Ramadhanku bersama covid-19

Iip Fariha
6 min readMay 18, 2020

Ramadhan ini takkan terlupakan, walau tak ada ketupat, baju lebaran ataupun nastar kesukaan. tak juga tiket mudik atau oleh-oleh untuk keponakan.

Ramadhan tahun ini memang begitu istimewa. Hampir dua bulan ini phisical distancing sampai menjalani Ramadhan “di rumah saja” pelan-pelan telah membakar segala kenangan lama. Secara bahasa (arab), Ramadhan artinya membakar. Memang ada yang hangus dalam tradisi lama kita, tradisi yang sudah menjadi budaya beragama di negri yang hiruk pikuk ini. Kita telah dipaksa beradaptasi dan membentuk pola baru menjalani kehidupan. Ada istilah baru untuk kondisi saat ini, the new normal. Semuanya tidak lagi sama, kita mulai menerima suasana abnormal ini menjadi norma baru yang wajar adanya. Ada banyak hal yang terpaksa ditinggalkan, ada yang terpaksa harus dilakukan, meskipun mungkin kelak kita akan melihat titik terang kebaikan dari perubahan ini.

Yang paling terasa berubah saat ramadhan adalah, sepinya jalanan, sunyinya masjid, ruang majlis taklim tertutup, kunjungan silaturahim tuk teraweh bersama keluarga tak ada lagi. Semua pindah ke ruang virtual dan jaringan online. Pintu restoran tempat berbuka bersama dan kongkow bersama sahabat dan keluarga bahkan tak bersedia menerima cash berlimpah, padahal biasanya mereka bersuka cita saat panen bisnis tahunan. Banyak tempat di tutup, dengan alasan tidak relevan untuk di datangi, sekolah, kantor, mall, apalagi tempat wisata dan acara entertaint. Tidak ada lagi keseruan dan kerumunan di sore hari saat waktu berburu kolak dan es kelapa untuk berbuka hari itu. Biasanya ada pasar khusus ramadhan, jejeran penjual jajanan pasar, bazar kuliner khas ramadhan, bazar segala keperluan ramadhan dan berbagai pernik menyambut lebaran. Setidaknya itu yang kuingat dalam usiaku melewati setiap tahun tradisi ramadhan, dan kini semuanya berbeda.

Apa yang sebenarnya harus terbakar di bulan Ramadhan ini? Mungkin ini hanya perenunganku yang sungguh subjektif, sehingga tidak perlu menjadi kebenaran ataupun rujukan. Apalagi dikaitkan dengan tafsir kitab suci ataupun maksud titah Tuhan. Bagiku, kehadiran covid-19 menyertai ramadhan ini mengirimkan pesan kematian begitu dekat dari biasanya. Mengingat kematian adalah salah satu sifat orang shaleh dan paling cerdas secara spiritual. Hal ini terjadi bila kematian kita pandang sebagai pesan tentang kemana kita akan pulang setelah menjalani hidup di dunia. Mengingat mati itu baik, dalam konteks mempersiapkan bekal untuk perjalanan panjang kelak. Ketika 1 hari di akherat sama dengan 1000 tahun di dunia, maka umur hanya 50 tahun ini tak ada artinya. Jika kita menjalani setengahnya saja dalam kebaikan, belum tentulah cukup bekal menimbangnya sebagai bukti kelayakan menerima tiket ke syurga-Nya. Andai bukan karena ke-Maha Pemurahan-Nya, tentu tak ada yang sanggup menimbang amal. Ramadhan sering menjadi masa musim panen untuk beramal, saat semua pahala dilipatgandakan, dan manusia berjuang untuk membersihkan diri dari segala noda yang terlanjur mengkarat dalam satu tahun ke tahun, ketika manusia berjuang mendapat ampunan dan ridho-Nya.

Ramadhan memang menjadi istimewa, saat ditetapkan menjadi bulan pelatihan dan alquran turun di bulan ini. Kebahagian menyambut ramadhan bak tamu agung terasa di masjid-masjid dan di ruang publik. Kini kebahagian kita justru saat terpaksa menyingkir dan menutup pintu lalu berjarak dengan orang lain karena tanggung jawab dan cinta. Tidak pergi ke tempat yang memang tidak darurat perlu didatangi. Maknanya bagiku, seakan Tuhan ingin agar setiap insan benar-benar berada di dalam guanya sendiri, merenung meresapi setiap ayat yang dibaca dalam tadarus harian. Mengingat ayat-demi ayat yang mulai hilang dari memori karena luruh oleh dosa dan lalai akan dunia di luar sana.

Seakan, rutinitas selama ini perlu dikaji ulang, seolah tak sekedar bangun tidur di pagi hari dan membuat jurnal syukur ketika menyeruput teh atau kopi panas dan menyantap makanan sahur, tetapi juga tentang rasa bangkit dari kubur sesaat ketika kita sadar betapa banyak orang yang meninggal lebih cepat segera setelah terinfeksi covid-19, hanya dalam hitungan beberapa hari ini. Namun kita hidup dengan kesempatan kedua agar kita belajar dan sempat melakukan perbaikan.

Data kematian sudah menembus angka 8000 lebih korban, saudara sebangsa kita gugur sampai akhir April 2020 ini. Tentu saja kematian akan menjemput tepat waktu sebagaimana titah Tuhan pada Izrail yang tidak pernah memundurkan atau memajukan janjinya untuk datang, di manapun kita berada. Namun seakan tahun ini kita hanya tahu bahwa covid-19 lah yang menjemput ajal itu. Betapa dekat kematian, betapa jauh rasanya masa yang kita tinggalkan dalam kelalaian usia yang telah dititipkan selama ini. Lalu walau berat, tidakkan kita pantas mengatakan,“Terima kasih covid-19, kau telah menjadi alarm kehidupan atas kematian jiwa kami yang lalai!”.

