Lintasan pikiran di waktu sahur
Pikiran negatif sering muncul tak diduga, pantas saja aku diajarkan beristigfar di waktu sahur.
#sebuah cerpen ramadan
Pagi itu terasa lebih mengantuk dari biasanya, sejuknya angin menyusup dari sela-sela jendela kamar menambah rasa malas untuk bangkit. Namun teringat akan hikmah bersahur dan tanggung jawab pada anak dan suami, Murni terpaksa bangkit dengan tubuh lemas. Rasanya Ia memang baru saja rebahan beberapa menit lalu.
Ia berjalan dalam keadaan mata masih tertutup, diseretnya badannya merayap merasakan pinggir pintu menuju kamar mandi. Kakinya terasa berat, dengan kepala yang ringan, sensasi yang kacau seolah bumi sedikit bergoyang miring ke kiri dan ke kanan.
Akhirnya ditemukan juga kran air di kamar mandi sebelah kamar tidurnya. Serasa air es yang membasuh mukanya, memancing matanya membuka sedikit, lebih segar. Ditatapnya lekat-lekat jam di tembok sebelah kiri kamarnya, Ia tak melihat dengan jelas panjang pendeknya, hanya terlihat sudut 90 derajat namun terbalik seperti piramida. Jam 3 pagi lebih 40 menit. Tebakannya pastilah benar, sebab Murni baru saja tidur menjelang pagi. Ini sudah terlambat dari biasanya.
Ia beranjak segera ke dapur, mencari bahan-bahan masakan yang sudah ia siapkan semalam yang ia simpan di dalam kulkas, hanya tingga mengoreng dan merebus 10 menit saja selesai. Pikirannya terus berkecamuk, bersamaan dengan bunyi piring dan gelas yang ditata rapi di meja makan.
Bukan karena shaum ini, yang membuat semangatnya terkuras. Beberapa bulan ini sungguh perjuangan berat bagi Murni dan keluarga. Bukan pula rasa malas terjaga di malam hari tapi situasi pandemik merubah segala rutinitasnya. Murni terbiasa tidur larut karena mengurus anak-anak yang masih bocah dan mengejar deadline pekerjaannya. Kini semua tugas kantornyapun harus dikerjakan online, tanpa bantuan si mbok yang membantu mengurus anak balitanya plus tugas domistik yang sekaligus bertambah. Penyesuaian dengan ritme baru, konflik kecil dengan pasangan serta perubahan jadwal dan percepatan segala hal yang membutuhkan daya pikir dan kesabaran untuk bertindak. Ia memiliki tugas berat mengurus regulasi kepegawaian, dan tahun ini menjadi tahun paling berat untuknya. Bagaimana ia harus memutuskan merumahkan sebagian besar karyawan pabrik. Memang itu kebijakan kantor dan perusahaannya, namun tak ayal ialah yang menandatangani suratnya. Rasa bersalah sekaligus keprihatinannya makin mendalam bila ia teringat pada sesama perempuan yang terdampak kebijakan ini. Para suami mereka kehilangan penghasilan.
“Ekonomi negeri ini bakal terpuruk!”, pikiran negatif itu cepat-cepat di tepisnya dan ia kembali melihat potongan tempe yang sedang ia goreng. Tempe seharusnya cukup menjaga ketahanan pangan dan gizi bangsa ini, pikirnya lagi. Asal tidak bermental seperti tempe, lembek dan gampang dipermainan bangsa-bangsa pecundang saja.
“Ah sudahlah!, waktu sahur sudah sangat mepet.
Dulu dead-line memancing adrenalinnya untuk mencapai prestasi kerja. Namun ramadan biasanya waktu senggang dan masa berlibur untuknya. Ia akan sangat berbahagia mengenang pula masa kecilnya yang menyenangkan menyambut ramadan seperti menyambut tamu agung. Demikian ibunya bertutur. Sejak kecil, ia terbiasa bangun sahur, maka Ia juga membiasakan hal itu pada anak-anaknya. Tetap semangat, walau mengantuk dan perlu upacara bujuk membujuk. Minimal agar anak-anak tidak merasa lapar ketika siang nanti dan menjadi rewel atau sakit. Baginya sebagai keluarga muslim, orang tuanya termasuk mengajarkan ketaatan dan kedekatan pada Tuhan dalam aktivitas ibadah sehari-hari.
Apalagi ramadan adalah satu set pelatihan komplit yang dilakukan secara kolosal. Sangatlah kecil peluang kurangnya motivasi untuk melakukan setiap proses aktivitas yang wajib dilakukan semisal menahan makan dan haus saja, anaknya umur 10 tahun saja bisa kuat. Shalat rame-rame berjamaah di masjid atau di rumah dengan imam yang selalu siaga segera setelah selasai suka cita makan berbuka, merupakan penghiburan dan kegiatan yang tampaknya sudah rutin Murni lakukan dari tahun ke tahun. Apalagi bila diiming-imingi dengan hadiah baju lebaran, kue-kue enak atau acara kumpul bocah halal bil halal khas budaya indonesia. Dia dan anak-anaknya biasanya hepi-hepi saja.
Ramadhan tahun ini bisa dia sebut sebagai “the new normal ramadan”. Tidak ada acara ngabuburit di masjid sambil mencari kolak atau menyiapkan menu iftar untuk jamaah. Tidak ada celoteh bocah yang mengantri setor hapalan quran. Walau terbata-bata dan cadel, Murni selalu tersentuh melihat si bocah berlari menyeringai mendapat jatah sekantung makanan yang berisi macam-macam itu. Ada kurma, manisan, permen, bakwan, dll. Setiap hari selalu ada hadiah yang berbeda. Anak-anak bersiaga menenteng mukena atau sarung dan sajadah, mencari tempat paling strategis untuk mengikuti kegiatan taraweh. Paling-paling tahan 4 sampai 5 rakaat, selebihnya mereka membuat kegiatan sendiri di selasar masjid. Anak-anak balita bersosialisasi dan bersukacita sambil menunggu waktu pulang bersama ayah atau bundanya selesai shalat witir.
Murni tersenyum geli sekaligus getir, mengingat anak gadis kecilnya yang waktu itu berumur 4 tahun berpura-pura menjadi ibu dalam satu set permainan drama di belakang punggungnya yang sedang shalat. Terus terang, Ia berjuang untuk fokus pada bacaan imam, namun obrolan anak-anak ini lebih jelas terdengar di telinganya. “Nanti kalau kamu sudah besar, kamu bisa menolong ibumu, mencuci baju dan menyiapkan sahur ya!”.
Ah anak-anak bocah ini memang sedang menginstall semua pelajaran yang kita contohkan. Betapa bersyukurnya ia, setidaknya ia tahu bahwa yang terekam oleh anaknya sesuatu yang cukup baik. Mengingat waktunya sangat terbatas dengan anak-anaknya ketika itu. Ia sangat sibuk bekerja di perusahaan multinasional yang memaksanya untuk pergi pagi pulang petang. Bahkan mengantar jemput sekolahpun ia delegasikan pada supirnya.
Kini Ia mengurus sendiri segala hal tetek bengek di rumahnya, urusan domistik ternyata jauh lebih rumit dan melelahkan daripada bernegosiasi dengan klien bulenya. Murni mengingat dengan jelas, saat-saat kini Ia merasa telah kehilangan banyak waktu bersama anaknya. Psikolog mengatakan masa emas itu ketika anak usia 3 tahun pertama, saat pola secure attachment terbentuk dan anak akan mengembangkan kemandirian serta konsep diri yang baik dimasa remajanya. Anaknya kini sudah remaja dan sudah mulai “tidak membutuhkannya” lagi. Setiap hari ia sibuk webinar dengan guru sekolahnya. Murni bahkan tidak dapat membantu pelajaran sekolahnya. Bukan Ia tak faham pelajaran dasar, tetapi anaknya jauh lebih pesat memahami cara mencari informasi instan melalui mesin pencari di internet. Jaman sekarang, buku fisik mulai tidak di gemari, sebab lebih cepat berselancar di internet. Diam-diam ia mengintip dan rasa was-was mulai menyelimuti hatinya. Bagaimana kalau-kalau Ia mulai menengok situs-situs pornografi atau terjebak dalam chat rahasia dengan seorang oknum jahat atau … .pikiran negatif kadang muncul baru-baru ini, kesadaran yang terlambat, mengingat selama ini ia selalu percaya dan bersikap cenderung permisif pada anak-anaknya.
Suaminya, terlebih memberikan kebebasan yang menurutnya tidak jelas, Ia berpikir bahwa anak-anak sekarang sudah tidak jamannya lagi seperti dirinya dulu. Orangtua dulu masih menggunakan cambuk ikat pinggang gara-gara tidak ke masjid atau telat pulang. Suaminya mengalami itu, dan bersumpah untuk tidak akan membuat jalan pendidikan dengan kekerasan di rumahnya. Bagi Murni, pilihan pendidikan keluarganya masih sebuah transisi antara ingin memberikan disiplin tapi juga ketidaksiapannya untuk membuat aturan dan bersikap tegas. Untungnya dia masih bisa selalu berkomunikasi dengan anaknya dan suami, karena kini ia memiliki waktu luang di rumah saja.
Masa “di rumah saja” memberinya kesempatan untuk mengevaluasi semua yang selama ini telah ia lalaikan. Pikirannya terus berputar meskipun tidak kehilangan kontrol tangannya yang sigap merapikan makanan yang panas di meja makan. Terkadang pikiran negatif itu mengacaukan konsentrasinya, namun kali ini Ia sadar diri bahwa semua itu hanya lintasan pikiran sesaat saja. Pantas saja kalau waktu sahur waktu yang penting untuk bermunajat, beristigfar dan berdialog dengan Tuhan. Murni mulai kembali fokus, kini ia mengumamkan dzikir dalam keheningan pagi yang terasa lebih hangat.
Sayur bening, tempe goreng dan dadar telur dengan selipan keju kesukaan anaknya sudah siap disantap. Membuat menu yang memancing anaknya merupakan PR nya sekarang. Bagaimanapun ia perlu strategi untuk membangunkan anak bungsunya tanpa rewel. Murni tahu kesukaan suaminya, teh hangat dengan sepotong cemilan manis. Ia sendiri menyiapkan teh hijau dan beberapa butir kurma. Shaum juga dapat mempercepat program dietnya. Sehingga selalu dia selipkan kurma atau jus nabiz, rendaman kurma kesukaan Nabi saw untuk sahur pagi itu.
Rasa penatnya hilang seketika bersamaan dengan celoteh bocah umur 5 dan 7 tahun beradu argumentasi dengan si kakak yang sudah tampak seperti “ibu” bagi adik-adiknya.
Nikmat mana lagi yang tidak patut dia syukuri. Semuanya akan baik-baik saja. Pikiran negatifnya hanya nya iklan sesaat, ia berjanji untuk belajar mengontrolnya dengan dzikir dan berbagai jurus menghadapi stress masa pandemik. Ia beristigfar, dan kini semakin yakin bahwa saat ini Tuhan hanya sedang memberi ekstra pelajaran sabar di bulan pelatihan ini. Murni menarik napas dalam-dalam, hatinya terasa lebih hangat dalam balutan selendang penutup udara pagi hari itu.
###
Ngabuburit di rumah saja.
Bandung, 21 Mei 2020