagai artis kesayangan yang tampil dalam drakor (drama korea). Apakah seseorang yang tidak biasa mengekspresikan diri atau tidak memiliki kemampuan berakting mampu melakukannya? Mungkin Anda juga bertanya-tanya.
Apa yang Anda bayangkan tentang psikodrama?
Tulisan ini memberikan sedikit gambaran tentang sumber skenario dan bagaimana hal itu dapat dimainkan dalam grup. Anda dapat membaca juga tentang Bagaimana melakukan psikodrama?, tulisan saya sebelumnya.
Dalam kehidupan kita sebenarnya, drama, film atau sinetron yang kita nonton lebih banyak berfungsi sebagai hiburan. Umumnya kisah itu dirancang dengan skenario yang disusun khusus atau diadaptasi dari suatu cerita fiksi, novel, dll. Meskipun diantaranya ada juga yang diangkat dan atau terinspirasi dari kisah nyata sebagai edukasi untuk menjadi pembelajaran bagi penonton. Kita dapat menemukan kisah para tokoh yang heroik atau suatu momen sejarah ditayangkan dalam film. Suatu tayangan film, sinetron, drama dan semua kegiatan aksi panggung seringkali di buat lebih dramatis dari kejadian yang sebenarnya. Aksi panggung melibatkan dan mengintegrasikan unsur penglihatan, pendengaran dan gerak, meliputi suara dalam bentuk dialog, musik, gestur, dan lagu. Bagi kita yang menonton, kita akan lebih mudah memahami kisah tersebut daripada membaca catatan di buku sejarah.
Sisi dramatis dari suatu kejadian, juga diciptakan dalam panggung psikodrama. Unsur drama seperti penggunaan alat bantu, properti, musik, gerak, suara dan lagu dapat ditambahkan. Sedangkan skenarionya dapat diciptakan dari gagasan konduktor/pemimpin grup atau memang diambil dari cuplikan kejadian yang sebenarnya dialami oleh peserta grup psikodrama. Namun yang pasti, dalam Psikodrama, kegiatan ini bukan entertain, tetapi memang didesain untuk mendemontrasikan suatu momen penting dalam hidup seseorang sebagai protagonis. Artinya skenario itu merupakan kisah pemain utamanya/ protagonis yang terpilih atau yang secara sukarela bersedia menjadi pemeran utama. Setiap kita adalah peran utama dalam kehidupan, karena itu kita semua adalah protagonis.
Dalam psikodrama, protagonis adalah tokoh utama dalam skenario tersebut, yang adalah diri kita sendiri dan kisah yang sedang kita dramakan adalah kisah hidup kita sendiri. Dalam konteks grup, drama ini kita kenal sebagai sosiodrama, dalam konteks kasus individual, kita sebut sebagai psikodrama.
Lantas untuk apa drama ini dilakukan?
Peragaan, role play atau drama itu digunakan untuk memancing kesadaran yang lebih utuh dan terintegrasi antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh tubuh dalam bentuk prilaku yang melibatkan proses-proses biopsikologis-neurologis sang protagonis.
Dalam kasus terapi individual, seorang terapis klinis yang juga berperan sebagai konduktor dapat saja menemukan suatu momen penting yang menjadi akar masalah seorang klien yang dapat diangkat menjadi skenario drama. Umumnya klien klinis mudah mengalami regresi, mengalami momen kembali ke masa lalu yang membuatnya traumatik sehingga dalam teknik psikodrama trauma ini dapat diselesaikan dengan melakukan teknik-teknik psikodrama yang paralel dengan proses healing innerchild, misalnya menghadirkan egostate atau bagian-bagian dari miniatur kepribadian orang tersebut yang terlibat dalam kejadian tersebut. Sebuah aktivitas psikodrama dapat terjadi dengan menggunakan transaksional egostate dalam konsep innerchild healing.
Bagaimana mungkin seseorang mau melakukannya? Dan bagaimana ia mampu memperagakannya?.
Psikodrama adalah action therapy, suatu proses mengalami langsung yang dilakukan dan didukung oleh grup yang memberikan dukungan dan rasa nyaman, aman dan diterima. Aksi panggung hanya akan terjadi bila grup telah melewati proses “warming up” yang menyatukan grup dalam suatu ikatan dan hubungan sedemikian rupa sehingga anggota memiliki rasa percaya, diterima, dan berani mengekspresikan diri tanpa dihakimi atau dikritik. Keberanian untuk menjalani peran dalam hidup yang sesungguhnya justru teruji dalam panggung psikodrama. Dalam panggung psikodrama, sangat jarang ada peserta yang menolak untuk melakukan peragaan, tetapi bila ada yang tidak berkenan terlibatpun atau mengalami resistensi, diberikan ruang dan diterima. Silakan baca 10 Aspek yang perlu diketahui tentang psikodrama.