Seakan kita baru ingat, Ramadhan memang waktunya membakar dosa-dosa kita di masa lalu dan merajut hubungan mesra kembali dengan Tuhan, diam-diam saat sepertiga malam hanya antara diriku dan diri-Nya saja. “Duhai Ramadhanku. Akankan aku mampu menghapus kelalaian dan alpa selama ini hanya dalam 10 malam berkhalwat atau dengan sebab empat atau enam bulan kami mengisolasi diri demi terbebas dari penyebaran covid-19?. Sedangkan ashabul kahfi perlu 400 tahun lamanya bersabar demi menghapuskan jejak kedzaliman negeri mereka dan bersunyi menyelamatkan aqidah mereka. Ya Tuhanku, berilah kami rahmat dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus dalam urusan kami (Alkahfi ayat 10)”.

Ramadhan tahun 1441 H ini memang ajaib, saya tidak tertarik pada cocokologi angka-angka. Namun angka 1441 ini sangatlah familiar secara visual, itulah doa Ibrahim as (QS 14;41), “Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ayah bundaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (kiamat)”. Apalagi yang kita khawatirkan saat kita terisolasi bersama keluarga? Adalah Ayah dan Bunda yang juga terpaksa tak bisa kita peluk, dan berjuang dalam kebosanan dan kebingungan ramadhan yang begitu asing. Di saat biasanya anak dan cucu bersuka cita mengacaukan rumah mereka setiap tahun. Saat kita anak-anaknya selalu mudik, berbagi kamar, berkumpul, memakai seragam dan makan ketupat bersama. Sungguh kesedihan mereka adalah karena tanggung jawab kita dengan maksud menjaganya dari terpapar virus mematikan ini. Terlalu dalam rasa ini, sekedar soal tidak pulang kampung dan cukup bersabar dengan mudik online.

Terlalu sederhana bila urusan mudik sekedar berbagi ketupat dan pamer baju baru pada tetangga. Ada banyak kerabat jauh yang memang hanya bisa bertemu saat kita pulang kampung dan selalu berjanji untuk bertemu pada waktu dan tempat yang telah kita sepakati setiap tahun. Namun juga secara ajaib, kutemukan penghiburan dari angka yang terang benderang ini. Agar selayaknya kita bisa bersatu dan menjadi keluarga selamanya di kampung akherat dengan kesempurnaan ruhiyah yang abadi di sisi-Nya.

“Duh Ramadhan, dapatkah kurasakan pesan lailatul qodarmu dalam keseimbangan khauf dan roja pada-Nya?. Sekiranya dengan alasan ini, Kau-utus covid-19 saat nilai 1 bulan ini lebih dari dari 1000 bulan ini, saat setiap hitungan amalan menjadi penghapus dosa kami, saat semuanya menjadi pembebasan, kubersimpuh pada-Mu, karena ketupat dan baju baru saat mudik tak ada harganya sama sekali”.

Virus ini mungkin tidak akan mati, sedangkan semua aspek kehidupan selanjutnya tentu harus terus berubah. Setidaknya dalam dua tahun kedepan, sejak virus ini berkeliaran diantara kita. Ada banyak kecemasan menjemput segala hal yang tak bisa kita kenali arah dan tujuannya. Akan ada banyak pola relasi yang berubah, orientasi bisnis yang berbeda, prioritas hidup yang bergeser, dan banyak hal lainnya. Namun juga akan ditemukan teramat banyak hikmah yang dapat kita tuliskan. Walaupun sebagian kita perlu tertatih dan merangkak perlahan untuk dapat mengikuti perubahan jaman yang tidak pasti ini.

Ada satu kepastian yang tak bisa dibantah. Bahwa semua hal yang terjadi dari a sampai z ini telah tertulis dalam pengetahuan Tuhan yang memiliki skenario terbaik.

“Dengan nama-Mu wahai Tuhanku, sungguh tak ada yang terjadi di muka bumi, ataupun di langit ini kecuali semuanya Kau-ketahui. Sedangkan Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”.

Sedangkan di sudut mushola, yang kini dimiliki setiap rumah, Dia mendengar keluhan dan rintihan kita. Sedangkan kita tak berhenti bertanya dan mengadu. Sedangkan kita tak tahu apa yang perlu dan layak kita persembahkan pada-Nya. Waktu terasa teramat sempit. Andaikan Ramadhan terjadi sepanjang tahun, dan kemesraan ini tidak pernah berakhir. Semua kematian saudara-saudara kita tidak lagi sia-sia, sekiranya mereka dalam kesyahidan. Sungguh mereka senantiasa akan hidup dan tetap bahagia berada di sisiNya. Maka tak ada yang perlu kita takutkan dalam kehidupan yang mulia atau kematian yang diridhoi-Nya. Karena semua takdir kita ada dalam genggaman-Nya.

“Ya Rabb, semuanya dalam kehendak-Mu. Sekiranya Kau ijinkan covid-19 ini berlalu dari kami, sebaliknya ijinkan spirit serta pengajaran ramadhan ini terus hidup di hati kami selamanya”.

Bandung, 25 Ramadhan 1441 H

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet