Play & Player
Permainan umumnya diminati karena menyenangkan, namun teknologi dan kreativitas membawa kita pada perubahan yang pesat dan penuh tantangan. Apakah game membuat adiksi atau ambisi?
Salah satu isu yang saat ini malah semakin chaos adalah penggunakan gawai di usia muda. Sejak pandemi, anak usia 2 tahun sudah dibekali benda ini untuk melakukan aktivitas rutin. Belajar, bermain, bersosialisasi, berkomunikasi dilakukan dengan media gawai. Tak perlu dikatakan lagi tentang gawai yang selalu setia berada di genggaman orang dewasa. Bahkan orang dewasa berolah raga hanya cukup dengan memencet tombol gawai. Ya. kita mengenal dalam bahasa inggris “play” berarti bermain, tapi “player” bermakna pemain “olah raga” virtual. Lagi-lagi dunia baru telah tiba. Kecanggihan dan fungsi gawai yang berkembang terus menerus, “ Sampai kapan?, mungkin sampai manusia berhenti berkreatifitas alias mati”.
Dulu kita mengenal “game” sebagai permainan virtual melalui gawai dan isu game addiction yang umumnya pada remaja kita kenal sebagai “gamer”. Namun saat ini, game bukan lagi sekedar permainan, game online bergerak dari free to playhingga play to earn. Ada ekosistem yang terbangun dalam sistem game. Saat ini hampir semua game diciptakan khusus dalam bentuk aplikasi yang semakin meluas bukan hanya bisa diakses di gawai dengan layar kecil, tapi pada pengguna alat lain, komputer, tablet, laptop dan dapat tersambung pada TV smart. wow, makin canggih dan dipermudah.
Aplikasi game ini telah menciptakan sistem sosial bagi para gamer-nya. Sejak game ini diluncurkan, ada karakter yang dibentuk, role model yang ditawarkan pada audien yang kelak menjadi player yang tergabung dalam komunitas game tersebut. Game ini juga menawarkan suatu sistem sosial virtual lengkap dengan aturan, relasi antar anggota, pola komunikasi dan perilaku yang terbentuk dalam pergaulan pada komunitas player. Game pada mulanya bertujuan untuk kesenangan, tetapi pemainan bagi anak-anak kecil merupakan media belajar, mengembangkan bahasa, bersosialisasi dan melatih kemampuan kognitif. Pada perkembangan selanjutnya, aspek entertain berubah menjadi hobi atau aktifitas di waktu luang, lalu semakin banyak orang menjadikan game sebagai minat utama dan akhirnya game dewasa berubah menjadi pekerjaan yaitu sebagai game player.
Sebagai sebuah “masyarakat”, maka bahasa yang khaspun terbentuk. Ada banyak peranan dan minat pemain yang ditampung sebagai aspirasi, mendongkrak pertumbuhan industri. Akses untuk mendapatkan aplikasi game, dukungan sistem jaringan, budaya dan aturan keluarga mungkin juga memberikan peluang minat ini menjadi pilihan aktivitas yang lebih serius. Dari sisi permainan, para peminat game atau player mereka juga belajar mengikuti aturan dalam game, terlibat dalam karakter yang ingin didukung, dan terbentuk dalam lingkungan sosial masayarakat para game player.
Permainan sejatinya hanyalah sebagai alternatif minat dari kegiatan lain dalam kehidupan kita. Namun fenomena dari game (permainan) menuju ke sport (olahraga), juga bergerak dari nyata ke virtual, dan kini kita sudah melihat fenomena ini sebagai masyarakat virtual tersendiri.
Selain karakter permainan sebagai olahraga, game juga berubah dari kesenangan menjadi profesi atau pekerjaan, game player to profesional player. Permainan di gadget yang dulu diributkkan sebagai biang kerok adiksi gadget kini menjadi incaran anak-anak muda yang menyukai tantangan dan kompetisi. Ketika orientasi kesenangan tidak lagi mencukupi, ada tuntutan status sosial, nilai ekonomis dan bahkan harga diri mulai dipertaruhkan. Tak kurang kompetisi e-sport di Indonesia mendapatkan dukungan dan apresiasi seorang presiden. WOW.. makin terbelalak mata kita dengan perkembangan ini.
Istilah player, -saya belum tahu padanan bahasa indonesianya-, mengacu pada para pemain e-sport memang bukan entertain biasa. Saya mencoba mencari tahu sepintas saja dan cukup memahami bagaimana aktivitas ini mengandung variasi tantangan psikologisnya. Orang-orang yang melakukannya tidak akan pernah cukup memiliki keahlian secara teknis saja, tetapi juga seperti pada aktivitas kompetisi yang menantang emosi pemain. Kondisi mental dapat dipertaruhkan, mulai dari semangat, motivasi, pikiran yang waras hingga kemampuan mengelola emosi takut,cemas, kecewa frustrasi dan bahagia yang tak kan bisa kita pastikan jelang akhir dari sebuah pertandingan.
Dari awal kemunculanya, gawai dan kini game onlien lalu e-sport merupakan sebuah industri, teknologi, sekaligus tetap memiliki unsur entertain, ekonomi, sampai aktivitas judi.
Sekedar memahami bahwa kemanapun arah dunia ini bergerak, tanggung jawab pendidikan, pengasuhan dan keluarga akan tetap kembali pada kemampuan kita untuk menjadi aktor dan pengambil keputusan terhadap pilihan kita sendiri. Tidak ada yang salah dengan teknologi dan kreativitas. Dunia entertain, hobi ataupun sekedar media sosial dan aplikasi akan selalu berdampingan dengan kepentingan industri dan ekonomi dimana manusia digerakan untuk mencapai kepuasan, rasa sejahtera dan prestasi hidup. Dilain pihak mungkin ada juga pelaku yang terjebak dalam penemuan jati diri, penghindaran diri dari ketidakpuasan hidup atau perilaku maladaptive lainnya.
Sasaran khusus permainan atau e-sport, sebagai contoh, memang didesain bagi anak-anak remaja. Masa usia kritis remaja khususnya anak-anak laki-laki dengan ciri agresifitas, meningkatkan adrenalin, keingingan untuk menunjukkan kemandirian, juga disiplin diri. Tema merasa feel of competence tentu menjadi elemen pertumbuhan harga diri mereka yang positif untuk perkembangan selanjutnya sebagai manusia dewasa. Bila dalam fase ini gagal, mereka akan mengalami masalah pada tugas perkembangan dewasa selanjutnya.
Game bukan hanya menyimpan peluang isu adiksi tapi juga soal pilihan dan gaya berelasi dan mengisi hobi atau minat. Cara pandang ini perlu diperinci dengan melihat kasus dan konteks pada anak yang bersangkutan, untuk menyingkirkan dugaan tanpa tanda-tanda gangguan penyesuaian diri anak dalam lingkungan sosialnya.
Bagi remaja sendiri, isu yang tetap harus dijaga adalah, bagaimana mereka terbuka wawasannya dan memiliki kesempatan untuk membangun komunikasi yang sehat dengan orangtuanya. Mereka mendapatkan kesempatan untuk mengerti aturan dan batasan-batasan dalam berprilaku secara realistis, adil dan dipahami akal sehat mereka. Mereka juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan diri mereka sendiri setelah diajarkan apa yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, dan diterima sebagai pribadi yang mandiri. Dan lebih penting lagi, selain soal kompetensi yang mereka kembangkan, mereka perlu belajar mengelola emosi mereka dengan tepat. Pada area ini, orang tua menjadi model sekaligus partner utama meningkatkan kecerdasan emosi mereka.
Tidak perlu secara membabi buta menyalahkan teknologi, medsos, gadget atau dunia pendidikan. Mari berkaca dulu pada cermin ruang keluarga kita sendiri, seberapa sering kita memiliki prime time bermain bersama anak-anak sejak mereka belajar melangkah.
Sehingga saat mereka mampu berlari, mereka tahu pilihan permainan apa yang mereka mainkan. Apakah mereka bermain (just play game) atau seorang player atau gamer profesional, mungkin kita perlu bijak mensikapinya. Apakah itu minat, hobi, entertain, profesi atau adiksi.
Bandung, 16 November 2021