Dalam konteks klinis, seorang klien yang telah mengalami regresi, dengan atau tanpa bantuan hipnoterapi, sangat mudah mengulang kembali kejadian yang dialaminya dan memperagakannya dengan baik. Hal ini terjadi bila iklim terapeutik telah berhasil terbangun antara klien dengan psikolog klinis yang menggunakan teknik psikodrama. Skenario akan muncul secara spontan atau dapat dimunculkan oleh karena kepekaan terapis.
Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin seseorang berpura-pura dan menutupi sisi buruk yang tidak layak dilihat oleh publik. Namun memang ada sisi gelap atau the shadow- dalam konsep psikoanalitik Jung- dalam diri kita yang ingin kita abaikan, atau kita tutupi. The shadow hadir dan senantiasa menjadi bagian yang menguatkan sisi lain dalam kepribadian. Namun dalam psikodrama, seseorang tanpa ragu dapat tampil apa adanya dalam grup yang sudah terbentuk dengan kepercayaan dan terikat secara emosional. Kekuatan grup psikodrama menciptakan koneksi satu sama lain. Hal ini terbentuk melalui dinamika psikologis yang terbentuk melalui aktivitas yang difasilitasi dengan teknik sosimetri (hands on shoulder, locogram dan spectogram). Karena itu, meskipun tampak sederhana, penguasaan metoda menjadi penting untuk mengelola dan membangun grup terapi ini.
Mengenai pemeran utama dalam aksi dan skenario sosiodrama, dapat ditawarkan kepada peserta untuk memilih menjadi protagonis, atau dengan kepekaan konduktor grup, aksi psikodrama dapat tercipta secara spontan dan mengalir tanpa skenario yang dirancang sebelumnya, tetapi disepakati dan diterima dalam grup.
Skenario psikodrama tak terbatas tentang kisah yang benar-benar dialami, dapat saja suatu keinginan, suatu harapan di masa lalu yang tak sempat terjadi atau gagasan imaginasi tentang masa depan yang direncanakan dan ingin dijalani. Fenomena surplus reality dalam psikodrama memberikan gagasan tentang waktu yang dapat kita ciptakan saat itu. Dalam drama, kenyataan dan waktu dapat diciptakan, membuat semua kisah itu menjadi nyata sehingga dapat menggiring protagonis dan pemeran pembantu membangun kesadaran diri dan menemukan innerlife yang berbeda. Innerlife itu dapat berbentuk sudut pandang baru, nilai, kreativitas, sikap spontanitas dan proses healing yang terjadi dalam grup. Protagonis dapat mengekspresikan emosinya secara bebas dan diperbolehkan untuk membuat eksperimen baru dalam pola interaksi dengan orang lain. Karena itu aksi psikodrama memberikan pengalaman terapeutik dalam bentuk transformasi konsep diri dan membangun pola baru dalam berelasi dengan orang lain.
Skenario dalam psikodrama memungkinkan seseorang bergerak dari memainkan peran yang tidak fungsional menjadi lebih kreatif, kooperatif, fleksibel dan mengembangkan pola-pola baru dalam diri mereka, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota grup.
Wilma Scategni (2002), seorang analis Jungian, psikiater dan konduktor psikodrama, memiliki gagasan untuk membuktikan secara paralel antara teknik Morenian dalam psikodrama dan psikologi analitis Jung. Skenario psikodrama dengan cara metodis dapat menggunakan kekayaan materi mimpi yang diambil dari mimpi anggota kelompok dan diberlakukan dalam kelompok. Kesadaran kolektif/ arketipe itu dapat muncul sebagai skenario dalam aksi kelompok dalam grup psikodrama.
Saya pernah menerapkan skenario mimpi ini pada suatu sesi psikodrama. Protagonis dapat menjelaskan mimpi yang begitu berkesan dan seringkali berulang sebagai skenario drama. Mimpi itu sendiri membawa pesan tertentu yang dapat dipahami lebih baik setelah dimainkan dalam psikodrama. Dibantu oleh pemain pembantu/Auxilary Ego, skenario dapat bergerak dengan cepat secara spontan memberikan gambaran yang lebih utuh tentang pesan bawah sadar yang kini dirasakan langsung dan diterima secara sadar. Kesadaran baru bukan hanya terjadi pada protagonis saja, tetapi juga memberikan tele positif bagi anggota grup yang lain. Silakan baca kembali mengenai Transferensi, Tele dan Encounter pada tulisan sebelumnya.
Skenario drama, sebetulnya dapat diciptakan secara paralel dengan tujuan dan setting dari grup. Beberapa praktisi psikodrama di Amerika telah mengembangkan psikodrama dalam setting dan skenario kasus di pengadilan, teater, seni dan organisasi. Beberapa ahli menggunakan teknik psikodrama dan mengintegrasikannya dalam aktivitas terapi seperti pada pendekatan minfulness Gestalt Therapy, Family Therapy dan Art Therapy. Beberapa ahli lain memanfaatkan setting perjalanan spiritual sebagai skema dalam drama.
Pikiran kita dapat membuat pilihan dan mengidentifikasi tujuan dari kelompok. Lagi-lagi, suasana dalam kelompok harus tercipta secara nyaman sehingga menghargai perbedaan pengalaman, penghayatan, keyakinan bahkan pemaknaan spiritual ketika seseorang bertindak secara spontan.
Connie Miller, 2010 mengembangkan apa yang disebut sebagai souldrama. Suatu perkawinan antara psikologi dan spiritual dengan memanfaatkan action method dalam psikodrama untuk mencapai suatu tujuan kelompok. Souldrama dianggap sebagai metoda untuk menyatukan kecerdasan spiritual dan kecerdasan rasional, sehingga seseorang akan mampu melakukan co- creation bersama Sang Pemilik Kekuatan- The higher power. Souldrama juga membangkitkan tujuan tertinggi/the higher purpose, membuang hambatan yang menghalangi hubungan untuk menjadi seseorang yang lebih cerdas secara spiritual.
Seseorang mungkin dapat menemukan makna baru, pengalaman kehidupan dalam dirinya (innerlife) yang terintegrasi dalam pikiran, perasaan dan ketubuhannya. Insight baru sering muncul secara spontan dan makna baru di berikan pada pengalaman tersebut. Co-creation terbentuk, saat ego lebur dan bersatu dengan apa yang disebut sebagai the soul sehingga seseorang akan lebih mudah mengakses pengetahuan atau insight yang dikirim dari Yang Maha atau Tuhan dalam keyakinan agama.
Kesadaran baru dapat diperkuat dalam proses refleksi selanjutnya setelah aktivitas aksi/drama yang telah dilakukan, menemukan tujuan baru yang positif dan menjadi lebih spiritual. Spiritual disini berbeda dengan religiusitas yang terkait langsung dengan aturan agama tertentu. Psikodrama dapat memberikan pengalaman spiritual, tanpa membedakan keyakinan keagamaan tertentu, karena prosesnyapun hanya mampu menjangkau sisi pengalaman psikologis yang bersifat subjektif dan universal.
Aktivitas roleplay psikodrama juga dikembangkan dengan mengadopsi skenario kisah yang ada dalam kitab suci. Praktisi psikodrama dari kalangan katolik, mengembangkan teknik sosiometri psikodrama untuk memahami isi kitab suci dalam bentuk bibliodrama. Pemahaman, penghayatan akan pesan spiritual akan lebih mudah diterima ketika seseorang memperagakan dirinya sebagai peran pengganti dalam kisah tersebut. Sehingga transformasi nilai, ikatan keyakinan dan pesan spiritual terintegrasi dalam pikiran, ketubuhan dan jiwa — integrasi mind, body dan soul.
Dalam kegiatan perayaan sekolah agama, saya mengalami kegiatan drama spiritual semacam ini, seperti memerankan tokoh Asyiah dalam kisah Musa As dan di bantu oleh teman-teman satu kelas sebagai peran pembantu, drama pengorbanan Asyiah menjadi nyata dalam gerak, suara dan interaksi panggung. Penghayatan akan nilai atau pesan kitab suci dan moralitas dalam kisah tersebut secara spontan terintegrasi dan diserap dengan cepat.
Menurut Anda, apakah ritual ibadah haji merupakan teknik psikodrama kolosal?.
Bandung, 30 September 2020