Langkah Seorang Ibu
in Memoriam Ibu Hj. D Ruyati Hasbullah
“Mertuamu itu adalah orang tuamu, Ibu suamimu adalah ibumu, Ayah suamimu adalah ayahmu,” demikian wejangan Ibu Hj D Ruyati Hasbullah yang selalu terngiang di telinga saya. Tak pernah saya lupakan dan tentu saja saya berusaha untuk memperlakukan ibu dan ayah mertua saya sebagai orang tua saya sendiri. Sejak dalam pikiran dan hati, saya belajar menjadi seorang anak bagi orang tua suami saya. Tampaknya nasehat ini juga satu gelombang dengan harapan suami ketika dia memilih saya, “saya ingin memiliki istri yang bisa menjadi teman bagi umi,” demikian versi paksu kala itu.
Nasehat pernikahan ini sebenarnya sebuah visi tentang keluarga, tertancap begitu kuat seperti benih yang tumbuh dengan baik dan berusaha saya jaga, benih cinta yang dihadiahkan dari seorang ibu, nasehat seorang ibu, juga pengaruh yang ditanamkan dalam sanubari saya sebagai seorang anak, seorang menantu, seorang istri dan seorang saudara bagi ipar-ipar saya kemudian hari.
Wejangan pernikahan itu disampaikan Ibu Hasbullah saat pertama kali bertemu beliau tahun 1996. Pada hari itu, Uminda mertua saya mengundang keluarga besar orang tua saya. Kami disambut dengan meriah oleh keluarga besar suami, kami merayakan bersatunya dua keluarga dalam ikatan perkawinan saya dan suami. Kita mengenal acara ini dengan sebutan ngunduh mantu. Umi mengatakan sengaja mengundang sahabatnya untuk memberikan nasehat perkawinan untuk kami. Sebuah ekspresi cinta pertama bagi kami, Sebuah titik nol yang mengubah hidup kami seterusnya.
Sejak itu saya memanggil beliau dengan ibu Hasbullah, terkadang saya memanggilnya Umi, seperti anak-anak beliau memanggilnya demikian. Sebagian orang dan cucu-cucunya memanggil beliau dengan Eyang atau Eyang Ema. Umi (ibu mertua saya) menyebut beliau sebagai sahabat terbaiknya. Saya memang dapat merasakan bahwa beliau adalah sahabat ibu mertua saya, ibu Hj.Nur Elok. Suaminya Bapak KH. Hasbullah, adalah juga sahabat karib ayah mertua saya, Bapak KH. Umar Ahmad. Walaupun karena faktor usia, saat itu mereka sudah sangat jarang bertemu dan sibuk dengan garapannya dan lalu masa tuanya masing-masing.
Saat itu Ayah mertua saya adalah Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah yang berkantor di Antapani. Sedangkan Ibu dan Bapak KH. Hasbullah dikenal sebagai Pendiri Yayasan Darul Hikam. Ibu Hasbullah konon katanya aktivis Syarikat Islam dan salah satu dari wanita berpengaruh dalam pergerakan wanita. Saya merasa terkoneksi melalui jalur pertemanan ibu mertua saya dengan beliau. Seorang ibu bagi saya bisa saja ia ibu biologis, ibu pengasuh, ibu mertua atau ibu spiritual. Mengingat beliau membuat saya teringat pada ibu saya sendiri, dan pada umi yang menjadi awal dari semangat dalam hampir seluruh aktivitas dan keputusan yang saya lakukan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
Saya sempat tinggal di rumah mertua, dan berkesempatan bersama suami mengawal Umi saat bepergian khususnya kegiatan ibu-ibu atau menemani abi mengurus organisasi Muhammadiyah. Dengan demikianlah saya ikut mengenal kawan-kawan seperjuangannya melalui kunjungan silaturahim. Walaupun saya hanyalah “anak kecil” dan tidak begitu memahami persoalan pergerakan dan dakwah besar yang sedang mereka lakukan. Justru karena itulah, saya menemukan media untuk belajar menjadi seorang anak dan menempatkan Umi dan Abi sebagai orang tua saya dalam perannya yang lebih luas di masyarakat, bukan hanya ketika kami di rumah saja.
Salah satu kegiatan publik pertama saya mengenal mereka (para ibu) adalah pada tahun 1997, yaitu pada saat syukuran pembangunan gedung 6 lantai RSAI Bandung. Tetapi ini juga sekaligus kegiatan terakhir ibu mertua terlibat dalam aktivitas wanita islam. Kita mengetahui bahwa Rumah Sakit Islam Bandung lahir dari buah pikiran dan prakarsa para ibu-ibu yang tergabung dalam organisasi Badan Kerja Sama Wanita Islam (BKSWI) Jawa Barat. Saya merasa bangga, mulai saat itu saya melihat jejak aktivitas “dua orang ibu saya yang baru ini”dalam gerakan keagamaan para wanita muslimah. Saya mampu menghayati betapa mereka mampu menyusun barisan yang teratur dan berpengaruh di masyarakatnya.
