Sebuah Oase
Sebuah kenangan transit di sebuah wadi, perjalanan antara kota Madinah dan Makah
Sejauh mataku memandang, hanya hamparan pasir gersang, terkadang bongkahan juga kerikil tajam, diselingi ilalang, rumput berduri dan satu dua pohon menghijau di kejauhan. Setiap beberapa saat angin kencang menerbangkan bulir pasir, debu dan udara panas menyeruak membuat pandangan berkabut, bila terkena mata tentu akan sangat perih, kulit akan terasa mengering dan napas sesak. Bagi yang tidak terbiasa dengan gurun pasir dan keganasan alam seperti ini, tentulah tidak ada menariknya berdiam di tempat ini. Apalagi sulit menemukan air atau mencapai akses untuk kebutuhan hidup.
Saya dan rombongan bis ini hanyalah setitik debu yang bergerak di lintasan garis tipis di selembar kertas ukuran besar yang kosong bila dilihat dari satelit. Hijaj terkenal dengan gurun saharanya. Hijaj sesungguhnya negara bagian jazirah Arab yang berbatasan dengn teluk Aqobah di sebalah utara, laut merah di barat, kota Nejed di timur dan Usair di sebelah selatan. Saujana, sepanjang mata memandang kita hanya melihat deretan pegunungan yang membentang dari Nejed sampai pantai Tihamah. “Kawasan kosong” ini merupakan gurun terluas di dunia, nyaris tak ada sungai apalagi danau permanen, hanya beberapa wadi atau oasis yang subur tempat para pengembara, pengembala atau musafir beristirahat.
Kami baru saja turun dari bis ber-AC. Perubahan suhu yang sangat drastis, 30 derajat lebih panas membuatku sempat kaget. Pantas saja orang gurun memakai pakaian tertutup, hingga hanya mata saja yang terlihat. Aku berjibaku dengan jubah panjang yang tertiup angin kencang yang datang tiba-tiba, “Untung saja bajuku berlapis celana panjang”, pikirku. Kerudung yang biasa kupakai tak memadai menahan badai dan semburan debu gurun diterik siang itu. Suamiku berusaha membantu mengatasi kekacauan yang tiba-tiba itu. Secara spontan kugunakan selendang yang semula menghangatkan di ruang ber-AC untuk menutupi muka, mengamankan mata yang terpaksa harus dipejamkan erat-erat, sementara kita juga harus mencari perlindungan ke tempat yang aman. Sedikit kupicingkan mata, mengintip dari sela selendang, terlihat samar-samar sebuah bagunan sekitar 10 meter jaraknya. Kuberlari menuju pintunya yang terbuka, sebelum masuk, kurapikan pakaian dan kerudung yang berantakan di pojokan bangunan. Ternyata ini bangunan sebagian berupa tenda permanen, sebuah restoran. Tak terbayangkan, ada restoran di tengah gurun minus tempat cuci tangan apalagi kamar mandi. Kami bersyukur masih ada menu roti cane dengan ikan bakar walaupun dengan rasa aneh di lidah. Namun kurasakan betapa nikmatnya berteduh di balik tenda di tengah badai, minum air dingin sepertinya hal paling berharga saat itu ditambah sepotong ikan, menu paling mewah di tempat terpencil jauh dari pantai manapun.
Ini adalah pengalaman ketiga pergi berziarah ke Makah, dan Madinah. Kedua kota ini terletak di Arab Saudi, sebuah kerajaan yang dinamakan demikian mengikuti nama pendirinya Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Sa’ud. Wilayah Arab Saudi memang sebagian besar terdiri dari gurun pasir atau kita menyebutnya sahara. Wilayah Arab berbatasan dengan negara Yordan, Irak, Kuwati, Teluk Persia, UEA, Oman, Yaman dan Laut Merah. Saya pernah melintasi laut merah dengan pesawat ketika transit di Mesir pada umroh sebelumnya, namun belum pernah merasakan debu gurun sahara ini secara langsung di tengah perjalanan Medinah menuju Mekah.
Kalau bukan karena kedua kota suci ini, tentu tak ada manusia dari belahan dunia lain yang dengan senang hati datang ke tempat ganas seperti ini. Gurun sahara masih menyimpan misteri, dengan bentang alam yang tidak mudah kalau bisa dikatakan tak mungkin dikalahkan. Dalam kondisi alam yang teramat sulit, namun Allah SWT berkenan menciptakan Wadi di lembah Mekah yang diberkahi. Semburan oase air zamzam dari tangisan seorang Ismail dan doa seorang perempuan Hajar mengubah lanskap ini menjadi tempat paling subur dan paling ingin dikunjungi oleh semua manusia di bumi. Cadangan minyak di perut buminya menjadikan kawasan ini kaya raya dan mampu mendanai proyek megah serta menjamu para tamu yang berziarah. Kesanalah hati saya terpaut rindu, mengunjungi bangunan ibadah paling kuno sepanjang sejarah manusia, Ka’bah yang pondasinya telah ditegakkan kembali oleh Ibrahim as bersama anaknya, Ismail as.
Dan ingatlah ketika mereka berdua berdoa,” Ya Tuhan kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan jadikanlah diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkan kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ( QS albaqoroh ayat 127 -128).
Nun jauh disana, tampak seorang pengembala arab badui yang berjalan bersama kawanan kambingnya. Mereka masih bertahan mendiami lembah panas di sekitar wadi ini. Mereka mengandalkan sumber makanan berupa susu, dan daging dari ternak yang mereka pelihara. Namun sekarang tentu lebih mudah mendapatkan akses transaksi ekonomi dengan lintasan jalan tol yang sangat baik dan moda transfortasi modern. Dulu rotipun diolah sendiri dari gandum kasar yang ditumbuk manual. Transaksi ekonomi merupakan aktivitas barter barang dengan pengelana sesama mereka, sebelum lahir sistem ekonomi modern dengan menggunaan koin emas dan perak sebagai pengganti nilai barang. Hidup mereka teramat sederhana, dengan berlindung pada tenda kulit yang dapat dilipat dan mudah diangkut saat mereka harus pindah mencari oase yang lebih baik. Oase atau wadi biasanya menyediakan sumber air dan rumput untuk ternak. “Demikian hidup seharusnya berjalan”, kupikir, seperti musafir di tengah gurun tak bertepi.
Hidup kita seperti musafir, tak perlu membawa bekal terlalu banyak yang akhirnya menjadi beban. Perjalanan kita masih panjang, mungkin kita akan bertemu badai, bila sempat menemukan tempat berteduh sementara lalu berjalan kembali. Menikmati hidup sekedarnya adalah menikmati makan dan minum, hanya itu kebutuhan fisik kita sesungguhnya. Selebihnya kita adalah hamba yang sedang memenuhi panggilannya. Labbaik Allahumma Labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik. Hanya taqwa sebaik-baiknya bekal yang patut kita jaga. Kusadari bahwa beban hidup yang sebenarnya adalah urusan dunia yang kita simpan di punggung kita sendiri.
Bis melaju kencang menuju Makah dengan kecepatan penuh. Gurun terkadang berubah warna dan bentuk, terkadang kulihat gelap, lalu menguning, terkadang putih menyilaukan, terkadang kuterpana dengan deretan hijau pohon, sungguh ajaib ada kehidupan di tengah lautan pasir yang tak berbatas ini. Namun jalanan seperti tak ada beda dan entah kapan akhirnya, semua tampak sama. Jalan lurus, kosong, dengan aspal yang sangat hitam licin. Kiri kanan jalan hamparan gurun eksotis yang semakin lama semakin membosankan. Aku sudah berniat ihram, kulafalkan zikir sambil merasakan keheningan memandang garis horizon yang begitu panjang. Supir bis ini tentu sudah sangat handal, mereka mengenal karakter alam dan perubahan cuaca yang bisa berubah tiba-tiba. Terkadang jalanan berubah gelap karena badai pasir, lalu tiba-tiba ada bis didepan kami, nongol entah dari mana. Bila badai datang, mereka mengurangi kecepatan atau berhenti seperti tadi. Sebagian orang bercerita bahwa mereka pernah terjebak badai hujan es yang menyeramkan. Di lembah Mekah, hujan setengah jam mampu membuat kota langsung kebanjiran. Saya pernah panik sesaat berlindung di sebuah hotel lain saat tiba-tiba badai angin dan hujan datang seperti itu.
Kubayangkan Rasulullah dan para sahabat melangkah menembus perjalanan ini dalam seminggu, sementara aku duduk terpana di ruang ber-AC hanya sekitar 4 jam saja bila tak berhenti. Rasa nyaman di kursi empuk dengan bis eksekutif membuatku rileks dalam kantuk yang melenakan. Perjalanan 9 tahun lalu ini masih lekat dalam ingatan. Tak lama kemudian, pada tahun 2018, Raja Salman meresmikan kereta api cepat haramain, membuat jarak tempuh ini cukup memakan waktu 90 menit saja. Allahumma shalli ala Muhammad, Labbaik Allahumma labbaik, air mataku menetes, perjalanan ini demikian mengharukan.
Kami sedang menuju sebuah lembah Mekah yang memiliki sumur air zamzam yang tak pernah kering selamanya, untuk bersujud di samping maqom ibrahim, mencium hajar aswad dan bertawaf sambil bertakbir dan bertahmid memujiNya.
Saujana, Kita hidup seperti musafir, berhenti sejenak di oase lalu terus berjalan mencari oase lain. Oase itu dapat berupa ilmu, guru atau kesenangan sesaat untuk melepas letih. Dalam dunia tasawuf, makna musafir sangatlah dalam. Musafir berjalan melatih akhlak. Musafir melatih hidup secara juhud, hanya membawa benda yang benar-benar akan berguna saat penempuh perjalanan di gurun seperti ini. Dituturkan dalam kisah para sufi, bahwa Ibrahim Al-Khawwash ketika bepergian tidak membawa suatu apapun yang berarti. ia hanya membawa jarum dan tempat air. Jarum untuk menjahit pakaiannya jika robek agar auratnya tertutup dan tempat air digunakan untuk bersuci saat ia akan shalat. Menurut Abu Ya’qub As-Susi, seorang musafir butuh empat hal dalam perjalanann yaitu ilmu untuk memandunya, sikap wara/ kehati-hatian untuk menahan dirinya, hati yang membawanya dan adab yang menjaganya.
Jika kita ini hanyalah musafir yang menempuh perjalanan panjang dan sulit, lalu bekal apa kiranya yang pantas kita bawa agar tak menjadi beban dan menghambat kita sampai di tujuan? Semoga kita tak lalai bahwa kita akan terus bertawaf dalam lingkaran hidup atau berjalan di muka bumi dari satu oase ke oase lainnya hingga menemukan surga tempat kita akan berhenti untuk terakhir kalinya.
Bandung, 29 Oktober 2021