Perkawinan Antar Budaya, Mungkinkan?
Sebuah Resensi Buku Novel: Hujan Bulan Juni, SDD
Judul buku : Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia Pustaka Umum
Jenis : Novel
Genre : Romantis
Terbit : Juni 2015
Halaman : 135
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Eyang SDD sudah meninggal pada bulan Juli 2020, tetapi seperti pesan dalam puisinya kita terus mencarinya. Saat ini novel yang berawal dari puisi Hujan Bulan Juni telah diterbitkan ulang untuk ke duapuluh satu kalinya pada bulan juni 2021.
Tentu sudah banyak orang membaca dan membuat resensi atau sinopsisnya. Hal menarik untuk saya terkait romantisme relasi orang dewasa pada fase premarital dengan latar belakang budaya, agama, dan ras yang cukup komplek tetapi realistis. Selain itu konflik peran serta dinamika psikologis yang sangat intens, dikemas dalam bentuk dialog batin yang hening, terstruktur, dan terkendali.
Novel ini berkisah tentang cinta Sarwono dan Pingkan. Kisah yang tertulis di dalamnya boleh disebut sebagai interpretasi romantis dari puisi Hujan Bulan Juni dengan tetap mempertahankan gaya bahasa puitik. Penggunaan kalimat dan bahasa sehari-hari yang sederhana namun kaya akan diksi, mengekspresikan karakter dan kredibilitas penulisnya. Cover bukunya sangat keren, dengan kesan seolah ada titik air hujan yang menetes pada tulisan. Selain itu pilihan warna abu memberi kesan lusuh menguatkan karakter zadul tetapi penting. Untuk menegaskan bahwa buku ini merupakan serial novel dari puisi Hujan Bulan Juni, tampak dari tulisan kata novel dan nama penulis dengan menggunakan bentuk dan ukuran hurup yang sangat mudah dibaca.
Penulisnya juga membuka wawasan baru pada pembaca tentang kompleksitas budaya dalam cara pandang yang logis akademis melalui mata seorang tokoh dosen Antropologi Sarwono. Pergulatan batin seorang Sarwono, orang jawa, religius dan kekasihnya seorang dosen Bahasa Jepang, Pingkan gadis campuran manado -jawa.
Melalui kisah romantis mereka, pembaca mendapatkan extra topping tentang wawasan kebudayaan. Kita tak akan merasa digurui tetapi justru tergoda untuk ikut merenungkan dan mungkin termotivasi melanjutkan riset antropologi budaya yang dilakukan oleh tokoh Sarwono. Cara penyajian novel ini membuat kita lekat terlibat pada sudut pandang ketokohan kedua pemeran utamanya. Sebagai seorang antropolog dan juga sastrawan, tokoh Sarwono membawa kita menyadari betapa kayanya budaya bangsa Indonesia. Ia menuntun kita untuk memiliki pemahaman yang lebih luas dan sikap yang lebih bijak dalam menanggapi isu-isu kebangsaan sampai isu pernikahan antar suku dan agama yang nyata terjadi di negeri ini.
Dalam kajian sosiologi, kita mengenal istilah amalgamasi. Amalgamasi adalah proses pembauran biologis antara dua kelompok manusia yang masing-masing memiliki ciri fisik berbeda, sehingga keduanya menjadi satu rumpun. Amalgamasi terjadi lewat perkawinan antar ras atau antar suku (Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2015). Perkawinan antar suku bangsa yang berbeda sudah terjadi sejak lama. Hal ini juga lumrah dan memiliki peluang besar terjadi di Indonesia. Pernikahan campuran dapat mengurangi konflik antar suku dan pertukaran budaya yang sangat intens sebagai asimilasi budaya. Namun, perpaduan budaya juga dapat saja memancing konflik karena perbedaan karakter atau justru mengakibatkan pudarnya budaya asli.
Selain isu perkawinan antar suku bangsa, pada novel ini kita juga dapat menemukan isu pendidikan. Seorang Pingkan yang digambarkan sebagai dosen bahasa jepang yang antusias belajar ke luar negeri juga mengatur mahasiswa pertukaran. Saat ini, salah satu efek globalisasi tampak dari terbukanya relasi akademik dan tranfer budaya pendidikan. Melalui peran Pingkan, posisi dan standar pendidikan perguruan tinggi negeri kita sedang dipersandingkan dengan negara-negara tetangga melalui kerjasama antar perguruan tinggi atau pertukaran pelajarnya.
Romantisme Sarwono dan Pingkan tidak terlalu jorok untuk dibaca oleh kalangan dewasa muda, tetapi perlu kematangan berpikir dalam memilah sisi normatif dan cara pandang atau belief system yang mungkin akan sangat berbeda pada setiap orang. Perjalanan cinta mereka memang lekat dengan isu perbedaan agama, sistem budaya dan perpaduan antara dunia yang makin terbuka dengan kekuatan dan keteguhan pada tradisi dan akar budaya bangsa. Namun juga menarik untuk mempertimbangkan dialog batin keduanya yang hening, bersusun silang menyilang, penuh konflik yang ditenun dengan sabar dalam kesunyian dan ketabahan. Penghayatan yang dalam tentang hubungan pelik antara laki-laki dan perempuan dan dalam ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin, seperti tertulis di cover halaman belakang buku ini, seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri.
Secara psikologis, konflik batin tidak mudah dikelola, namun dalam novel ini tampak struktur berpikir para tokoh disajikan dalam selftalk yang hening. Kita dapat merasakan gambaran psikologis betapa tabahnya hujan di bulan juni ini. Begitu banyak rahasia dan jejak kaki yang mungkin ingin disembunyikan sehingga SDD bahkan menyisakan misteri di akhir novel ini. Apakah konfliknya diputuskan dengan kematian tokoh Sarwono atau membiarkan pembaca mengeksplorasi pikirannya sendiri. Pembaca dapat melanjutkan imajinasi romantis, konflik batinnya masing-masing lalu membuat keputusan secara arif.
Tentu saja perlu kearifan dan kedewasaan dalam membaca novel dewasa, terkadang nilai-nilai bisa berseberangan namun semua pergumulan itu nyata dalam diri kita, dalam relasi pergaulan anak bangsa dalam sejarah kita sebagai manusia. Selamat menyerap inti sari dari hujan bulan juni ini. Eyang SDD memang arif, dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan agar diserap akar pohon bunga itu.
Saya memberi skor 8 dari 10, dan merekomendaikan novel ini untuk kalangan dewasa muda yang siap berpikir terbuka dan bijaksana.
Bandung, 1 November 2021