Memahami Peran dalam Foto Pencitraan

Iip Fariha
6 min readDec 13, 2020

#serungobrolpsikodrama

Suatu hari mobil paling gaya kami sedang rawat rutin di sebuah service center. Maksud hati mengerjakan sesuatu di depan laptop namun ternyata saya ketinggalan sambungan baterainya. Setelah membaca dan menulis, waktunya masih luang untuk mondar mandir mencari inpirasi.

“Coba aku difoto dong di sebelah mobil ini!” seruku. “Apa? Ini demi pencitraan?” kata paksu. Paksu tahu, saya bukanlah orang yang senang bergaya, apalagi dengan sengaja berpotret di sebelah barang yang tidak relevan dengan citra diri dan juga tidak realistis menjadi bagian dari diri saya.

Walau akhirnya aku dipotretnya dengan HP, foto mukaku tampak sepotong. Itu karena beliau selain tak ahli memotret, juga tampak tengah melawan konflik untuk memaksakan diri memotretku. Saya hanya menyeringai mengamati hasilnya, “Yang penting ada merek mobilnya, sedangkan yang lain hanya latar belakang.”

Mencoba menghayati apa yang terjadi dengan gejolak rasa yang ada pada saat itu, sebuah film tengah berlangsung di kepalaku. Berputar dengan cepat dan membuatku sedikit termenung. “Mungkin akan kutuliskan nanti, yang penting fotonya aja dulu,” pikirku.

##

Satu tahun lalu, mungkin orang masih ada yang memiliki rencana untuk membeli mobil, merenovasi rumah, pergi jalan-jalan ke luar negeri, dan hal-hal sekunder bahkan kebutuhan tersier lainnya. Semua hal yang hanya dapat dilakukan dengan rekening penuh, waktu luang, penghasilan lancar atau kartu kredit. Sebagian orang lupa bahwa sebagian lainnya bahkan tak pernah membayangkan hal-hal seperti itu. Betapa masih banyak orang yang terlalu sibuk dengan kebutuhan sehari-hari yang sangat mendasar atau memang masih terus memperjuangkan apa yang disebut sebagai kebutuhan hidup. Bisa jadi kebutuhannya tidak pernah tercapai karena ambang kesenangan yang selalu bergerak naik.

Sebagian besar orang yang disebut sebagai rakyat miskin bahkan tak memiliki akses ekonominya secara penuh. Kebutuhan tersier hanya muncul dalam bentuk impian mendapat hadiah atau rezeki nomplok yang datang secara ajaib dari keberuntungan hidup yang tak bisa diduga. Jangan lupa juga, banyak pula orang yang lebih senang terbuai impian instan seperti film sinetron atau nasib seorang gadis Cinderella.

Kita tak bisa menilai lagi mana kebutuhan mana keinginan. Banyak orang mencari penghidupan, sebenarnya bukan sedang memenuhi kebutuhan. Kebutuhannya adalah segenggam berlian meskipun tidak pernah dibutuhkannya untuk benar-benar hidup. Kebutuhannya adalah menunaikan impian dan keinginan.

Saya membayangkan sebagai salah satu dari yang dapat menunaikan impian di tahun 2020. Salah satu rencananya memang mengganti mobil yang memang sudah cukup tua, melunasi utang usaha atau memberangkatkan umroh pegawai. Ini juga bukanlah kebutuhan. Ini keinginan yang sudah diplot menjadi kebutuhan pencapaian ekonomi.

Sejak kita bertemu covid-19, semua peluang mencapai keinginan itu sirna begitu saja. Sejak awal tahun, kita tahu semua harus membuat skema baru dalam mengelola keuangannya. Dalam ketidakpastian ekonomi, maka AWASI KPK, selain urusan kesehatan dan pendidikan, keuangan adalah isu sentral di masa sulit. Sebagian besar orang mulai menghemat dan hidup dari uang tabungan. Ada yang beralih mencari sumber penghasilan baru dan menemukan peluang usaha atau pekerjaan lain. Tidak semua terpuruk, saya yakin ada orang-orang tertentu yang justru mendapatkan keberuntungan secara ekonomi saat ini. Pengusaha baru dan lebih tangguh muncul di musim paling sulit. Kehadiran si kopid ini adalah medan perang para pelaku pasar ekonomi. Sebagian petarung lebih cepat tanggap dan didorong oleh kebutuhan dasar, baik kebutuhan sebenarnya ataupun standar minimumnya yang berada di atas ambang kesenangan minimal rakyat biasa. Bisa juga karena dorongan keinginan menolong dan menyelamatkan bangsa atau mungkin juga karena daya kreasi dan imaginasi mereka terpancing saat dunia pontang panting. The power of kepepet.

Ketika Covid-19 menyapa alam semesta ini, dunia kita berubah dalam arti fisik dan juga perilaku manusia dalam menjalankan kehidupannya. Aktivitas ekonomi adalah tampilan nyata kegiatan manusia memenuhi kebutuhan kehidupannya. Walaupun transaksi ekonomi semakin menyeret manusia untuk berkejaran dengan keinginan mereka yang takkan pernah ada batasnya.

Seandainya saya memiliki uang untuk membeli mobil keren, mungkin saja akan senang dapat memilikinya. Tapi kira-kira untuk apa ya? Apalagi zaman Covid begini. “Tunggu! Andai saja memang uangnya tetap ada, mau saya gunakan untuk apa ya? Apakah rencana awal tahun 2020 itu masih relevan?”

