Memanjat Pohon Keluarga
#ngobrolasyikpsikodrama
Mengutip dari Wikipedia, Genogram dikenal sebagai studi McGoldrick–Gerson, atau disebut skema Lapidus atau diagram keluarga merupakan tampilan bergambar dari hubungan keluarga dan riwayat medis seseorang. Ini melampaui pohon keluarga tradisional dengan memungkinkan pengguna untuk memvisualisasikan pola turun-temurun dan faktor psikologis yang menekankan hubungan. Ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola perilaku yang berulang dan untuk mengenali kecenderungan turun-temurun.
Bagi family therapis, genogram menjadi alat yang sangat ampuh untuk mengumpulkan informasi mencakup struktur sederhana keluarga dan pola serta proses emosional yang ada dalam sistem keluarga inti dan keluarga besar” (Platt & Skowron, 2013, hlm. 35). Genogram mencakup informasi yang berkaitan dengan setidaknya tiga generasi keluarga dan hubungan anggotanya satu sama lain. Genogram membantu orang mengumpulkan informasi, berhipotesis, dan melacak perubahan hubungan dalam konteks peristiwa sejarah dan kontemporer (Dunn & Levitt, 2000). “Dari diagram sederhana ini, konselor dan klien sama-sama dapat melihat secara simultan komposisi keluarga, jenis kelamin, usia, etnis, tanggal lahir, pernikahan, perceraian, kematian, dan peristiwa penting keluarga lainnya” (Frame, 2000, hlm. 69).
Psikodrama dan genogram merupakan teknik yang sesungguhnya sangat menarik bagi saya untuk membangun kesadaran individu tentang keluarga. Mampu mengumpulkan informasi dalam waktu yang sangat singkat tanpa rasa takut. individu akan terbangkitkan kembali kenangan mereka secara bertingkat, merasakan konteks dan lingkungan tempat mereka tumbuh dan berproses. Permainan asosiatif tentang keluarga dan melacak pohon keluarga membantu pergeseran proses dari kecenderungan sikap reaktif emosional pada pandangan yang lebih terstruktur dalam kognitif.
Mari kita ikuti petualangan salah satu peserta psikodrama, sebut saja namanya Cinta, dalam menelusuri genogram keluarganya dalam waktu singkat.
Rumah Eyang, Rumah Tempatku Belajar
Hari itu Sabtu Pagi, 6 November 2021, aku bergegas mempersiapkan diri untuk mengikuti kelas Psikodrama Teh Iip Fariha yang kali ini bertemakan keluarga. Seperti biasa aku selalu merasa antusias setiap kali akan mengikuti kelas Psikodrama. Rasanya kelas itu selalu menjadi mood booster di sela-sela kejenuhan rutinitasku dan jadi salah satu obat baik psikis maupun fisik dari setiap rasa tidak nyaman yang aku rasakan. Namun aku belum terbayang apakah pada tema kali ini kami akan membahas tentang keluarga inti atau dalam cakupan yang lebih luas? Sehingga ini menjadi salah satu pertanyan yang aku ajukan sebelum kelas berlangsung.
Tibalah saat kelas dimulai dan kami ditampilkan suatu gambar yang berupa ruang makan dengan model jaman dulu dengan beberapa perabot meja, kursi , lampu dengan sinar warna kuning hangat, lemari dan vas bunga. Maka saat itu dimulai pulalah perjalanan ingatanku kembali ke masa lalu. Teringat masa-masa awal ketika aku kuliah di Bandung 26 tahun yang lalu. Saat itu, aku tinggal di rumah Eyang dan Mami, orang tua dari Ibuku. Rumah Eyang dan Mami adalah rumah tua yang besar dan kokoh yang dibangun tahun 1924 dan dahulu sempat difungsikan sebagai gereja serta disitulah aku menghabiskan masa remaja akhirku. Area rumah tersebut terbagi atas 3 paviliun. Paviliun utama adalah tempat kami tinggal. Paviliun kedua terdiri dari ruang makan besar dan dapur, kamar asisten rumah tangga dan beberapa ruang tempat penyimpanan barang-barang yang tidak dipakai. Lalu paviliun ketiga difungsikan sebagai tempat praktek Eyang dan Omku. Di Paviliun utama, Eyang, Mami, aku dan dua orang sepupuku biasa makan malam bersama di ruang makan yang menyatu dengan ruang keluarga yang besar. Yang teringat juga adalah ketika kami berbuka puasa bersama di meja makan tersebut, kami biasa berbuka dengan teh manis hangat dan sup, lalu kami sholat maghrib dahulu baru makan makanan berat. Suasana makan sedikit tidak formil tapi dipenuhi dengan tata krama.
Sementara itu masih jelas dalam ingatanku rumah milik Eyang dan Mam yang besar, dimana ketika aku kuliah dulu aku bisa belajar dimana saja dan selalu berpindah-pindah tempat belajar untuk berganti suasana agar tidak bosan. Rumah tua yang besar dan kokoh, tapi saat itu aku tidak pernah merasa takut tinggal di dalamnya. Rumah tua yang besar dan kokoh, yang meninggalkan banyak kenangan tentang masa kecil, masa remaja akhir dan hubunganku dengan Eyang dan Mam. Rumah tua yang besar dan kokoh, dimana aturan-aturan yang ditanamkan Eyang dan Mam terhadap ku di rumah itu membentuk aku menjadi pribadi yang penuh tata krama. Rumah tua yang besar dan kokoh, dimana sikap keras dan protektif namun penuh kasih sayang dari Eyang dan Mam kepadaku saat aku tinggal di rumah itu, membentuk aku menjadi pribadi yang disiplin dan patuh kepada orang tua. Rumah tua yang besar dan kokoh, yang membayangkannya saja sudah membuat air mataku mengalir karena disitulah kemandirianku diasah. Rumah tua yang besar dan kokoh, dimana kedekatan emosionalku dengan eyang dan mam di rumah itu kemudian membentuk pola pikirku dan memutuskan jika aku tidak akan pernah meninggalkan kedua orang tuaku sendiri hingga akhir hayat mereka. Mengingat itu tak terasa mataku berkaca-kaca dan saat aku menceritakan perasaanku saat melihat gambar tersebut di kelas Psikodrama, bahkan aku jadi tidak sanggup bercerita banyak. Saat itu yang terasa padaku adalah rasa yang begitu dalam dan sedikit ada getaran di dada
Wow, ternyata gambar yang terlihat sederhana itu mampu membuka lapisan-lapisan perasaanku tentang keluarga. Dan itu bukan keluarga inti yang terdiri dari suami, istri dan anak. Tapi justru tentang pengalaman interaksi keluarga yang terdiri dari kakek, nenek dan cucu yang kemudian mempengaruhi hubungan aku sebagai seorang anak terhadap ayah dan ibuku. Tidak hanya itu, pengalaman itu juga secara tidak langsung mempengaruhi pola asuhku terhadap anak-anakku agar selalu saling menyayangi dan menjaga keluarga, khususnya orang tua. Ternyata semua saling terkoneksi.
Hari itu dan sampai hari ini tulisan ini aku buat, aku belajar banyak hal tentang keluarga melalui psikodrama. Masih terkagum-kagum dengan banyak hal yang saling terkoneksi. Dan entah kenapa perasaan yang campur aduk, mendalam dan membuat hati bergetar tentang kenangan masa lalu yang tak terlupakan dengan Eyang dan Mam, masih saja terasa. Mungkin malam ini aku kirimkan doa-doa untuk beliau semoga Allah menempatkan almarhum Eyang dan almarhumah Mam di surga terindah milik Allah SWT, aamiin YRA…
##
Terima kasih Cinta, yang telah meninggalkan pengalaman dan pelajaran berharga tentang pentingnya ikatan dengan leluhur serta nilai-nilai dalam keluarga bagi kami para pembaca. Semoga Eyang dan Mami berbahagia dan bangga dengan anak cucunya, kelak berkumpul kembali di syurgaNya. aamiin ya robbal alamin.
Bandung, 16 Desember 2021