Merawat 50 tahun pernikahan dengan sepotong kepala ikan
Ini bukan kisah baru, setiap keluarga selalu memiliki alasan untuk bertahan ataupun berakhir di meja pengadilan agama.
Sudah banyak yang pernah membaca atau mendengar kisah tentang kepala ikan dan kakek tua. Saya juga pernah membacanya dan lupa entah dimana, tetapi ketika saya ketik kata kuncinya dan melakukan gugling, saya menemukan salah satu kisah tentang kepala ikan dan kakek tua itu dari tulisan di Kompasiana.com yang juga dikutip dari sumber yang berbeda. Jadi entah siapa yang pertama kali memiliki kisah ini.
Saya akan tuliskan secara singkat dalam bentuk reviewnya saja, karena tidak untuk menceritakan ulang, tetapi sebagai pembuka dari obrolan kita sesungguhnya.
Kakek tua dan istrinya sedang merayakan hari ulang tahun perkawinan mereka yang ke 50. Sebagaimana kebiasaannya selama 50 tahun ini, ia selalu memberikan ikan bagian kepalanya untuk istri tercintanya. Sedangkan ia sendiri memakan bagian badan ikan yang penuh duri. Tak disangka selama ini istrinya tidak pernah menyukai kepala ikan dan telah bersabar selama 50 tahun demi cinta pada suaminya tersebut. Sebaliknya sang suami, yang kini sudah sama-sama tua menyakini telah berusaha memberikan yang terbaik untuk istrinya. Ia selalu memberikan bagian yang paling dia sukai dari ikan tersebut yaitu kepala ikan, dan bersabar dengan selalu makan daging ikan berduri yang tidak disukainya.
Saya teringat dengan kisah ini, karena dalam satu bulan terakhir ini kasus konflik pernikahan yang mampir di ruang klinik saya telah meningkat. Apakah karena pandemi?. Saya tidak dapat menyebutkan hal ini sebagai akibat secara langsung, sebab konflik pernikahan tidak hanya terpicu karena orang-orang berada di rumah selama pembatasan sosial ini. Saya juga tidak mengacu pada teori ataupun referensi tertentu, tulisan ini hanya ingin mengambil pembelajaran dari ruang praktek sebagai catatan kasus yang lebih faktual.
Melalui kisah ini mengingatkan saya betapa tak mudah merawat pernikahan. Kisah inipun sebenarnya sangat mudah dicerna oleh setiap orang, dan pada dasarnya kita dapat mengambil pelajaran yang sangat banyak dari kisah ini. Antara lain tentang komunikasi, keterbukaan, kejujuran, kebaikan hati adalah karakter yang perlu di bentuk dalam suatu pernikahan. Namun kisah semisal kepala ikan dan kakek tua ini sering terjadi dalam keluarga dengan berbagai sebab yang tidak sederhana. Saya akan menjelaskan kasus ini sebagai mispersepsi terhadap bagian yang paling baik dari hidangan ikan akibat komunikasi yang tidak asertif.
Bayangkan, dalam kisah ini sang nenek baru memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya setelah 50 tahun pernikahan. Pada sisi lain, bahkan sang kakekpun telah merasa mengungkapkan cinta yang tulus dengan cara yang ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan istri tercintanya.
Beruntung dalam kisah ini, akhir cerita sesuai dengan harapan kebanyaan orang, happy ending. Serta merta keduanya saling menyadari tentang ikatan cinta yang kuat dan secara spontan dapat saling memaafkan, padahal dalam kenyataannya amat banyak pasangan yang gagal untuk memberikan ruang bagi proses perubahan dan penyesuaian diri pasangannya.
Dalam hidup yang sesungguhnya, memaafkan tidaklah sesederhana mengatakan aku menyesal dan semuanya kembali mesra. Luka batin, beban mental, emosi negatif yang terkumpul selama puluhan tahun dapat saja menjadi bom waktu yang meledak kapan saja. Tidak ada yang tahu, mengapa tiba-tiba salah satu pasangan terkadang ujug-ujug meminta bercerai oleh sebab hal sepele.
Suami dan istri datang dari budaya keluarga yang berbeda. Mereka masing-masing membawa satu set kebutuhan, harapan, norma, persepsi yang sangat subjektif dan tentu saja belum tentu dapat dikompromikan dengan pasangannya saat mereka menikah. Kecuali bila mereka masing-masing saling bicara dan menemukan bahasa cinta yang sama untuk saling memberi dan menerima satu sama lain.
Konflik keluarga bukanlah hal sepele yang selesai dengan diberikan pengarahan dan nasehat, seringkali konflik itu memiliki akar dari problem yang lebih dalam dan luas terkait nilai-nilai pribadi, harga diri, persepsi dan mungkin juga gaya personal yang tidak dapat diterima oleh pasangan. Pada fase pandemik, saat diterapkan pembatasan sosial mengakibatkan semua orang lebih intens berada di rumah, potensi konflik yang terjadi dapat mencuat dan memicu keluarga untuk menghadapi kenyataan yang seringkali berakhir dengan perceraian. Mungkin saja situasi lingkungan hanya pemicu, sementara masalah sesungguhnya sudah mengendap sekian lama dalam usia pernikahan yang terpaksa dipertahankan demi berbagai alasan. Anak sering menjadi alasan utama pasangan terpaksa hidup saling menjaga diri dalam arti menjaga jarak aman untuk tidak terjadi perang terbuka. Terkadang kekecewaan terpaksa ditelan bulat-bulat tanpa menyadari bahwa bisa jadi pasangannya tidak menyadari telah berbuat aniaya yang lainnya dan menyanga dia telah menjadi suami istri yang ideal.
Dari data pengadilan agama, berdasarkan data yang ditayangkan di tribunjabar, selama maret hingga pertengahan Juni 2020, tercatat ada 1.449 gugatan perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Bandung. Dari jumlah tersebut, 1.355 di antaranya sudah resmi bercerai.
Tidak mungkin kita memberikan penilaian sepihak tentang problem rumah tangga atau hanya menunjuk satu sumber penyebabnya. Pada kasus pernikahan, terdapat setidaknya ada 8 area yang saya temukan berpengaruh dalam menjalin kehidupan bersama pasangan. Delapan area ini, seringkali tidak pernah diperbincangkan secara terbuka apalagi dengan komunikasi yang asertif, koheren dan diwarnai saling penghargaan. 8 area itu adalah tentang pekerjaan dan karier, pengelolaan keuangan, mengasuh anak, sexualitas, aturan dalam keluarga, kondisi kesehatan pribadi, pendidikan anak, dan budaya keluarga. Namun area yang sering dilaporkan pertama kali dan sejalan dengan fakta di pengadilan umumnya dimulai dari masalah keuangan, sexualitas serta perilaku yang tidak dapat diterima oleh pasangan. Walaupun demikian, hal yang paling utama dalam menjembatani masalah rumah tangga sekaligus juga dapat menjadi kunci dari keberhasilan pernikahan adalah komunikasi yang asertif.
Tidak seperti teorinya yang mudah dituliskan dan sangat banyak dibahas dalam pelatihan komunikasi, bersikap asertif seringkali bukanlah semata sebuah keterampilan. Seringkali masalah personal dari pasanganlah yang menjadi sumbatan dari kemacetan komunikasi ini. Secara praktisnya, asertif artinya kesiapan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan tanpa rasa takut atau marah. Bersikap asertif memang berada pada posisi adil dan seimbang diantara sikap yang agresif, kritik, menyerang, marah di satu kutub dengan sikap pasif, menyerah, takut, malu di kutub lainnya. Dengan kata lain orang yang asertif pasti memiliki emosi yang positif, menghargai dirinya sendiri, percaya diri, tenang, mampu mengendalikan diri, responsif, jujur, mampu berempati pada orang lain dan tentu saja tidak mudah menghakimi.
Terbayang sulitnya, menjadi pribadi yang asertif bila salah satu pasangan dalam keluarga memiliki salah satu sifat yang mengarah pada agresifitas atau justru pasif. Terkadang kejujuran begitu menakutkan bila hal itu menyangkut hal-hal yang dapat menjadi bumerang bagi dirinya, karena ketidaksiapan menerima kerapuhan diri. Anda dapat membaca lagi tentang Mengelola kerapuhan diri dalam relasi pernikahan
Lebih tragis bila pasangan berada pada dua kutub bersebrangan maka hasilnya adalah intimidasi seumur hidup tanpa disadari oleh salah satu pihak sampai pihak yang pasif memiliki kekuatan dan momen untuk pada akhirnya menyampaikan perasaannya. Seperti pada kasus istri yang menunggu ulang tahun ke 50 untuk sekedar mengatakan bahwa dirinya tak suka kepala ikan, dan konyolnya lagi, sang suami juga tak suka daging ikan yang sering berduri.
Dalam skenario yang sama, mungkin mudah saja bertahan 50 tahun menikah ketika yang diterima adalah penghidmatan dari pasangan yang memberinya dengan penuh cinta. Pernikahan dengan visi cinta sangat mudah mengubah kegetiran menjadi kekuatan sabar tingkat dewa. Satu sama lain berbicara dengan bahasa cinta yang walaupun dalam praktek terlihat konyol, barangkali proses selama 50 tahun itulah bukti dari pertumbuhan pribadi mereka sebagai suami istri yang makin matang dan teruji. Walaupun mispersepsi tentang makna kepala ikan yang istimewa, mencintai adalah tentang memberi apa yang disukai oleh pasangannya, dan menerima pemberian dengan penghormatan. Cinta adalah tentang melepaskan kesenangan dan menikmati rasa sakit demi orang yang dicinta. Cinta memang paradoks. Karena Cinta, anda mungkin dapat membuat sejuta puisi dan menambah koleksi lagu-lagu cinta di belantika musik indonesia.
Mari kita membuat skenario yang berbeda dengan berandai-andai saja tentang kisah kepala ikan ini. Bila makan hanya sepotong ikan berdua, maka masing-masing selama 50 tahun hanya pernah makan kepala ikan atau badannya. Sebagai suatu perumpamaan keadaan ekonomi yang sangat terbatas, maka keluarga ini mampu menjaga dan merawat pernikahan ini selama setengah abad walaupun kondisi perekonomian tak pernah berubah. Anggap saja mereka sebetulnya memiliki uang cukup untuk membeli dua ekor ikan sehingga setiap orang dapat memilih bagian badan atau kepalanya, namun mereka memilih menjaga gaya hidup hemat yang memungkinkan mereka berbagi dengan orang lain dari kelebihan rizki mereka. Cukuplah dengan makan seekor ikan berdua dan mereka langgeng dalam cinta sejati mereka. Cinta cukup dirawat dengan sepotong ikan, Ah romantisnya.
Apakah alasan finansial pasangan perceraian di pengadilan agama ini merupakan pasangan yang terpuruk secara ekonomi?. Masalah ekonomi keluarga seringkali justru datang dari gaya hidup bukan dari keterbatasan finansial yang sebenarnya. Bila keterbatasan yang dimaksudkan, tentu tidak akan ada pasangan yang menikah kecuali mereka sudah kaya terlebih dahulu dan hanya menerima pasangan yang sama-sama kaya. Beberapa faktor lainnya saling berpengaruh dan memperburuk keadaan pernikahan, sehingga apa yang tampak di permukaan tidaklah sama dengan gejolak gelombang di bawah perahu yang membuat pernikahan ini hancur di tengah lautan kehidupan berkeluarga.
Dalam kondisi darurat pandemik ini, keuangan merupakan salah satu isu yang semakin penting untuk bertahan hidup, terlebih banyak pegawai dirumahkan, pemilik bisnis mengalami kebangkrutan, dan tabungan mulai menipis. Mungkin saja ini adalah pemicu dari konflik pasangan yang menjadikan salah satunya menggugat untuk berpisah, tetapi potensi ini tidak dapat diselesaikan bila keduanya tidak mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya dengan asertif. Dengan komunikasi yang buruk, masalah tidak dapat dijelaskan dengan baik, satu sama lain tidak dapat menangkap pikiran dan gagasan pasangan sehingga pesan tidak diterima dan konflik meluas. Pada saat komunikasi sudah tidak nyambung, yang terjadi adalah emosi yang negatif dan gelombang kemarahan, kekecewaan, kesedihan ataupun sakit hati yang menurunkan dan merusak harga diri masing-masing.
Hati manusia tak bisa diisi oleh dua emosi yang berbeda, kecuali akan menimbulkan kekacauan perasaan, dalam bentuk konflik batin. Bila amarah karena harga diri terluka telah menggeser cinta, semua kisah romantis pernikahan dapat berganti muka menjadi lakon yang membosankan dan penuh kebencian.
Apakah seseorang dapat semudah si nenek yang memeluk si kakek, yang tega memberi kepala ikan selama 50 tahun itu?
Mungkin jawabannya adalah “ya” jika satu sama lain berbicara dengan penuh rasa hormat dan pemaafan. Namun itu terbukti tidak mudah, karena kasus perceraian setiap tahun selalu meningkat meskipun pernikahanpun hampir pasti terjadi sepanjang tahun.
Nah, pikir dulu sebelum menikah ya. Bila perlu ikuti kebijakan pak Menteri Agama untuk mengikuti sekolah pranikah. Mulai tahun ini akan ada kisah melamar dengan menyertakan sertifikat sekolah pranikah seperti yang akan saya kisahkan pada tulisan selanjutnya. Semoga ikhtiar ini dapat menekan laju perceraian. Bagaimana menurutmu?
Bandung, 27 Juni 2020