Dengan menyentuh cuping hidung mobil ini, tahun 2020 membuat hidup saya seolah berhenti sejenak. Menatap sebuah mobil seharga 2 M membuat saya memikirkan ulang bukan hanya sekadar urusan ekonomi yang terpuruk saat ini.

Terkadang suatu keinginan tidak relevan dengan kehidupan kita atau terkadang hanya memenuhi citra diri dan tidak terlalu realistis untuk dipenuhi. Merasakan menjadi seseorang di balik kemudi ini, syukurlah saya bisa berpura-pura cara psikodrama menjadi seseorang dengan peran yang berbeda. Saya belajar lagi, meskipun dapat saja empati dan perenungan ini bersifat subjektif.

Bisa saja kita nyinyir pada orang karena kita tak mampu. Walaupun bisa jadi dalam peran dan kapasitasnya, dia sudah tergolong realistis dan mungkin telah menghemat uangnya untuk hal-hal yang penting dan sesuai citra diri mereka. Katakan saja, seorang public figure yang selalu pergi ke luar kota memerlukan transportasi cepat, nyaman dan aman. Bisa saja sebuah mobil canggih dan tentunya mahal diperlukan untuk menunjang kehidupan mereka. Bahkan bila diperlukan, sebuah pesawat pribadi yang didesain khusus untuk keperluan mobilitasnya dipersiapkan dan menjadi “kebutuhan” mendesak pada orang tertentu. Tak dipungkiri ada saja orang-orang yang sebenarnya tidak relevan dengan semua fasilitas hidup tersebut tetapi tetap memilih memenuhi hasrat dan menampilkan citra diri yang terkadang lebih keren dari yang sebenarnya.

Pemenuhan citra diri sering menjadi alasan kita untuk mencari sumber-sumber keuangan dan menambah pundi-pundi. Kesulitan hidup yang sekunderlah yang membuat kita menjadi mudah terpuruk pada situasi ekonomi. Bila hidup dimaknai sebagai mencukupkan apa yang diperlukan sesuai kapasitas diri dan realistis, semuanya akan sepadan dan tampak wajar dan biasa saja. Seseorang yang menggunakan jas dan mobil mewah mungkin akan sangat biasa saja bila peran hidup yang dimainkannya memerlukan kostum dan perangkat tersebut. Seperti wajarnya seorang yang berperan sebagai tukang kebun dengan sepatu bot dan cangkul di tangannya. Demikian juga seorang akan tetap sepadan dengan tampilan kaos hadiah promosi produk, celana pendek serta sepatu kets untuk seorang pelari yang sedang berlomba di lintasan olimpiade.

Bila untuk prasyarat hidup sehat, cukup dengan makan, minum dan tidur cukup, semua orang dapat memenuhi hajat hidupnya dengan tenang. Keadaan yang menjadi tekanan hidup adalah ketika makanan yang harus disediakan bernilai lebih besar dari uang saku bulanan atau ketika tidur memerlukan tempat ekslusif yang hanya dapat dibayar dengan cicilan kartu kredit yang melenakan. Keadaan telah menjadi beban ketika pikiran kita yang memang tidak realistik, tidak membumi dan keluar konteksnya saat ini.

“Apakah Anda percaya bahwa kita akan terpuruk secara ekonomi?”. Saya rasa tidak demikian ketika menilai hukum kebutuhan dan pemenuhan hak-hak hidup dalam keadilan dan kemanusiaan.

Membedakan antara kebutuhan dan keinginan menjadi begitu tipis dan sulit untuk dikendalikan. Satu hal yang sangat nyata saat covid-19 menyapa kita semua, semua orang belajar memilah mana kebutuhan, mana keinginan. Di mana peran kita dan apa yang kita perlu lakukan sesuai citra diri yang relevan. Meskipun hal ini juga dapat merupakan isu kontrol diri dari emosi yang kurang terkendali. Memang tidak mudah untuk memilah Kebutuhan vs Keinginan

Disadari bahwa beban ekonomi terasa berat saat ini. Hal ini semata karena ambang kesenangan dan hasrat kita telah bergerak terlalu jauh dari batas kebutuhan minimal untuk kesejahteraan dan hidup wajar. Tidaklah mudah, misalnya, mengganti vila tempat piknik dengan ruang kamar dan halaman rumah saja. Akan selalu merasa berbeda makan di dapur sendiri dengan pelayanan orang yang membawa makanan yang ditata dengan cantik di nampan. Selalu ada yang kurang saat hanya biasa berkendara dengan leluasa dibandingkan dengan duduk menghadap gawai.

Namun, apakah ada yang benar-benar hilang dalam kehidupan kita saat si Covid menyapa? Sakit, kematian, kehilangan harta benda, kesenangan dan lain-lain adalah hal alami yang terjadi setiap masa. Entah agen perubahnya dalam bentuk penyakit, bencana, ataupun siklus alam yang menjadi bagian dari hukum alam semesta. Di satu titik, saya melihat citra diri kita yang tidak realistis menciptakan penderitaan hidup kita yang lebih besar, daripada fakta kehidupan nyata yang sebenarnya baik-baik saja.

Mungkinkah kita salah mengambil peran?

“Ah mari kita bermain psikodrama lagi”

Bandung, 13 Desember 2020

--

--

Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama