Mengenal mekanisme pertahanan diri dan bahasa emosi

Iip Fariha
6 min readMay 2, 2020

--

Ada tiga pola manusia merespon stress, melawan (fight), pasif (freeze) atau menghindar (flight) dari masalah. Semuanya valid bila sesuai konteksnya.

Setiap makhluk hidup akan menghadapi berbagai tantangan, ancaman dan ujian dalam menjalani hidupnya. Terlebih makin lama, manusia abad ini memiliki kehidupan yang komplek dan berat. Dalam situasi yang terancam, baik secara fisik maupun mental, manusia akan menunjukkan suatu tindakan mempertahankan diri dari kehancuran, mekanisme ini sering bersifat spontan. Dalam terminologi psikologi kita menyebutnya self-defence mechanism (mekanisme pertahanan-diri). Mekanisme pertahanan-diri ini umumnya terbentuk sebagai pola dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang rumit, seperti genetik, pola asuh dan pengalaman masa kecil, kondisi lingkungan sosial budaya, juga agama. Terkadang upaya pertahanan-diri yang kita gunakan itu efektif dan tepat. Terkadang tidak lagi mencukupi pada kasus yang lain sehingga memunculkan gejala psikologis yang khas, yang umumnya kita sebut frustrasi, distress, cemas, dan sebagainya.

Bila seseorang menghadapi masalah, kondisi psikologisnya akan berpengaruh pada kondisi fisik, mental, juga neurologisnya. Kondisi emosi tertentu akan merangsang produksi hormon tertentu dalam tubuh, yang dikendalikan oleh neurotransmitor di otak. Dalam penelitian ditemukan kadar serotonin dalam otak sangat berpengaruh pada perubahan mood seseorang. Demikian juga bila seseorang sakit fisik, kondisi mental-psikologisnya ikut terpengaruh.

Ingat, bahwa pikiran, perasaan dan tubuh serta spirit adalah satu kesatuan. Kadang hanya dengan pikiran negatif saja, seseorang bisa menjadi lebih emosional, sebagaimana bila kita senang, maka otak kita akan memerintahkan untuk memproduksi hormon kebahagiaan/dopamin. Namun perilaku kita merupakan suatu sistem yang kompleks dan tidak hanya bisa dilihat dari satu sisi saja. Kita perlu mempertimbangkan situasi lingkungan dan kebutuhan dasar dari seseorang yang memengaruhi bagaimana seseorang bersikap dan menghadapi stres tersebut.

Ada tiga pola cara manusia menghadapi stres, manusia dapat melawan (fight), berjuang menghadapi stresnya langsung. Kedua, membekukan diri (freeze) misalnya dengan pasif menyendiri, mengabaikan masalah dan pura-pura tidak terjadi apa-apa, atau berusaha untuk kabur menghindar dari sumber stresnya (flight), sebagai contoh melakukan hal lain yang tidak relevan atau mengalihkan perhatian.

Sumber masalah dapat terpicu oleh kondisi biologis (hormonal), stres lingkungan, kebutuhan dalam diri yang tidak terpenuhi dan kombinasi dari semuanya. Umumnya masalah memengaruhi pikiran dan memicu suatu emosi tertentu dan reaksi fisiologis tubuh. Terkadang kejadian pencetusnya mungkin sudah tidak diingat lagi atau karena daya pikir sudah mulai disabotase oleh kondisi emosional yang kuat. Kemudian kondisi emosi ini akan makin memperkuat pemikiran negatif dan gejala biologi-neorologis, menurunkan daya tahan/imunitas tubuhnya. Kadang-kadang juga muncul kondisi somatisasi sebagai respon tubuh terhadap stres. Sebagai contoh, bila seseorang mengalami stres, otomatis muncul juga gejala fisik seperti sakit kepala, keringat meningkat, tremor, gangguan pencernaan dan lain-lain.

Supaya mudah dipahami, saya akan membuat perumpamaan tentang bagaimana mekanisme ini bekerja.

