Serunya bermain bersama anak

Iip Fariha
7 min readNov 17, 2020

--

Sebuah refleksi setelah 20 tahun membersamai.

Mom & Me. Koleksi pribadi

“Terkadang rasa takut membuat kita kuat, rasa malu memberi kita kemandirian. Pengalaman, sekali lagi adalah guru yang paling berharga. Sikap bijak selalu lebih baik dari pengetahuan. “

###

“Apa yang kamu khawatirkan? Anakmu cantik, sehat, lincah dan cerdas sekali.” Ibu menanggapi kisahku tentang betapa anakku blocking dites verbal. Beberapa kata sederhana gagal dia jelaskan. Kalimatnya blibetdan tidak memahami apa yang dimaksud. Mengamati penggunaan katanya, sangatlah konkret dan tidak sesuai dengan angka IQ yang tinggi.

“Menurutmu dia kenapa?” kata Ibu DR. Suci Wibowo, konsultan psikolog di PG/TK Bunda Ganeca. “Kamu ‘kan sekarang psikolog, coba cari tahu apa yang terjadi,” tuturnya lembut dengan mata yang senantiasa teduh itu menatapku. Membuat aliran darahku naik ke bagian pipi lebih cepat. Aku menunduk malu dan ada rasa gamang di dalam sana, terasa dahiku mengerut mendekatkan kedua alisku. Aku balik menatap ibu dan menjelaskan beberapa kejadian yang mungkin berkaitan dengan tema obrolan kami sore itu.

Sore itu aku sangat ingin mendapatkan “kuliah” dari guru pedologiku, almarhum DR. Suci Wibowo, semoga beliau damai di sisi-Nya. Beliau adalah dosen mata kuliah pedologi, saat aku kuliah di Fakultas Psikologi Unpad Bandung. Tentulah sangat kompeten untuk menjelaskan kasus ini. Pedologi yang kupahami adalah ilmu tentang gangguan pada anak, terutama pada usia perkembangan termasuk di dalamnya kasus yang sekarang kita kenal sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Beliau tidak pernah mendiagnosis anakku, tapi beliau mengajarkan kearifan padaku untuk bersikap melihat anakku secara utuh. Alih-alih menjelaskan “kenapa” atau setidaknya menguraikan hasil tes WISC (Weschler Intellegence Scale for Children) anakku, beliau malah balik bertanya, tentang apa yang aku pikirkan, apa yang aku lihat secara keseluruhan dari anak. Tentu aku orang tuanya lebih tahu dibandingkan siapa pun.

Jelas aku memikirkan anakku. Anakku yang diperolehnyapun dengan sulit, aah… mau mewek kalau ingetbagian ini. Tentu saja teramat aku syukuri, kami diberi kesempatan oleh Allah mencicipi bahagianya menjadi orang tua dan membesarkannya. Ini semua tentang amanah yang terasa berat kami tanggung dan kegamangan kami sebagai orang tua, atau tepatnya aku pribadi, mungkin juga karena embel-embel psikolog di belakang namaku. Tentu saja aku khawatir, benih khawatir yang terus “kuterima” dan sangat kupahami sebagai kewajaran seorang manusia. Setidaknya, hal ini membuatku semakin sadar bahwa ilmu kita tak ada apa-apanya. Apalah kita ini? Apakah mau berlindung di balik gelar sarjana, setumpuk buku yang kita baca, workshop yang kita ikuti? Secelup jari kita di lautan ilmu-Nya. Tak lebih dari debu di padang pasir yang mahaluas.

Kegamangan ini, memberiku energi untuk mencari tahu segala hal. Walau Paksu mengatakan bahwa aku terlalu berteori, tapi aku mencari buku kehamilan, perkembangan anak, kegiatan bermain, buku resep makan anak, dan lain-lain. Semua buku itu, yang belum tentu juga benar-benar dibaca, tetapi tentu saja memberikan gagasan. Tetapi ilmu itu sebenarnya bukan apa yang dituliskan, tapi apa yang sudah kita kaji dan renungkan dan menjadi pembelajaran berharga setelah kita benar-benar mencobanya. Setelah sekian lama, barulah mungkin kita dapat membuat catatan tentang perkembangannya. Pengalamanlah yang benar-benar menjadi ilmu yang berharga bagi kita.

Hal lain yang lalu kukerjakan adalah membagikan pengalaman dan tips itu pada orang tua di acara parenting, yang dulu sering sekali aku lakukan. Berbagi kisah di ruang diskusi forum orang tua atau mendengar keluh kesah kasus anak-anak mereka di ruang konsul. Terkadang dulu aku masih merasa marah karena proses pendampingan itu kurang sesuai harapan. Mungkin terkadang frustrasi melihat kenyataan tidak semua orang tua menyadari perannya. Memiliki anak yang terutama berkebutuhan khusus sepatutnya membuat orang tua bergerak, belajar dan mencari tahu, mencari bantuan dan bergandengan tangan dengan pasangan untuk menghadapinya. Tetapi ternyata terkadang hal itu hanya harapanku saja, sebagian orang tua masih abai, merasa tak berdaya, tidak memiliki motivasi untuk berubah atau mungkin bahkan tidak menyadarinya, dan itu menyedihkan sekaligus menyesakkan dadaku. Barangkali memang itu juga refleksi dari kepedulian sekaligus rasa takut atau tak berdaya. Aku menjadi mengerti ada psikolog yang isi ceramahnya malah menakutkan orang tua.

Mengingat kembali perjalanan masa anakku bertumbuh dan melewatinya hampir 20 tahun saat ini, membuatku teringat pada ibu Suci. Ibu Suci pernah memberi satu hadiah untukku, sebuah buku permainan. Book of 1000 Family Games, buku ini hilang selama 10 tahun lebih. Buku ini berisi seluruh jenis permainan yang ada di dunia dan sering mirip di antara negara-negara lainnya. Kegiatan bermain adalah media belajar bagi anak, sesuatu yang justru sering dilarang atau disalahpahami orang tua.

Aku bukanlah orang yang kreatif sehingga memerlukan contekan jenis permainan dan kegiatan belajar pada anak. Dengan berbekal berbagai buku referensi yang sebenarnya hanya dibaca cepat, kubuatkan berbagai kegiatan di rumah yang selalu kusebut sebagai kegiatan main-main, seru-seruan saja. Ada saatnya ngoprekair, tanah, cat air, kertas gambar, kertas lipat, gunting dan lem. Terkadang membuat skenario mencari harta karun yang berupa sepotong coklat, tapi perlu memecahkan misteri tulisan yang disembunyikan di beberapa titik di rumah. Ah seru memang.

Anak-anak terlalu stres dengan target orang tua yang menjejali mereka dengan “kegiatan belajar”. Belajar ngaji, menggambar, menulis, membaca, matematika, musik, olah seni dan kebugaran. Bila tak ada lembaga kursus yang cukup mudah dijangkau orang tua, disediakanlah guru privat untuk mengajari anak-anak ini di rumah secara khusus. Mendengar kata “belajar” saja sudah membuat anak-anak mual dan sakit perut. Kertas dan pensil menjadi barang yang ditakuti dan berasosiasi dengan beban hidup yang tidak semestinya di tanggung anak yang memakai kaus kaki saja belum bisa sendiri.

Aku tak pernah menggunakan istilah “belajar”. Orang dewasalah yang perlu belajar dari anak-anak. Mereka melakukan segala hal sejak bangun tidur dengan rasa ingin tahu yang menggebu, mencoba ini dan itu tanpa rasa salah dan takut. Kita mengatur mereka untuk sebuah aturan belajar yang tidak mereka kenal dan tidak lagi menyenangkan.

Walau buku hadiah dari Ibu hilang dan terlupakan di rak buku kawan lama — yang sempet aku pun lupa siapa — tapi aku sempat membuka-buka dan mendapatkan point pentingnya. Bermain itu beraktivitas di rumah, dengan keluarga, belajar hidup dan menjalaninya dengan riang. Btw, terimakasih The Dewi, Psikolog Suryakanti yang telah mengembalikan buku kenangan itu. Saya pernah belajar di Suryakanti bersama ibu Dra. Farah T Suryaman, Psikolog, Bu Eni, bu Fridia, Dr Ana, Dr Dewi, dll. Sungguh salah satu momen persiapan saya sebelum akhirnya mengurus anak sendiri.

Kembali pada kisah aku dan ibu, atau aku dan anakku, semoga kelak ia menyadari betapa inginnya kami, orang tua menjadikan golden momen 5 tahun pertama itu sebagai pondasi yang baik.

Mandi pagi itu bermain dan belajar, membedakan air hangat dan dingin, melihat aliran air dari selang atau memutar-mutar kran sampai jebol. Menciptakan busa sabun sepenuh ember dan menepuknya dengan tangan hingga bertebaran ke udara. Air itu sejuk, hangat, panas. Terkadang berubah jadi uap atau membeku menjadi es. Permainan dengan air tak pernah habis-habisnya, selalu ada saja eksperimen zat cair dan reaksi kimia. Anakku yang cerdas itu memang mandi di dalam ember dengan bebek karet dan busa sabun yang disukainya. Tapi ia sangat antusias membuat eksperimen kimia, hingga saya membelikannya satu set peralatan laboratorium anak-anak. Bukan untuk belajar ilmu kimia yang secara akademik baru akan dipelajari di level SMA. Tidak perlu menunggu sekolah tinggi untuk mengenalkan perbedaan suhu, perubahan zat, reaksi kimia yang alami terjadi sehari-hari dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Ini baru satu kisah seru yang bermula di kamar mandi. Setiap pagi, keseruan tak pernah habis dan menjadi sajian menarik. Tak ada keruwetan orang tua yang melakukan diagnosis anaknya begini dan begitu. Pengetahuan pedologiku tidak pernah aku buka lagi dan selalu melihat anak-anak sebagai agen pembaharu bagi keluarga. Itu pula yang dulu aku sering sampaikan pada orang tua. Alangkah bahagianya bagi orang tua yang memiliki anak, keseruan bermain dengan mereka adalah investasi yang luar biasa untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka. Karena kedekatan kita dengan mereka, kasih sayang, proses komunikasi dan transfer nilai-nilai dilakukan saat anak-anak merasa happy bermain bersama ibu.

Setelah puas masa bermain-main itu, aku bahkan tak pernah direpotkan oleh tugas sekolah dan PR dari guru. Semua kegiatan menjadi hal yang menyenangkan dan dijalani anak sejalan bertambah kemandiriannya. Kalau sekarang setelah 20 tahun, dia akan mengatakan “Aku tak pernah diajarin ibu, aku selalu belajar sendiri.” Mungkin memang demikian karena aku hanya sempat menemaninya saat bermain saja. Selebihnya, banyak agen yang Allah ulurkan mengajari dan menjadi mentor yang jauh lebih handal dan lebih memahami konten materi pelajaran. Dan ada lingkungan sosial, pertemanan dan masalah hidup yang mendidiknya menjadi semakin kuat dan mandiri.

Sekali waktu aku menuliskan beberapa ide permainan dan ulasan manfaatnya bagi anak, ku-posting di buletin orang tua, dan sebagian di tayangkan di majalah anak. Tapi kesibukanku “bermain” dengan anak mengalahkan kegiatan menuliskannya. Jadi, saranku, lakukan saja, terlibat penuh dan rasakan saja. Lagipula, kala itu aku malah mendapat teguran keras dari anakku dengan berkata,”Ibu merasa sudah berhasil ya, mendidik aku?”. Deg…

“Ibu masih terus belajar, belajar itu dari buaian sampai liang lahat, Nak!”, selalu ada golden momen yang bisa kita sampaikan. Mungkin anak-anak kita akan melesat jauh melampaui kita, dan kita bahkan tidak dapat lagi mengajari dia apapun. Tetapi kebijaksanaan dan hati orang tua, terutama aku sebagai ibu, tetapnya memandangnya sebagai seorang anak.

Aku belajar tentang gangguan pada anak-anak selagi dalam proses perkembangan anak. Namun inspirasinya justru membersamainya dalam permainan keluarga yang membuat kita tidak perlu terlalu gamang tentang masalah-masalahnya. Karena setiap anak bertumbuh alami sebagaimana kita juga bertumbuh dan terus belajar. Aku bahkan terlampau malu untuk bertemu guru psikologiku, sejak saat itu. “Kamu kan psikolog, kita sekarang bermitra, jadi menurutmu apa yang perlu kamu lakukan?”

Aku membersamainya bermain dan bertumbuh bersama. “Kalau Anda?”

#Dua bulan menjelang ulang tahun Ananda. Semoga Allah membersamaimu juga dimanapun kau berada.

Bandung, 17 November 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

Responses (1)