Suatu hari saya terkoneksi kembali, pada tahun 2004, ketika saya membantu Darul Hikam merintis layanan psikologi untuk sekolah atas permintaan dari Bapak KH. Sodik Mudjadid, putra tertua beliau. Sayapun sempat berinteraksi kembali dengan beberapa putra putri beliau yang saya anggap seperti kakak saya juga. Kelak sayapun berkenalan dengan cucu beliau, bapak Yudha dan berangkat bersama menunaikan ibadah haji pada tahun 2014. Bahkan cucu beliau ini adalah pembimbing haji saya.
Banyak orang yang sungkan dan mungkin tidak terlalu berani berbicara langsung karena kedudukan Eyang Ema. Tetapi saya sendiri, saat bertemu tanpa ragu akan mendekatinya dan mencium tangannya. Beliau mengingat saya, ketika saya bilang, “Saya mantunya Umi Elok”. Saya tahu kakak-kakak ipar sayapun akan melakukan hal yang sama, dan beliau akan menatap kami dengan sukacita.
Mengingat aktivitas para ibu ini, bukanlah hal aneh bagi saya, saya mengenal ibu kandung saya sendiri melakukannya. Pengajian, kegiatan keagamaan dengan ibu-ibu di majlis taklim, mengajar, membangun citra keagamaan yang lekat dengan organisasi islam di akar rumput yang berubah menjadi gerakan inspirasi bagi masyarakat sekitarnya dan lalu menyebar ke wilayah yang lebih luas. Pengaruh seorang ibu dibawa oleh anak-anak mereka, murid-muridnya juga para sahabat dan orang-orang lain yang mengenal dan menemukan inspirasi bagi mereka.
Hari ini saya mendengar Ibu Hasbullah tutup usia, beliau wafat di RS Al-Islam bandung, pada hari jumat, 12 November 2021, pukul 22.15. Air mata saya mengalir deras, walaupun secara biologis saya mungkin tidak ada kaitan sama sekali dengan beliau, saya menyadari, jiwa kami terkoneksi sejak lama. Saya juga menjadi teringat kembali pada nasehat beliau, saya membayangkan pertemanan beliau dengan umi, semangatnya, cinta dan pengabdiannya.
Mereka para pejuang di jamannya, meninggalnya ibu Hasbullah menggenapkan dua pasang suami istri kembali kepada Sang Pencipta dengan suka cita dan penuh iringan doa dan cinta dari kita semua. Kiranya Allah berkenan mengumpulkan kembali mereka bersama dalam ridhoNya, dalam Syurga terbaikNya, dalam keabadianNya. Saya menyakini Ibu Hasbullah akan bertemu kembali Uminda Noor Elok, Abinda Umar Ahmad, Bp Hasbullah di alam berikutnya dalam keadaan damai dan bahagia. Ketika Ayah mertua saya meninggal, lalu Ibu mertua, lalu juga Bapak Hasbullah, saya tak sempat menuliskan apapun, saya kehilangan kata dan air mata. Masih terlalu banyak hal yang belum tuntas saya serap dari pengalaman hidup mereka.
Hari ini, kita kehilangan lagi salah satu figur wanita terbaik yang kata dan perbuatannya tanpa cela, hanya perlu kita tiru dan kita jaga selamanya untuk kemudian kita wariskan pada generasi berikutnya dan berikutnya. Akan banyak orang lain yang memiliki kenangannya, setiap orang akan memiliki catatannya, nasehatnya, yang berbeda dengan apa yang saya terima. Semuanya sesuai dengan tema dan misi hidup mereka yang relevan. Saya tidak tahu persis apa yang mereka lakukan, namun dapat melihat bukti karya yang telah mereka rintis, membayangkan bagaimana seorang ibu bagi anak-anaknya, seorang istri bagi suaminya, seorang aktivis islam di jamannya, sama-sama berjuang di jalanNya dan memberikan pengaruh kuat bagi kita generasi berikutnya. Walau satu kalimat itu yang langsung beliau sampaikan pada saya, tetapi itulah obor bagi hidup saya menjalani hidup berkeluarga.
Para orang tua ini yang mereka telah menitipkan jejak karya yang belum tentu mampu kita lakukan lagi, namun kita bisa melanjutkannya saja dengan baik sudah akan menjadi hadiah jariah terindah sepanjang jaman. Dan para orang tua ini yang tidak khawatir dengan kehidupan dunia, tetapi hanya akan berwasiat seperti wasiatnya Nabi Ibrahim as dan Nabi Ya’kub as kepada anak cucunya, “ Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim” (QS Al-Baqoroh ayah 132).
Bandung, 13 November 2021