Ketika tiba-tiba saja, misalnya kita dikejar anjing gila, detak jantung kita akan berdetak lebih cepat, secara otomatis kita akan berlari dan muncul rasa takut dan panik. Pikiran telah dibajak oleh emosi. Dan tindakan nyaris tidak pernah dipikirkan terlebih dulu. Secara otomatis, kita lari terbirit-birit dan mungkin melompati pagar atau benteng yang cukup tinggi untuk menyelamatkan diri.

Pada kasus dikejar anjing gila, mekanisme kabur (flight)menjadi sangat efektif daripada melawan. Namun bila kita tiduran saja (freeze) saat perut keroncongan, kita akan makin lemas, dan mungkin pingsan. Untuk dapat meredakan rasa sakit di perut dan memenuhi kebutuhan makan, kita perlu mencari makan (fight). Kadang stres terlalu besar dan tak memiliki sumber daya untuk dapat menghadapinya, terkadang lalu apa yang dirasakan tidak dapat didefinisikan, hilang rasa (numb), dan sesaat orang bisa menjadi “bukan dirinya”. Sebagai mekanisme alami untuk menjaga diri dari kerusakan yang lebih besar. Gejala Freeze terlihat saat tiba-tiba kita diam membeku dan shock saat mendengar kabar yang sangat menakutkan seperti informasi tidak utuh dan memancing respons emosi, sementara daya pikir kritis kita tidak berfungsi. Misalnya informasi “bahwa semua orang yang terkena virus corona pasti akan meninggal.”

Tentu saja semua orang akan mati, tapi tidak semua orang meninggal karena terkena corona, karena banyak sebab lain yang mengakibatkan orang meninggal dan tidak semua orang yang terkena virus akan langsung meningkal.

Namun bila sikap dari sebagian kita abai dan tidak memerhatikan kesehatan diri, padahal berada di zona merah bahaya penyebaran tapi pura-pura tidak tahu, mungkin lama-lama akan banyak orang yang lebih cepat sakit dan meninggal karena terinfeksi (Kasus ini akan kita bahas nanti).

Manusia dibekali dan memiliki sumber daya tak terbatas untuk menghadapi tantangan atau masalah, berbeda dengan binatang yang hanya pasrah pada aturan yang membatasi gerak dan takdirnya. Manusia bisa melampaui dirinya sendiri dengan melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang diberikan. Ia bisa belajar hal baru dan tidak belajar hal lainnya yang tidak perlu.

Masalah muncul bila kita selalu melakukan hanya satu cara untuk menyelesaikan semua masalah. Bila kita hanya punya “palu” saja untuk menghadapi segala tugas pertukangan, pekerjaan dan hidup kita akan berantakan. Palu bagus untuk memasang paku dan menyatukan dua kayu misalnya, tapi tidak bisa untuk menggali tanah, atau mengumpulkan air.

Stres dan masalah dalam hidup ini semakin kompleks, maka itu cara menghadapinya pun diperlukan berbagai toolsyang beragam. Bila kita selalu memandang bahwa kita selalu dikejar anjing gila, kita juga akan cenderung selalu kabur dan tidak pernah berpikir sama sekali. Tindakan kita akan bersifat otomatis dikendalikan oleh syaraf-syaraf yang bertugas untuk melakukan tindakan emergensi.

Ketika kita sedang punya masalah, baik karena tekanan dari lingkungan maupun keseimbangan hormon terganggu saat mens (sumber stres dari kondisi biologis yaitu faktor hormonal), atau karena tekanan kebutuhan dalam diri kita yang perlu dipenuhi, sangatlah wajar ada desakan emosi yang menyertainya. Pikiran negatif atau kekalutan dapat saja terjadi pada siapa pun, karena emosi juga bersifat otomatis. Namun ada fungsi lain dari manusia, yaitu daya pikir, sikap dan perilaku yang dapat dilatih dan dikendalikan.

Jika kita terbiasa melatih diri untuk memiliki berbagai tools untuk menghadapi masalah dengan tepat, pikiran kita tidak akan mudah dibajak oleh emosi dan selalu merespons dalam bentuk tindakan emergensi. Pikiran kritis biasanya berkawan juga dengan perasaan tenang dan keadaan fokus, sadar menghadapi situasi lingkungan yang berbahaya. Oleh karenanya, tindakan kita bisa lebih terkendali, terstruktur dan adaptif dalam menyelesaikan masalah atau ancaman yang dihadapi. Bagaimana caranya?

Langkah-langkah berikut bisa dilakukan.

1. Pendefinisian dan memperjelas masalahnya. Duduklah dengan tenang, pikirkan dan bila perlu tuliskan dan pahami keadaan yang terjadi. Apakah hanya kita saja yang menghadapi masalah ini, siapa yang terlibat, bagaimana masalah ini tepatnya.

2. Apa sumber daya yang dimiliki untuk menghadapinya? Jika diibaratkan sebagai seorang pembuat bangunan, tidak mungkin ada satu palu untuk membangun rumah, kita pasti punya berbagai alat lain di gudang tempat pertukangan kita. Kita hanya perlu mencarinya dan memilih alat yang tepat. Apa yang sudah dilakukan selama ini untuk menyelesaikan masalah tersebut? Carilah berbagai strategi dan cara-cara lain dalam mengatasi masalah.

3. Terkadang perlu dipertimbangkan daya tolak dan daya dukung lingkungan terhadap masalah yang dihadapi. Maka, pilihan tindakan akan sangat berbeda bila situasi lingkungan berbeda. Sebagai contoh, bila sang anjing gila itu diikat lehernya dan tersangkut di tiang, maka kita tak perlu lari pontang panting. Kalau lari kita lebih cepat dari anjing dan kita juga mudah untuk berlindung di tempat kita berada, kita tidak akan terlalu panik dengan kabur tanpa mempertimbangkan jalan yang kita lalui sehingga terjerembab pada lubang dan bukannya selamat dari anjing, tetapi justru malah celaka lebih parah. Maka berpikirlah sebelum bertindak.

4. Pahami emosi yang muncul yang menyertai pikiran-pikiran negatif atau yang ditimbulkan dari masalah tersebut. Memahami emosi dan memberikan respons yang tepat akan membuat hidup lebih bahagia, merasa percaya diri dan aman. Sebaliknya, pengabaian emosi atau pengalihan kebutuhan emosi yang tampak sesaat malah menimbulkan masalah baru bagi kesehatan tubuh, seperti ketergantungan pada obat, gangguan sakit, somatisasi, dsb. Seringkali kita tidak biasa mengekspresikan emosi atau tidak tahu bagaimana caranya. Untuk itu, kadangkala terapi dibutuhkan untuk mengelola emosi dengan baik.

5. Mungkin diperlukan teknik healing tertentu untuk dapat menenangkan diri dan melatih emosi stabil, tetapi belum tentu sudah menyelesaikan masalahnya itu sendiri. Saat kita bisa kabur dari anjing gila dengan meloncat ke pagar misalnya, tidak serta merta anjing gila tidak lagi bahaya. Bahayanya masih tetap ada, hanya saja Anda sementara aman di atas pagar. Secara spiritual, ini sama dengan pernyataan bahwa keimanan pada Tuhan dan kitab suci/Alquran masih dituntut untuk mengamalkannya.

6. Menyelesaikan masalah memang memerlukan keberanian untuk mengambil tanggung jawab, namun hal itu bertentangan dengan keinginan kita manusia yang cenderung mengambil pilihan yang lebih mudah dan menyenangkan. Karena itu sering kali kita ingin menyerah namun tidak mau menerima konsekuensinya. Atau kadang mendapatkan keuntungan dari menyerah tanpa menyadarinya, seperti menjadi mengundang belas kasihan orang lain atau terhindar dari suatu tugas tertentu yang lebih berat.

7. Minta bantuan, dukungan atau konsultasi dengan ahlinya. Bisa saja masalahnya tidak bisa dipahami, suatu peristiwa pemicunya sudah masuk ke bawah sadar. Mungkin memang terlalu sedikit daya dukung lingkungan sehingga berulang-ulang masalah ini muncul dan sumber daya pribadi menjadi tidak lagi mampu untuk menghadapinya sendirian. Jangan takut untuk meminta bantuan, baik dalam forum seperti ini atau praktik profesional.

Semoga bermanfaat

Bandung, 30 Maret 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet