Mengelola kerapuhan diri dalam relasi pernikahan
#serungobrolpsikodrama: belajar jujur terhadap diri dan pasangan.
“Salah satu tanda kematangan emosi adalah, ketika kita menyadari batas kemampuan diri”.
Kerapuhan adalah batas terakhir bagi manusia. Hampir tak ada orang yang ingin terlihat lemah, buruk, salah dan tak berdaya. Semua dari kita berjuang untuk menunjukan harga diri, potensi terbaik dan menutupi hal-hal yang tidak elok di pandang ataupun bahkan memalukan dan menjadi aib saat terlihat orang lain. Kita semua berusaha menunjukkan pada dunia, bahwa kita adalah orang yang baik, sempurna, cantik, gagah, pintar, kaya, sukses dan segala label keberhasilan yang sempurna berdasarkan profil dan gambar-gambar yang ditunjukkan di media social.
Hal ini tak memungkiri bahwa sebagian orang sudah tampil apa adanya, namun sebagian merasa takut bila terlihat biasa saja atau bahkan terlihat siapa diri yang sebenarnya. Sebagian kita menutupi hal-hal buruk dengan susah payah agar hanya yang baik saja yang terlihat. Tentu saja itu sah saja, bahkan mungkin sangat baik, selama kita menyadari bahwa hal itu tak masuk akal dan tidak realistis.
Untuk mengetahui siapa diri kita sebenarnya adalah saat menyadari dan menerima diri yang sebenarnya rapuh. Karena itu tanda kematangan emosional kita adalah saat mampu menangani suatu hubungan secara jujur, terbuka dan otentik. Belajar jujur pada diri sendiri, ternyata tidak mudah, apalagi bila jujur terkait dengan pasangan pernikahan.
Ketika menyadari batas dirilah, seseorang mampu berkomunikasi secara jujur dan mengekspresikan kebutuhan diri sendiri kepada orang lain dan membangun rasa percaya satu sama lain. Dalam suatu hubungan saling percaya, seseorang memperlihatkan secara otentik, atau keaslian tentang dirinya apa adanya tanpa topeng. Termasuk pada saat ia siap melihat kerapuhan dan menerima hal itu sebagai hal yang natural pada setiap manusia lainnya, termasuk terhadap pasangannya sendiri.
Dalam konteks hubungan pernikahan, kematangan emosional akan semakin terlihat saat salah satu pasangan menemukan pasangannya yang ternyata berbeda seketika setelah resmi menikah. Tampil asli setelah masa pacaran berlalu, seringkali menjadi isu utama saat salah satu pasangan merasa dibohongi atas ketidakjujuran salah satu pasangan. Atau karena ketidaksiapan menerima kondisi asli yang memang baru terlihat saat pasangan cukup merasa aman untuk memperlihatkan sisi rapuh pada pasangannya. Atau ketika salah satu pasangan melihat sikap pasangannya terhadap dirinya berbeda dengan sikapnya terhadap orang lain. Seperti melihat dua orang yang berlainan.
Kita hidup dalam masyarakat yang mendesak kita untuk mengejar kesempurnaan. Sehingga terasa wajar saat kita mencari segala cara untuk tampil baik dan membangun image positif sebagai bentuk pencitraan sosial. Tidak masalah untuk selalu tampil baik, selama hal itu dihayati sebagai penghargaan dan bentuk harga diri yang positif. Menyadari kerapuhan tidak berarti mengumbar keburukan diri atau dengan sengaja menimbulkan rasa iba pada orang lain. Sebaliknya jujur terhadap diri sendiri mengindikasikan perasaan aman sekaligus belas kasih pada diri sendiri. Pada saat kita mencoba untuk menjadi sempurna, akan selalu ada peluang gagal dan setiap manusia menemukan batas kerapuhan tersebut.
Ketika pada akhirnya ditemukan sisi rapuh kita, itu bisa sangat menyakitkan dan menimbulkan hubungan perkawinan retak atau kepercayaan terkoyak. Kegagalan tidak diinginkan semua orang tetapi seringkali tak bisa dihindari dan ternyata perlu. Ini membantu kita mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kita. Bersamaan, itu memberi kita wawasan yang diperlukan untuk pertumbuhan pribadi. Sebab dengan melihat sisi kurang, maka kita belajar memperbaiki diri dan belajar bertoleransi terhadap proses perubahan dan pertumbuhan pribadi dan pasangan bersama-sama.
Walaupun prosesnya tidak sesederhana itu, sebab perubahan dan kesadaran untuk bertumbuh sering diawali dengan konflik hebat sampai ancaman bubarnya pernikahan.
Jujur dan merasa aman saja tidak mencukupi. Ada pasangan yang membiarkan relasi mereka sedemikian buruk terjadi sebagai toxic relationship yang terlanjur berlangsung lama, akibat ketidakpahaman bahwa keburukan dirinya telah begitu melukai pasangannya, pada saat yang sama pasangannya membiarkan hal tersebut terjadi. Pasangan perlu belajar untuk berkomunikasi secara asertif dan empati sehingga persoalan penting dibicarakan dan ditemukan peluang untuk saling menghargai dan menemukan pola relasi yang lebih baik. Pasangan menikah terkadang baru menyadari bahwa persepsi seorang istri atau seorang suami bisa berbeda satu sama lain, setelah mereka bertemu dalam sesi konseling. Bila mereka satu sama lain tidak melengkapi pernikahannya dengan merasa memiliki satu sama lain serta kesediaan untuk saling memberi dukungan secara emosional, maka kecil peluang keutuhan berkeluarga dapat dipertahankan.
Konflik pernikahan bahkan kadang dilalui bertahun lamanya sampai kedua pasangan menemukan konselor yang pas dan siap menerima proses konseling bahkan seringkali diperlukan proses lebih serius melalui family therapy. Relasi dalam keluarga memang unik karena terkait dengan gaya kepribadian anggota keluarga, budaya, norma keluarga, tuntutan, harapan serta peran-peran sosial yang melingkupinya.
Apa yang dikatakan seseorang pada saat tertentu mewakili kebenarannya ketika dia melihatnya pada saat itu. Pernyataan, pertanyaan, laporan apa pun mengandung setidaknya dua hal: persepsi saya tentang diri saya dan harapan saya terhadap orang lain. (Virginia Satir, dalam Schwab, 1990)
Bila penyesuaian pernikahan mampu terlewati, memungkinkan bagi pasangan pernikahan merayakan masa ulang tahun perak dan emas pernikahan mereka dengan terus bertumbuh menjadi pribadi yang makin matang. Kematangan adalah sebuah proses, dan proses penyesuaian keluarga ini diperlukan terus menerus. Seiring waktu, selalu ditemukan kerapuhan lain yang memerlukan proses ini berulang kembali.
Perasaan cinta dan hasrat sex bisa sangat cepat berubah dan berkurang seiring waktu. bila pernikahan tidak memiliki dasar yang kuat selain ketertarikan fisik sesaat saat pranikah atau pacarana, maka ingatlah bahwa kondisi biologispun akan berubah dan makin rapuh. Itulah sebabnya perlu komitmen pernikahan untuk menguatkan rasa belas kasih dan penghargaan pada pasangan sehingga pernikahan berpeluang dapat dipertahankan dalam kebahagiaan yang sama atau bahkan lebih baik.
Kejujuran terhadap kelemahan diri, adalah awal yang baik, selanjutnya pasangan perlu belajar untuk menemukan sisi lain yang memberdayakan dan mengatasi kerapuhan lainnya dengan sikap kasih, pemaafan dan komunikasi yang asertif ini. Hal itu dimungkinkan berjalan bila komitmen masih dimiliki sebagai hal terpenting dalam kehidupan pasangan menikah. Komitmen bukan karena keharusan, atau keterpaksaan, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab yang disadari bersama. Menikah bukan karena perlu dijaga, tetapi diinginkan dan menjadi tujuan untuk kebahagian itu sendiri. Komitmen pernikahan menjaga prilaku pribadi terhadap pasangannya dan menempatnya diri sebagai sebuah tim yang satu sama lain saling membutuhkan untuk memperkuat keinginan masing-masing menjalani kehidupan pernikahan itu sendiri.
Ada sebagian pasangan, merasa sangat marah pada kelemahan pasangannya. Kemarahan itu sendiri adalah juga tanda kerapuhan. Amarah pada pasangan sering mengubah cinta menjadi benci dan hubungan menjadi semakin berjarak. Suami istri membutuhkan dukungan satu sama lain, hubungan emosional yang matang juga terbentuk pada orang dewasa yang matang. Ketika ada masalah, bertindak sebagai satu tim akan lebih kuat dan mampu mengatasi setiap kesulitan daripada bekerja sendiri dan menghindari konflik lebih jauh. Sebagai tim, pasangan bisa saling mengandalkan untuk menemukan dukungan emosional dan rasa nyaman. Namun bila kelekatan emosional yang terbentuk bersifat negatif, relasi pernikahan menjadi racun yang cenderung merusak dan semakin melemahkan satu sama lain. Rasa percaya satu sama lain berkurang dan relasi pernikahan hanya menyisakan sisi formal dan kewajiban hukum sosial yang mengikat dua pribadi yang terpisah.
Kembali ke awal, rasa percaya satu sama lain memang segalanya, kepercayaan mengikat pernikahan menjadi hubungan yang jujur dan aman. Pasangan dapat menyampaikan apapun pikiran, perasaan dan tindakannya dengan emosi yang positif. Ketika emosi positif terkendali, tidak ada yang lebih baik dari pasangan sendiri. Bersikap jujur, mengikat karakter positif lainnya seperti rasa belas kasih, pemaafan, ikatan emosional yang aman, dukungan emosional, serta komitmen sebagai satu tim dalam pernikahan.
Catatan:
Virginia Satir, yang kata-katanya saya kutip adalah seorang terapis keluarga yang humanis dan memiliki cara pandang yang mengintegrasikan aspek biopsikososial dan spiritual pada manusia. Sangat menghargai keunikan individu dalam keluarga, dan jangan lupa ia juga menggunakan teknik psikodrama untuk mengeksplorasi kasus perkawinan pada area komunikasi yang konkruen, harga diri, dan relasi dalam konteks pernikahan. Bagi teman-teman profesional, ini akan menjadi bahasan menarik untuk kita eksplorasi lain kali. Baik dalam teori maupun praktek.
Selamat bertumbuh menjadi pribadi yang makin sejahtera dan bahagia bersama keluarga.
Bandung, 12 Juni 2020