Maya
sebuah cerpen
Ditangkupkannya kedua tangan di dadanya, “Terima kasih”, katanya sangat sopan. Ia tersenyum padaku dan berlalu membawa nampan kecil berisi bungkusan kecil keripik yang disusun rapi. Tak lebih dari 10 bungkusan yang sedikit berdebu, dengan harga Rp.5000 setiap bungkus. Kulemparkan sekantong kecil keripik di sebelah kursi yang kosong.
Maya namanya, ia gadis kecil dengan mata bulat menatap penuh percaya diri. Kulirik dari kaca spion mobil, Ia berjalan dari satu mobil ke mobil lainya yang berhenti di perempatan jalan lampu merah yang panas terik. Gadis kecil itu berkerudung dan memakai pakaian sederhana, namun bersih. Ia bergerak dengan cepat dengan sendal jepit karetnya yang sudah tipis. Sekarang ia bermasker yang sempat kuberikan padanya tadi.
“Emak gak bisa menyekolahkanmu, kamu bisa makan saja sudah untung”, desis bu Sumi sambil merangkak berusaha menggapai nampan. Maya tak menjawab, ia segera mengambil nampan dan membantu Emaknya menata jualannya pagi ini. Ia tahu persis bahwa Emak tak akan bisa membayar uang sekolah, apalagi membeli baju seragam, buku, tas, sepatu dan alat-alat tulis yang harganya tak terjangkau oleh mereka. Sejak Ayahnya meninggal satu tahun lalu, lalu ibunya terkena stroke, Ia tak pernah lagi pergi ke sekolah. Emak juga tak bisa berjalan dan bekerja seperti dulu. Emak hanya merayap di lantai, namun ia masih bisa memotong singkong dan menggorengnya. Ia harus menolong Ema melakukan mengerjakan rumah bahkan Ialah kini yang menggantikan tugas Emak belanja ke pasar, dan terutama menjajagakan keripik buatan Emak. Cemilan sederhana yang murah dan tak bermerk. Yang penting ini buatan Emaknya sendiri dan menghasilkan uang untuk memberi beras dan ikan asin.
Maya tak pernah mengeluh. Setiap hari berjalan sekitar 3 km ke pinggir kota dan menunggu lampu merah menyala untuk menawarkan jualannya pada pengendara mobil yang berhenti. Terkadang ada juga pengendara motor yang membeli jualannya. Saat duduk di tempat teduh dan kendaraan melesat pergi, Maya melirik penjalan kaki di trotoar, berusaha menarik perhatian mereka untuk berhenti sesaat dan berkenan merogoh recehan untuk membeli keripiknya. Ia berjualan tak kenal lelah dan tak berbatas waktu. Ia hanya pulang saat semuanya terjual, ia menukar uang pendapatannya dengan setengah kilo beras, dan lauk untuk makan hari itu. Terkadang ia mendapat sayuran gratis yang sudah layu dari penjual langganannya.
Hari itu Maya pulang lebih cepat, ia mampir ke kios buah. Ia ingin sekali membeli dua buah jeruk oleh-oleh untuk Emak. Hari ini ada yang memborong keripiknya dan uangnya lebih banyak dari harga keripiknya. Ia riang sekali menenteng keresek beisi jeruk di tangan kanan, beras dan telur di tangan kirinya. Wajahnya sumringah membayangkan Emak yang menunggunya tergeletak beralaskan tikar tipis di sepetak “rumah” mereka. “Emak…!,” Teriaknya lantang, tak peduli peluh dan rasa lelah tubuhnya. Terdengar batuk yang keras dan berulang dari dalam bilik yang berpintu kain itu. Rumah mereka hanya beralas tanah dan dindingnya dari anyaman bambu sudah berlubang di sana sini. Lubang itu juga seperti jendela saja untuk ventilasi udara, namun terkadang panas matahari dan angin malam juga tidak kompromi untuk ikut masuk.
Maya menyesal tak memindahkan Emak ke pojokan agar tidak terlalu kena angin siang itu yang terasa menyengat. Dipeluknya Emak, ia mengusap pipinya sendiri yang basah oleh linangan air matanya. Tangan Emak terasa dingin dan berkeringat, matanya tertutup, napasnya terdengar berat, badannya bergetar menahan posisi tubuh yang tidak stabil. Maya sedikit menyeretnya ke tempat yang lebih teduh dan terlindung. Mengabaikan rasa lelahnya, Maya tergopoh menuju pojok lain untuk menyalakan api, ia dengan sigap menyiapkan bubur dan telur untuk emak. Hanya berbumbu garam saja, bubur telur buatan Maya sudah enak. hari ini mereka makan mewah, dengan telur dan sayur bayem pemberian Bi Sumirah juga sebutir jeruk untuk mereka masing-masing. Namun Emak sudah tak merasakan lagi garam ataupun rasa jeruk di lidahnya. “Jeruknya manis ya Mak?,” Kata Maya. Emak hanya mengangguk dan tersenyum.
Setelah selesai membereskan piring, Maya segera mandi dan membantu Emak berwudhu. Ia sudah diajari shalat oleh ibu guru agama, jadi sekarang Emak menyuruhnya menjadi imam shalat. “Rabbigfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani shagiiroo.., aamiin,” tangan Maya mengusap mukanya yang basah. Ia membalik badannya dan meraih tangan Emak. Maya merasa cemas malam ini, karena Emak tidak banyak bicara dan badannya demam. Diambilnya handuk kecil dan baskom berisi air untuk mengompres dahi Emak.
Malam itu Maya tidur gelisah, ia merasa lelah tetapi hatinya terpaut pada Emak yang terbatuk sepanjang malam di sisinya. Maya beberapa kali terbangun, meraba dahi Emak, Ia sudah memberi Emak obat turun panas tadi, tapi sepertinya tidak berpengaruh. Akhirnya menjelang subuh, Maya tertidur pulas sampai pagi.
Ia memanggil Emaknya untuk melihat pemandangan indah di pinggir sebuah bukit. Emak berjalan dengan tegap, tidak merangkak lagi, ia menunjuk sebuah bangunan putih yang bercahaya. “Emak, itu rumah kita?”, seru Maya tak percaya. Emak mengangguk dengan senyumnya yang selalu menenangkan Maya. Tangannya meraih tangan Emak, namun seketika Maya tercekat dan bangkit dalam satu gerakan refleks. Mengapa tangan Emak dingin dan lemas. Maya menatap mata yang tertutup dan seulas senyum, sepertinya Emak tidur pulas dengan mimpi indah seperti yang ia alami.
“Maya tak boleh kembali ke rumah itu lagi”, kataku. Maya boleh memilih apakah mau tinggal dengan Bi Sumirah atau ke kota dengan ibu, aku memberinya pilihan. Maya juga tak perlu lagi bekerja, sekarang umurmu baru 10 tahun, kamu lebih baik kembali sekolah tapi boleh ikut membantu pekerjaan di rumah, apa saja di waktu luang atau libur. Maya menatapku dengan matanya yang lebih hitam dan bulat dari biasanya. Bi Sumirah dan aku menunggu dengan menahan emosi yang tak jelas lagi rasanya. Maya baru saja terlepas dari maut terpapar covid-19 dan menjalani isolasi di rumah sakit. Ibunya sudah dikuburkan di pemakaman khusus. Ia kini sebatang kara dan harus membuat keputusan penting tentang hidupnya sendiri.
Terlihat air mata meleleh di pipinya, mulutnya terkatup, kepala menunduk lesu. Ia menangkupkan kedua tangannya di dadanya. “Terima kasih Ibu,”katanya pelan.
Bandung, 8 Oktober 2021