Shaum dan Pandemi
Ini adalah tahun kedua menjalani ramadhan dalam kondisi pandemi covid-19, akankah esensi ramadhan tergerus karena perilaku new normal kita?
Sebentar lagi Ramadhan tiba, tepatnya sebelas hari lagi sejak hari ini. Bagi umat islam, ini adalah bulan istimewa penuh keberkahan yang sangat ditunggu. Keutamaannya selalu dibicarakan setiap tahun, siapapun Anda dapat mempelajari puasa-ramadhan sesuai dengan kapasitasnya. Kita tak pernah kehabisan bahan untuk memahami dan juga mendapatkan hikmah dari bulan yang agung ini. Banyak pula orang mulai berbenah sejak dua bulan terakhir untuk menyambutnya. Persiapan itu meliputi kesiapan fisik, agenda dan target kegiatan bulan Ramadhan sampai jadwal kajian atau acara majlis ilmu dan kegiatan sosial. Bulan Ramadhan tahun ini, adalah tahun kedua kita menjalaninya dengan kondisi pandemi, dan juga semakin unik karena berakhir dengan perayaan Idul Fitri yang bersamaan dengan hari Kenaikan Isa Almasih. Subhanallah.
Apa yang terjadi dalam ramadhan? Kita tahu baik muslim ataupun bukan, bulan ramadhan adalah bulan pelatihan. Melakukan shaum atau puasa adalah latihan kesabaran. Mungkin kita sudah dipaksa bersabar dalam satu tahun pandemi ini dengan menjaga protokol interaksi sosial yang super ketat. Kita juga sudah berlatih bersama menjaga kesehatan pribadi dan tenggang rasa pada orang lain. Kepedulian bahwa kesehatan kita tanggung jawab bersama, bahwa saat sakitpun kita perlu bersabar untuk mengisolasi diri dari lingkungan. Kita juga berlatih untuk menahan diri, bersabar dengan menjaga jarak fisik dan menghindari sentuhan yang tidak perlu. Kita memaksa diri kita untuk lebih memperhatikan asupan gizi dan hanya makan yang baik dan sehat, sehingga daya tahan kita kuat dan terhindar dari penularan virus yang sangat cepat sekali berpindah inang. Saya sudah menyambut pandemi dengan ucapan Selamat datang The new normal. Kini kita akan menyambut Ramadhan tahun ini dengan cara yang juga berbeda.
Shaum adalah bersabar, meskipun secara fisik tidak terlalu banyak orang mengeluhkan selama menahan diri tidak makan dan minum atau melakukan hubungan sexual di siang hari. shaum juga menahan diri untuk tidak berlebihan dan makan secukupnya, karena mengosongkan perut dirancang untuk menciptkan kondisi pencernaan yang lebih sehat, tubuh yang lebih bersih dari berbagai zat oksidan yang merusak. Tentu banyak sekali kajian tentang ini sehingga tak cukup untuk kita bicarakan dalam tulisan ini. Kesabaran melatih prilaku new normal selama pandemi dilanjutkan dengan berpuasa untuk kedua kalinya saat pandemi. Secara fisik, ini semua akan semakin menguatkan ketahanan fisik, membentuk kesehatan masyarakat dan lingkungan fisik sekaligus. Walaupun sebagian orang merasa sebagai situasi yang memprihatinkan namun mungkin memang kondisi ini dapat menjadi titik balik cara pandang dan sikap mental kita mengelola hidup. Bukan hanya sekedar urusan fisik dan kesehatan fisik, tetapi juga tentang mengelola ekonomi, keuangan dan tata aturan sosial yang lebih baik.
Shaum juga memang tentang membersihan harta. Ada banyak orang miskin dan papa di sekitar kita, maka kita sudah belajar untuk menyetarakan diri dalam sikap sederhana dalam makan dan berprilaku di hadapan Tuhan selama ramadhan. Uniknya, sejak pandemi, kita mengalami krisis ekonomi yang cukup hebat. Semua orang berhemat, kegiatan ekonomi mengalami stagnasi, produktifitas nyaris terhenti dan hanya sedikit sekali uang yang berputar di pasar. Sebagian orang mungkin terbiasa hidup apa adanya selama setahun terakhir ini, sebagian lagi terbantu dengan dukungan dana sosial dan sebagian rakyat mencukupkan diri dari anggaran negara. Dalam konsep harta, Islam mendorong manusia untuk mendistribusikannya secara adil. Berbagi dengan orang lain seperti orang miskin, anak yatim, membantu orang yang berhutang, menyokong orang yang hidup dalam kefakiran dan golongan lain yang telah ditetapkan bukanlah sekedar hukum agama. Pendistribusian harta diyakini sebagai pembersihan diri, karena itu ramadhan ditutup dengan mengeluarkan zakat harta untuk diri pribadi.
Kesediaan berbagi juga diajarkan oleh seluruh agama dan didukung oleh tatanan nilai masyarakat beradab. Saat berbagi, kita juga membebaskan diri dari sikap narsistik. Alih-alih hanya menikmati keberlimpatan sendirian, kita terhubung dengan lingkungan dengan sikap altruistik. Kebahagiaan memang akan diperoleh dengan makan dan tertawa bersama, menikmati kesenangan bersama-sama. Berbagi dalam bentuk apapun menciptakan jembatan antara diri dan orang lain. Saat berbagi, maka kita menjadi manusia komunal yang merupakan sifat dasar dari makhluk sosial yang selalu ingin bersama dan memiliki ikatan satu sama lain. Selama pandemi, kita akui tatanan pergaulan masyarakatpun berubah, namun kita tetap tidak perlu narsistik ataupun egois apalagi mengalami simptom autistic atau menarik diri dan terkurung seperti kura-kura yang bersembunyi dalam cangkangnya.
Selama pandemi, kita memang berusaha menahan diri untuk tidak muncul berombongan dan duduk berkerumun. Saat makan kita menjaga sikap untuk tidak terlalu dekat dan tidak melakukan aktivitas yang tidak sopan di depan publik. Tidak batuk ataupun bersin sembarangan. Perilaku baru selama pandemi merubah pola lama tradisi saat ramadhan. Sebelumnya kita sering memanfaatkan ramadhan untuk makan bersama saat berbuka, berkerumun, bergerombol tentu saja. Ikatan ini dapat terputus bila kita tidak memahami esensi berbagi dan berkasih sayang. Penyesuaian diri dalam menghadapi covid-19 akan berlanjut terus dengan situasi ramadhan.
Mungkin kita akan mengganti kebersamaan dengan melakukan aktivitas lain yang serupa meskipun secara online. Ya, tentu saja online atau dengan protokol kesehatan sebagai perilaku baru. Selama satu tahun ini kita sudah dipaksa memanfaatkan jaringan online untuk berinteraksi atau berkumpul dengan jarak sosial yang berubah. Berbeda dan tentu saja terasa berbeda selamanya. Namun sikap altruistik dalam bentuk kebiasaan berbagi dan kebersamaan hakekatnya tidak akan hilang. Bila kita selalu menyadari dalam diri sendiri, bahwa kita adalah sama dan saling terhubung, akan selalu ditemukan cara untuk kita selalu tetap bagian dari satu sama lain. Manusia adalah satu umat, kita tetap akan selalu menemukan cara untuk selalu bersama. Sejak menggumamkan doa, mengirimkan hadiah, mengunjungi perayaan, menyapa melalu media sosial, dan banyak cara untuk kita tetap menjadi satu bagian yang utuh sebagai umat.
Gerakan masal melakukan shaum Ramadhan setiap tahun seperti juga merasakan dampak pandemi selama satu tahun terakhir ini tentu cukup untuk menyadari keberadaan kita sebagai umat manusia yang sama. Dalam psikodrama, hal ini merupakan suatu aksi kolosal yang akan menciptakan ikatan grup, lebih dari sekedar kebersamaan, kesamaan, empati dan cinta kasih pada sesama. Kita adalah satu, dan kita menyayangi satu sama lain, peduli dan mampu menyadari diri dan sekaligus berempati pada orang lain. Kita memang demikian adanya sebagai makhluk dari Tuhan Maha Pencipta yang sama.
Shaum pada akhirnya tentang menyayangi diri/self compassion yang berdampak sama pada orang lain. Bila kita sayang pada diri sendiri, tentu kita akan semakin sadar bahwa kehadiran orang lain adalah bagian dari keberadaan diri sendiri. Menyayangi diri, self compassion tidaklah egosentris. Sebaliknya merasakan hal yang sama dengan menempatkan orang lain seperti dirinya. Kesehatan itu milik kita bersama, kita tak bisa sehat bila kita juga tak peduli pada kesehatan orang lain. Kita misalnya tak akan membuat dan makan makanan beracun karena itu bukan hanya merusak diri sendiri tapi juga generasi kita semuanya. Kita juga membersihkan apa yang ada dalam jiwa kita, menjaga pikiran dan perasaan, sehingga energi positifnya akan mendominasi diri dan juga terpancar pada lingkungan dalam bentuk pikiran dan prasangka yang positif. Sikap dan orientasi kita akan lebih terarah pada kebaikan dan kedamaian bersama. Kita bersabar dalam bertindak yang baik dan benar saja, sehingga lingkunganpun berespon sama secara timbal balik. Kebaikan akan memancing kebaikan, sesederhana senyum pada orang lain hanya akan berbalas senyuman pula.
Kebaikan ramadhan selalu disimbolkan atau juga diyakini dengan terbelenggunya syetan yang sering menjadi tokoh pengganggu. Puasa atau syaum ramadhan adalah benteng kita untuk berlatih bersama mengendalikan apa yang ada dalam kendali diri sendiri. Mungkin saja, tidak setiap saat lingkunganpun kondusif dalam situasi yang baik dan sesuai dengan harapan, namun kesabaran yang telah kita latih pada berbagai segi sejak pandemi ini dapat mencapai puncak terbaiknya saat ramadhan tiba. Pandemi perlu kita hadapi bukan hanya dengan sehat fisik, tetapi juga daya tahan dan sikap fleksibilitas dalam menjalani hidup. Barangkali saatnya kita melakukan perenungan bersama, secara kolosal tentang arah baru kehidupan yang lebih baik untuk masa depan kita sebagai umat manusia.
Saya yakin semua insan beragama, apapun itu akan setuju dan menyambutnya dengan suka cita. Waktu ramadhan menyediakan waktu untuk berkhalwat, menyendiri dan menemukan makna baru dalam hidup. Tidak sekedar tentang bergugurannya dosa pribadi tetapi juga tentang membuat keputusan yang terbaik bagi sesama dalam kehidupan kita selanjutnya. Maka, dengan tetap sehat fisik dan jiwa kita, tentu kita juga akan menyambut ramadhan ini dengan kebahagiaan.
Berharap semoga ramadhan kali ini membuat kita mampu melampaui fase inkubasi terbaik dan membebaskan diri dari belenggu kehidupan yang fana, lahir kembali bagai kupu-kupu yang indah. Menemukan kebahagiaan yang hakiki bersama selamanya. Aamiin
Bandung, 2 April 2021