Relasi Keluarga dan Psikodrama

Iip Fariha
3 min readDec 14, 2021

--

#ngobrolasyikpsikodrama

Photo by Noorulabdeen Ahmad on Unsplash

Virginia Satir seorang terapis keluarga, dikenal sebagai guru dan dinobatkan sebagai “Mother of Family Therapy”. Salah satu teknik psikoterapinya adalah psikodrama. Beliau belajar dari Moreno bagaimana memanfaatkan teknik psikodrama dalam membantu keluarga. Terutama membangun harga diri yang positif, relasi dan komunikasi yang koheren antara suami dan istri. Psikodrama tidak sekedar bermain peran atau role play tentang hal-hal tertentu yang ingin dipelajari. Kita mengetahui bahwa proses belajar terbaik adalah mengalaminya.

Psikodrama juga menyelami dan membentuk empati yang mendalam terhadap pasangan sehingga apa yang tak terkatakan dengan mudah diserap baik oleh pengalaman ketubuhan_pengalaman fisik seperti sentuhan, tatapan, penciuman dan pendengaran_ bahkan tentang rasa yang sulit dibahasakan.

Walaupun dalam kondisi terbatas karena kita masih work from home, aktivitas melalui jejaring dan layar visual di ruang virtual, saya memodifikasi semua pendekatan psikodrama secara online.

Kali ini kita bicara tentang keluarga. Saya tak perlu membicarakan bagaimana tekniknya, namun mari kita belajar menghayati apa yang dirasakan salah satu peserta saat mengikuti sesi ini.

##

Tema psikodrama kali ini adalah tentang keluarga. Keluarga yang saya bahas disini adalah keluarga pertama saya yaitu ayah, ibu, dan adik-adik saya.

Jujur saja, menurut saya keluarga saya ini bukanlah tipikal keluarga yang hangat dan penuh afeksi. Hal ini juga yang menjadi alasan saya memberikan skor 7 (tujuh) ketika Teh Iip meminta kami memberikan skala 1–10 terhadap kenyamanan kami di dalam keluarga.

Entah karena faktor budaya (kami berasal dari Sumatra), entah pengaruh jumlah anggota keluarga yang sangat besar (alm.ayah terdiri atas 10 bersaudara, sedangkan ibu memiliki 13 bersaudara), baik almarhumayah maupun ibu cenderung minim dalam mengekspresikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Relasi dengan anak lebih didominasi oleh kritik, nasehat, judging, dan superioritas orang tua. Bila ayah sudah mengeluarkan perintah, hampir mustahil kami bisa mendiskusikan apalagi menolaknya. Titahnya harus dilaksanakan hehe.

Teh Iip lalu menampilkan gambar ruang makan dan gambar rumah. Bagi saya, warna merah bunga mawar terlihat mencolok ditengah-tengah ruang makan yang bergaya vintage itu. Saya juga memilih kamar tidur sebagai tempat ternyaman saya jika menjadi sebuah rumah. Filosofinya menurut saya karena kamar adalah tempat rahasia kita. Tempat dimana kita tampil apa adanya, tanpa topeng apapun. Tempat dimana kita bebas menampilkan sisi terbaik dan sisi terburuk kita kapan saja kita mau.

Melalui pemaparan Teh Iip, saya menyadari bahwa sedingin-dinginnya keluarga saya, keluarga selalu adalah tempat dan pilihan pertama saya untuk pulang. Bahwa bagaimanapun situasi dan kondisi saya, keluargalah yang tetap menerima saya apa adanya tanpa embel-embel dan prasyarat apapun. Satu hal lagi yang saya sadari, meski almarhum ayah, ibu, dan adik-adik saya hampir tidak pernah mengekspresikan rasa sayangnya secara visual, akan tetapi mereka selalu berada di garda terdepan ketika saya berada dalam kesulitan. Orang pertama yang turun gunung selalu adalah keluarga saya, bukan orang lain.

Ya, masing-masing orang punya cara tersendiri dalam mengekspresikan rasa sayangnya. Kebetulan keluarga saya bukanlah tipe yang ekspresif secara emosi. Akan tetapi kasih sayangnya tidak perlu diragukan lagi.

Ah, saya jadi rindu ibu dan almarhum ayah saya.

Alfatihah untuk beliau.

TW

Jakarta, 12/12/2021, 21:20 WIB

##

Tidak semua orang memiliki penghayatan yang sama saat mengikuti psikodrama, baik secara langsung maupun online. Saya sendiri selalu saja menemukan pengalaman berharga dan suatu insight baru yang mencengangkan dari kegiatan sharing peserta. Penghayatan dan kesadaran baru tentang posisi dan peran individu dalam kehidupannya merupakan hal yang paling sulit digali.

Namun dengan teknik sederhana pada pendekatan psikodrama, kita mengalami proses ini dengan cepat. Ketika pengalaman ini dituliskan, maka penghayatan ini menjadi semakin disadari dan seringkali memunculkan kesadaran lainnya, saat itulah proses reflektif berlangsung.

Psikodrama sering pula tidak berakhir saat sesi selesai. Terkadang individu menemukan hal-hal baru dalam proses pertumbuhan pribadi dengan mulai merasakan adanya penerimaan terhadap dirinya sendiri dan penghayatannya pada lingkungan melalui cara pandang baru yang lebih baik.

Selamat bertumbuh TW, semoga tulisanmu menginspirasi banyak orang lain.

Bandung, 14 Desember 2021

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet