Pengingat Mati itu Bernama Covid

Iip Fariha
4 min readJun 25, 2021

--

Photo by Alexander Tsang on Unsplash

Kehidupan yang kita jalani adalah misteri. Kita tak pernah tahu persisnya apa itu hidup dan apa itu yang dikatakan mati. Setiap hari ada manusia baru yang dilahirkan dan ada manusia lain yang dinyatakan mati. Saking biasanya kita tak lagi terlalu kaget atas dua hal kejadian besar ini. Umumnya, bila ada yang meninggal, selain mendoakannya, kita hanya bertanya,”apakah ia sakit sebelumnya?”

Penyebab kematian secara biologis yang dinyatakan secara medis banyak sekali faktornya. Bagi orang yang sudah tua, mungkin karena memang proses penuaan yang alami dan ketidakmampuan tubuh untuk menopang fungsi-fungsi yang disebut sebagai tugas biologis kehidupan. Barangkali ada orang yang terkena stroke lalu kolaps dan meninggal seketika. Ada juga yang terkena serangan jantung, kecelakaan tiba-tiba lalu mati, begitu saja. Sebagian ada yang perlu sakit kronis menahun dan menghadapi berbagai penderitaan sebelum akhirnya mati juga. Mati seharusnya kita sebut meninggalkan dunia yang fana, karena kita menyakini bahwa kita tidak sekedar mati dan hilang begitu saja.

Bagi kita yang berkeyakinan ada kehidupan setelah kematian, kematian hanyalah pintu masuk ke dalam kehidupan lain yang kita tak pernah tahu persisnya. Namun kita umumnya merasa takut karena ketidakpastian tersebut.

Adapun orang yang cerdas dikatakan selalu memperhatikan apa yang akan dihadapinya kemudian. Kehidupan selanjutnya setelah kematian adalah keniscayaan yang perlu dipersiapkan. Karena itu mengingat kematian menjadi titik tolak sebuah sikap cerdas. Namun tentu saja tidak akan menjadi cerdas, bila diiringi dengan kecemasan dan ketakutan berlebih. Demikian juga bagi yang lalai, lupa dan menghindari mengingat mati dengan mengabaikan semua tanda-tanda dan tidak memperhatikan apa yang akan dibawanya saat setelah mati.

Membicarakan hal inipun seringkali menjadi suatu tabu, kecuali sejak Covid datang melanda bumi. Semua orang membicarakan dan menyampaikan kabar tentang kematian baik seseorang yang dikenalnya maupun tidak. Kematian menjadi terasa lebih dekat dan semakin biasa. Apakah ini pertanda kita semakin cerdas dan waspada dengan persiapan menghadapinya?

Tampaknya belum menjamin akan adanya kesiapan dan kerelaan bila Ijroil Sang Malakal maut menjemput diri sendiri.

Nabi Yakub as konon meminta pada ijroil agar dia memberi tanda kapan dia akan meninggal dunia. Ijroilpun menyanggupi untuk selalu memberikan tanda bahwa ajal Ya’kub as akan segera tiba. Berpuluh tahun berlalu, hingga suatu hari saat waktunya ajal datang menjemput, Nabi Yakub protes kepada Ijroil, karena telah lupa mengabari tanda-tandanya.

Ijroilpun mengatakan bahwa ia sering datang menjenguknya dan memberikan tanda mata agar Ya’kub as mengingat kematian. “Bukankah setiap hari aku datang padamu, bahkan aku sudah memberi tanda pada rambutmu yang memutih, itulah ubanmu bertambah setiap hari”.

Kisah lain, saya mendengar ini dari kuliah Gus Baha. Alkisah Nabi yang bergelar kekasih Allah Ibrohim as tidak siap menghadapi maut.

Nabi Ibrohim as telah protes ketika suatu hari didatangi Ijroil yang akan mencabut nyawanya. “Bagaimana mungkin seorang malaikat, hamba Allah lainnya, berani mencabut nyawa kekasih Allah?”

Konon, Ijroilpun bingung dan kembali ke Arasy untuk melaporkan perkara rumit ini pada Allah SWT.

Allah mengajarkan Ijroil agar menjawab Nabi Ibrohim as dengan kalimat begini, “Tidakkah kekasih Allah rindu pada Kekasihnya, saat dia memanggilnya tentu ia akan suka cita datang padaNya? “ Maka Ibrohim as pun senang hati meninggalkan dunia yg fana ini.

Apakah kita akan siap saat Ijroil menjemput kita. Alih-alih kita melarikan diri, justru berlatih mengucapkan salam penghormatan pada hamba Allah yang akan mengantarkan pada kehidupan kita yang lain. Seperti dalam tulisan Komaruddin Hidayat, marilah kita, setiap selesai shalat mengucapkan salam kepada Malaikat yang ada di sebelah kanan dan kiri kita juga kepada malaikat Ijroil yang juga datang mengunjungi kita setiap saat.

Sepertinya kita akan tetap masih merasa akan ketakutan, bahkan ketika kita baru didatangi oleh Corona yang seringkali menjadi kambing hitam dari kematian manusia saat pandemi ini. Ya, kita takut karena kita tak siap dan selalu merasa tak siap. Mungkin karena kita mencintai dunia ini lebih dari cinta kita pada Allah. Maka kita tak pernah bisa merasakan bahwa kembali pada Allah sebagai sesuatu yang membahagiakan. Umumnya orang-orang yang kita tinggalkanpun akan menangisi dan menyesali kepergian kita. Mungkin karena kita tak selalu sesuai dengan harapan mereka, masih meninggalkan tanggung jawab urusan dunia yang membuat orang lain terkena masalah ataupun karena kurangnya kebaikan kita yang membuat kematian menjadi awal dari sebuah malapetaka.

Dalam kisah lain, Nabi Sulaeman as. telah membantu seorang kawannya menghindari Sang Maut. Suatu hari Ijroil mengunjungi Nabi Allah, dan merasa heran bertemu calon mayit sedang duduk bersama Sulaeman as di istananya di Palestina. Sang Nabi mengabarkan pada kawannya bahwa dialah Ijroil yang akan segera menjemputnya. Dengan penuh ketakutan, kawannya tersebut meminta bantuan Sang Nabi untuk mengirimnya ke tempat yang sangat jauh. Dengan kekuatan angin yg dikendalikan Nabi Sulaeman, sang kawan pergi menjauh dlm sekejap dan tibalah di negeri India.

Pada saat dia mendarat di suatu tempat adalah saat yang sama ketika Ijroil datang. Ijroil kembali merasa heran, karena sang hamba telah datang tepat waktu di tempat dimana seharusnya dia wafat.

Kematian. Kemana kita akan berlari darinya? Kematian sering digambarkan sebagai hal yang menyakitkan, menakutkan. Kita lupa, bahwa ada banyak kematian yang indah dan membahagiakan.

Tidakkah indah bila kematian menjadi akhir dari keburukan kita dan awal perjumpaan dengan kekasih hati.Kata-kata ini kembali saya dapatkan dari kuliah Gus Baha dan yang selalu saya ingat sejak pandemi ini.

Sejak pandemi ini, kita semua telah diingatkan lebih intens tentang kematian. Covid-19 bukanlah penyebab kematian. Covid hanyalah seorang hamba yang diutus sebagai agen pengingat.

Barangkali saat ini uban sudah sering tertutup cat rambut, keranda mayat dan mobil jenazah hanyalah objek biasa yang setiap hari kita lihat. Tidak ada yang mau mengingat kematian semakin dekat. Barangkali Allah mengutus Covid sebagai mitra Ijroil yang lebih efektif untuk jaman sekarang.

Namun sayangnya kita sering lebih takut terhadap covid, daripada Ijroil yang pasti akan menjemput tepat di tempat dan waktu yang telah ditentukan.

Wallahu a’lamu bishawab.

Bandung, 25 Juni 2021

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet