Photo by Javardh on Unsplash

Senyum palsu sahabat

Iip Fariha
6 min readMay 8, 2020

Pengalaman masa lalu sering disesali dan membebani diri sendiri. Kesadaran diri untuk jujur dan berlatih menerima diri apa adanya awal dari perubahan. Perlu perjuangan untuk memaafkan diri sendiri, bila kebahagian sejati yang dicari.

“Teh, punten mau curhat. Saya gak bisa menulis banyak kata dan gak bisa ngerangkainya. Ini keluar begitu saja dan saya tulis. Jadi mohon maaf jika kurang dimengerti.

Saya termasuk orang yang cenderung menyalahkan diri sendiri dan selalu memikirkan kejadian-kejadian yang lewat sehingga tidak jarang untuk mengeluarkan kata-kata “bodoh” untuk diri sendri. Kadang sehari-hari diisi dengan keceriaan, kadang diisi dengan bad mood sehingga saya merasa tidak mempunyai teman. Ada keinginan untuk membaur diri ke teman-teman kantor tapi saya merasa tidak percaya diri (PD) dan alhasil kaku saat bergaul. Sering mempunyai satu teman yang akrab tetapi tidak berlangsung lama karena “pasti” ada kecewaan yang seolah kepercayaan saya dikhianati. Alhasil, hubungan persahabatan menjadi “kaku” saat sedia kala pertemuan pertama. “Hingga saya merasa sendiri terus, walau senyum dan tawa terpancar tetapi terasa hampa dan terkesan palsu”; “bercanda kadang terasa hanya supaya terlihat bahagia di depan teman-teman”.

Dilihat dari sudut pandang umur, sepertinya saya sudah cukup berumur: 28 tahun”.

( Anonim)

*****

Menyalahkan diri sendiri, labeling bodoh, terjebak dengan masa lalu, kecewa terhadap perlakuan orang lain, dan segala hal yang terjadi di masa lalu; belum bisa menerima diri sendiri bahkan sejak dalam pikiran, bahkan bahagia pun penuh dengan kepura-puraan; apakah ini dirimu, wahai sahabat? Kurasa ini tidak bisa disebut sebagai dirimu. Lalu siapa?

Ketidakpercayaan diri, kesulitan untuk berelasi sosial dan kekakuan dalam membawa diri di lingkungan merupakan akibat dari “keributan di dalam diri“ yang belum selesai. Pura-pura kuat, berusaha untuk bahagia, memang terpaksa dilakukan untuk sekadar mengelabui diri sendiri dan mungkin kadang bisa saja berhasil mengelabui orang lain.

Banyak orang yang juga terkelabui oleh sikap yang tidak asli (alias palsu) ini dan lalu menanggapi dengan cara dan sikap yang tidak genuine, asli juga. Salah satu kepribadian seseorang yang mengalami hambatan, menurut Frankl, adalah ketika orang lalu bersikap kompromi atas situasi lingkungannya. Saya selalu salah, dan orang lain yang benar, maka saya hanya bisa mengikuti apa kata orang lain saja. Bayangkan, seperti dalam pesta topeng. Bagaimana apabila setiap orang lalu memasang topengnya dalam relasinya sehari-hari? Maka … setiap orang akan mengeluh di dalam hatinya masing-masing, capek deh. Gue bersandiwara, elo juga bersandiwara. Memang hidup ini panggung sandiwara? Enak kalau jadi artis, bersandiwara dibayar dan menjadi media untuk healing atas sisi kepribadian yang tidak bisa ditampilkan dalam situasi normal. Ya kan??

Mengapa begitu takut melihat diri?. Mungkin ada sesuatu yang memalukan atau rapuh di dalam batin. Ada kejadian buruk yang mungkin memalukan di masa lalu. Ada kualitas diri yang tidak dimiliki sebagaimana di harapkan. Ada perlakuan buruk orang lain yang menyakitkan dan ada banyak kejadian-kejadian lainnya yang membuat citra diri begitu buruk. Sehingga diri begitu yang gamang dan tidak berani menampilkan diri yang sesungguhnya. Apapun itu, telah terjadi di masa lalu dan sebagian mungkin memang faktanya demikian, masa lalu tak bisa diubah.

Setiap orang memiliki sisi negatif, tapi juga sisi positif. Perlu kesadaran diri untuk berani membuka diri. Bila kebahagian sejati yang diinginkan, maka belajar untuk menerima diri dan memaafkan masa lalu, lalu memaafkan diri sendiri layak untuk diperjuangkan.

Saya menyukai teknik psikodrama, yang sebelum pandemi ini saya gunakan untuk kegiatan grup healing. Alih-alih belajar bersandiwara atau bermain seperti artis film, psikodrama belajar untuk melihat hidup kita dalam drama yang sesungguhnya.

Bila kita berkesempatan nanti melakukannya, situasi grup yang diciptakan dalam psikodrama memang untuk belajar membuka topeng diri yang tidak genuine sekaligus bermasalah ini untuk jujur pada diri sendiri, sekaligus juga belajar untuk melihat orang lain tanpa topeng, tanpa kepura-puraan tanpa merasa takut untuk tampak bodoh atau dibeli label seperti “kamu bodoh” atau “kamu kaku”, “kamu gak menyenangkan”, apa pun label itu baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Semua orang sama dalam hal memiliki sisi buruk dan baik. Persoalannya bagaimana menerima itu semua sebagai bagian dari diri kita.

Dalam Psikodrama, kita sama dalam upaya melatih “menerima diri apa adanya” dan menghormati orang lain “apa adanya pula”. No judgment at all!

Judgmental dalam bentuk memberi label, memang merugikan diri sendiri atapun orang lain. Sebuah label yang melekat — dan umumnya negatif — membuat kita tidak pernah bisa melihat sisi lain dalam kepribadian kita. Sebagai contoh, “Kamu itu baperan, gampang sakit hati” atau “Kamu itu sok tahu dan dominan, bikin orang terintimidasi”, dan lain sebagainya.

Memang ada tipe-tipe kepribadian pada orang dan secara khusus banyak dikaji dalam kuliah Psikologi. Banyak juga buku-buku populer dan cara-cara orang awam/nonspikolog menilai dirinya sendiri, untuk mengenal tipe apa atau termasuk karakteristik kepribadian apakah dirinya. Apakah itu bukan labeling?

Sebagai contoh, setelah mengikuti tes, ternyata saya tipe introvert, intuitif, thinking dan judging (INTJ). Hayoo… siapa yang seneng ngetes dirinya sendiri??

Jadi, saya sibuk dengan diri sendiri, suka merenung, mendahulukan logika, selalu perlu kepastian. Tapi apakah hanya itu??

Belajar menerima diri apa adanya

Sesungguhnya, manusia sangat unik. Upaya manusia dengan ilmu ini merupakan cara kita untuk memberi kebaikan dan kesejahteraan mental pada diri kita masing-masing. Bila labeling menjadi cap dan mengikat seseorang sehingga stuck, buntu, dan seolah-olah hanya itu saja yang dia punya, maka orang akan terikat selamanya dengan penamaan dari label tersebut. Label menjadi citra diri dan mewujud menjadi dirinya yang sebagaimana label tersebut. ini akan membahayaan, apalagi kalau labelnya jelas-jelas negatif. Kamu bodoh, kamu tidak percaya diri, kamu kaku.

Mungkin benar, tapi apa hanya itu saja yang ada pada diri Anda??

Katakan saja Anda lebih mudah mengerti apa yang dirasakan oleh diri sendiri dan juga orang lain, bisa belajar untuk lebih empati pada orang, bisa lebih mengerti bahwa setiap orang ternyata punya masalah juga seperti kita, dan belajar untuk memaafkan diri yang baperan, yaitu ketika mudah terhanyut oleh suasana hati, terima saja dulu. Itu memang dirimu.

Kesadaran ini akan menjadi pintu keluar untuk perubahan, selama dilanjutkan dengan upaya perenungan dan memutuskan untuk berubah. misalnya melihat sisi lain dari pengalaman buruk tersebut. Misalnya dengan merasa bodoh dan menyesali masa lalu, kita bisa belajar untuk lebih pinter dan waspada, mencari cara-cara baru untuk berelasi dan melakukan tindakan dengan lebih terencana. Ada teknik sederhana untuk melihat sisi lain dari labeling negatif.

Buatkan suatu kalimat afirmasi yang disampaikan pada diri sendiri misalnya:

Saya menghargai diri saya yang membutuhkan waktu untuk belajar menerima kekurangan diri. Saya tahu saya punya sisi positif dan akan saya berikan kesempatan untuk muncul dan membuktikan bahwa saya baik, berguna, berharga dan patut mendapat kesempatan.

Tidak apa-apa kalau kita salah lalu menyesali kesalahan tersebut. Itu satu poin baik bahwa kita sadar diri lalu mengetahui bahwa orang lain juga sama, kadang berbuat salah, maka kita belajar memaafkan orang lain dan menerima kekurangan diri.

Belajar memaafkan dirinya sendiri

Saatnya untuk berubah dan peduli pada diri sendiri. Belajar memaafkan diri sendiri. Secara khusus nanti akan saya tuliskan pada tema pemaafan. Seringkali memaafkan diri sendiri lebih sulit daripada memaafkan orang lain. Tetapi kita tak akan bisa belajar memaafkan orang lain sebelum belajar menyayangi dan memaafkan diri sendiri. Kita bertanggung jawab pada kesehatan mental sendiri, orang lain tidak akan peduli. Mulailah untuk bersikap adil, sejak dari pikiran sendiri.

Seringkali kita menuntut diri untuk melakukan hal yang tidak sesuai dan tidak masuk akal. Hal itu disebabkan karena memiliki standar diri dan punya harapan pada diri sendiri, yang bisa jadi itu tidak realistis. Bisa juga kita dituntut oleh lingkungan dan kita tak berani menolak, atau tidak memiliki kemampuan untuk bersikap asertif. Padahal hal itu menjadi beban mental bagi kita.

Maka, jujurlah pada diri sendiri. Terimalah segala hal yang kurang pada diri sendiri, sebagaimana kita juga wajib menerima kekurangan orang lain. Karena semua manusia pada dasarnya sama. Tidak pernah ada yang sempurna. Karena kesempurnaan adalah milik Yang Menciptakan kita. Maafkan kesalahan yang telah diperbuat di masa lalu. Sebagaimana adanya manusia selalu ada lalai dan salahnya. Mulailah untuk menyayangi diri sendiri dan peduli pada kebaikan diri.

Tidak penting orang lain tahu siapa kita. Kitalah yang patut mengenal diri kita apa adanya dan ingatlah bahwa Tuhan tahu apa adanya diri kita. Tuhan bersedia dengan pemaafan dan kasih sayang-Nya. Apakah kita mau menolak hal itu??

Be yourself. Jadilah diri sendiri, mulailah sekarang juga.

Berikut latihan yang dapat anda lakukan :

1. Tuliskan 10 kata sifat yang menggambarkan diri sendiri. Bila ada kata yang bermakna negatif, coba cari padanan katanya yang lebih netral. Sebagai contoh:

Malas, sombong, tidak mau terima kekalahan. Ganti kata “malas” dengan kata “perlu penyesuaian diri”, ganti kata “sombong” dengan misalnya: berani tampil untuk menunjukkan kebenaran, ganti kata “tidak mau terima kekalahan” dengan “tidak mudah menyerah”.

Meskipun ini tampak dibuat-buat, Anda akan belajar mulai dapat mengubah dan menggeser konsep diri Anda menjadi berbeda. Pikiran akan memengaruhi tindakan. Lakukan ini sebagai suatu usaha yang serius sehingga pikiran negatif Anda teralihkan pada hal-hal yang lebih penting, berguna dan lebih memberdayakan.

2. Sharing tentang pengalaman Anda “mengalahkan pikiran negatif Anda” bersama teman-teman, dan minta tanggapan untuk saling membantu mengingatkan, pada bagian mana pikiran anda masih terdistorsi atau negatif.

Bandung, 4 April 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

Responses (1)