Pecel Madiun,

Iip Fariha
5 min readFeb 22, 2022

--

Kisah diatas Meja Makan

#serialpernikahan

koleksi pribadi

Ada kisah dibalik penyajian sebuah makanan. Ini bukan soal kuliner, tempat makan, makanan enak dan menarik, atau tentang jalan-jalan sambil menikmati makanan khas daerah atau tempat destinasi piknik. Ini tentang bagaimana sebuah keluarga dan relasi terbentuk dibalik makanan di atas meja. Ada kisah tentang sebuah keluarga dan relasi suami istri yang menjadi aktor saat “upacara makan”. Salah satu gambaran keharmonisan keluarga serta konflik yang menyertainya sering terlihat dalam adegan di meja makan. Gambaran keluarga dapat diwakili dalam pola dialog atau kebiasaan saat makan.

Ketika kita ingin mengenal keluarga, datanglah saat makan. Saat makan adalah saat kebutuhan paling dasar manusia dipenuhi, dimana karakter asli mungkin sulit disembunyikan. Ruang makan adalah salah satu ruang privat keluarga. Ruang makan menyimpan segudang emosi dan kisah tentang perjalanan sebuah keluarga. Itulah sebabnya, kita perlu ijin untuk ikut makan bersama, perlu menunggu saat diundang makan. Selain hal itu menunjukkan kesopanan juga menghindari ketidaknyamanan keluarga yang tidak siap menjamu atau saat mereka perlu menata relasi mereka di ruang publik. Ketika makan bersama, meja makan menjadi ruang publik, sehingga perilaku ditata dan tampilan ekspresi emosi dikendalikan. Itulah sebabnya sopan santun di meja makan, table manner, dapat bermakna etiket dalam makna yang sesungguhnya.

Sinetron atau film umumnya akan memperlihatkan visualisasi keluarga ketika konflik melalui pertengkaran atau genjatan senjata di meja makan. Kerenggangan dan kedekatan melalui sunyi atau riuhnya obrolan saat makan. Saya mengerti mengapa budaya saat makan dapat mewakili relasi diantara anggota keluarga, karena budaya di meja makan itu sendiri akan memberikan gambaran relasi kuasa, pengasuhan anak serta komunikasi yang terjalin diantara anggotanya.

Bila kita ingin mengetahui budaya keluarga, dapat kita telusuri melalui jawaban atas pertanyaan “apakah keluarga biasa makan bersama, dimana, menunya apa, bagaimana situasinya, bagaimana anggota keluarga memilih kursi, apa yang terjadi saat makan, dst”. Anda boleh juga menilai calon suami atau calon menantu saat makan bersama keluarga.

Nah, ada kisah dibalik pecel madiun pagi ini.

Tadi pagi, saya berjalan-jalan menghirup oksigen sepanjang sisi lapangan golf dekat rumah. Kami pulang memutari komplek perumahan dan mengamati aktivitas ekonomi sekitar jalan utama sambil mampir belanja sayur sebelum pulang kembali ke rumah. Sebetulnya, kami sudah perlu sarapan dan sempat berdiri lama di depan warung pecel madiun untuk membuat keputusan. Setelah dialog sebentar, saya memutuskan meminta paksu untuk menemani belanja bahan sayuran, lalu 15 menit kemudian pecel madiunpun tersaji. Sarapan agak kesiangan tapi terasa nikmat sekali karena semuanya berjalan baik-baik saja. Syukurlah hari ini kita sehat dan merasa sejahtera,

Saya teringat pada satu sesi konseling ketika seorang istri baru menyadari bahwa selama lebih dari 30 tahun usia pernikahan mereka, suaminya hampir tak pernah makan bareng ataupun mencicip masakannya. “Kaget?”

Bukan karena tinggal berjauhan, alias LDR istilah jaman now, atau teramat sibuk sehingga tak ada waktu untuk makan bersama walau satu kali saja sehari atau seminggu satu kali saja saat libur. Memang suaminya selalu bekerja sangat pagi dan pulang malam hari, dengan sengaja mencari sarapan di sekitar kantor, jajan saat rehat siang hari dan pulang setelah perut kenyang. Sekali lagi, “Wow!

Yang lebih membuat wow adalah, makanan enak yang biasa disantap suami sangat jarang dinikmati keluarganya. Sang istri selama ini memasak untuk anak-anak dengan menu yang tentu saja berbeda dan tak menyadari bahwa ada banyak pesan tersimpan dalam pola relasi makan ini.

“Ada apa dengan makanan di atas meja sesederhana pecel mediun yang bisa dibeli dengan uang jajan anak SD?”

Karena makan bukan soal selera, harga, penampilan, tetapi tentang bagaimana kita menikmati makan itu bersama siapa dalam situasi bagaimana. Mungkin ada orang yang tak peduli tentang rupa makanan, yang penting kenyang. “

Namun makanan semewah dan sangat menarik sekalipun tak akan bisa dinikmati bila suasana hati kita tidak nyaman, bukan?” Memang kita akan lebih senang bila makan, dengan menu makanan yang enak dimulut, menarik dalam penyajiannya, duduk di tempat yang nyaman, pas ada rasa lapar tentunya. “Tetapi semua itu datang dari penilaian hati, bukan?”

Tak heran, bisnis kuliner menawarkan penampilan makanan, tempat makan yang menarik, suasana yang nyaman dan rileks, terkadang dikemas juga dengan nama yang menarik dan membuat kita penasaran. Ketika kita tanya, mau makan apa?” Jawabannya bergantung pada isi kantong atau dompet kita. Terlebih bila pertanyaannya, mau makan dimana?” karena tempat makan akan membuat makanan seharga uang jajan anak SD bisa 10 kali lipatnya dengan nama dan tempat yang berbeda. Tapi pernahkan kita tanya,”Apakah itu semua bisa menciptakan kesejahteraan sesungguhnya, meliputi suasana hati, relasi dalam keluarga dan rasa syukur?”

Makanan memang kebutuhan dasar, terkadang tidak terlalu urgen, tentang jenis makanan apa yang kita makan, syarat utamanya hanya halal dan baik untuk tubuh. Namun relasi dalam keluarga bisa ditampilkan melalui pengaturan, pemilihan, penyajian dan suasana di meja makan. Keluarga yang sederhana dan mungkin bahkan miskin sampai keluarga anak sultanpun tidak ada perbedaannya, soal mengunyah makan dan rasa dimulut yang dinikmati sesaat saja.

Tentu saja ada level kepuasan pada setiap orang, tetapi skala kepuasan pada unsur material makanan itu akan tidak pernah ada batasnya. Kepuasan rasa syukur dan hati yang menerima makanan itulah kekayaan menciptakan rasa sejahtera sesungguhnya. Itulah sebabnya, perasaan positif yang membentuk suasana di meja makanlah yang dapat menjadi indikator kesejahteraan mental yang lebih tinggi, bukan pemenuhan kebutuhan dasar soal lapar dan gengsi sosial. Jadi ini bukan tentang pecel madiun, yang tentu saja enak dan beragam harganya, yang bergantung dimana kita makan, namun tentang psikologis manusia yang sedang makan.

Mengingat penelitian seorang Masaru Emoto tentang molekul air yang menangkap pesan kesadaran manusia. Rasa cinta dan terima kasih akan membentuk molekul kristal air yang sangat indah, sedangkan rasa benci dan kemarahan merusak molekul tersebut. Meskipun eksperimen ilmuwan yang mendirikan pusat pengobatan alternatif ini dianggap sebagai pseudo science namun orang tak bisa memungkiri pengaruh makanan tidak hanya bersifat material fisik semata. Makanan halal tentu didasarkan pada kriteria hukum, tetapi halalpun mengandung hikmah yang besar tentang seberapa pengaruhnya material tersebut pada tubuh dan psikologis manusia. Terlebih label baikpun menjadi perlu diperhitungkan sesuai kebutuhan gizi bagi setiap orang, dengan kondisi usia, pekerjaaan dan riwayat kesehatannya. Tetapi secara holistik, kriteria baik juga meliputi saat makan dipersiapkan, bagaimana hal itu disajikan dan susasana saat makan bersama. Suasana emosi akan terekam menjadi pengalaman psikologis dan membangun relasi sosial bagi orang yang terlibat dalam kegiatan makan. Hal itu jauh lebih bertahan daripada rasa makanan dimulut.

Barangkali dalam pola relasi keluarga, cinta dan rasa syukur itulah yang membedakan, tentang siapa yang menyiapkan, siapa yang menyajikan makanan akan menciptakan kesegaran dan rasa makanan itu, serta dengan siapa kita makan. Kita menjadi mafhum, bahwa kegiatan kuliner yang menyenangkan, sering memperlihatkan bagaimana chef mempersiapkan makanan dengan serius dan positif. Terkadang kemasan makanan menempelkan stiker bahwa makanan itu disajikan secara khusus dengan cinta. Pesan positif inilah yang membuat kita merasa lebih nyaman, rasa ikatan dan keterlibatan yang membuat perasaan sejahtera dan bahagia.

Membangun relasi dalam keluarga dapat kita mulai saat di meja makan dengan menu apapun menjadi nikmat di mulut, nikmat di hati. Itulah rasa yang kita syukuri dengan sebenarnya. Demikian pulalah keharmonisan dapat tercermin dalam keluarga.

Pertanyaan selanjutnya, adakah hal ini disadari oleh pasangan pernikahan, seberapa mahal harganya “pekerjaan seorang istri di dapur” yang perlu dibayar untuk membentuk relasi pernikahan yang positif. Membangun relasi keluarga bisa berawal dari meja makan.

Bandung, 22 Februari 2022

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

Responses (1)