Konflik peran
“Teh Iip,
Saya sudah berusia 33 tahun, tapi sampai detik ini saya merasa tidak percaya diri. Saya merasa gagal dalam menjalankan peran peran saya, baik dalam pekerjaan maupun sebagai ibu. Saya bekerja sebagai dosen dan manajer HR.
Gagal di sini membuat saya merasa tak berharga. Ketidakberhargaan ini membuat saya makin tidak percaya diri sehingga akhirnya tidak ada yang bisa saya lakukan dengan baik.
Sebagai pekerja, saya jarang bisa melakukan pekerjaan saya dengan maksimal dan terbaik karena waktu semakin sedikit, harus pulang cepat karena menjadi ibu sehingga pekerjaan kadang tidak selesai. Sebagai ibu, anak saya yang besar usia empat tahun sering tantrum, cari perhatian saya. Karena di rumah saya masih kepikiran pekerjaan yang belum selesai. Dan ketika pulang saya harus menyusui anak saya yang kedua yang masih berusia 15 bulan, sehingga anak saya yang pertama semakin cari perhatian.
Usaha saya dalam menyelesaikan pekerjaan saya antara lain adalah menurunkan standar kerja saya. Tapi ini membuat saya kurang berhasil di pekerjaan sehingga membuat saya semakin tidak percaya diri. Beberapa hal riil yang terjadi adalah tidak ada mahasiswa yang mau bimbingan dengan saya, padahal sayadosen cukup lama. Malah mahasiswa cenderung memilih dosen yang sangat baru tanpa mereka kenal sebelumnya.
Sekarang dalam pekerjaan sebagai HR Manager saya ingin menumpahkan ide dan gagasan saya, namun lagi-lagi karena waktu bekerja terbatas saya tidak bisa memberikan usaha lebih. Hanya seadanya. Karena waktu yang terbatas itu, saya hanya iya iya saja, apa kata bos saya, padahal saya tahu yang dia usulkan belum yang terbaik.
Kalau boleh saya cerita masa lalu saya, saya cukup “diarahkan”oleh ibu saya. Bahkan sampai memilih baju dan bahkan jurusan kuliah, sehingga saya rasa saya terbentuk menjadi orang dewasa yg tidak lihai dalam membuat keputusan. Jadi saya sangat khawatir mengenai pendapat orang lain atas saya.
Saya ga tau Teh Iip. Apakah hal-hal ini membuat saya makin merunduk atau makin gak PD. Tapi jujur saya ingin mengubah mindset dan self healed. Saya ingin lebih percaya diri supaya saya bisa berpendapat tanpa memikirkan pandangan orang lain, saya lebih meyakinkan ketika berbicara dan semakin merasa berharga.
Terima kasih Teh Iip. 😆”
Bahasan kasus
Seorang ibu memiliki banyak peran dalam keluarga, pekerjaan dan lingkungan masyarakat sosialnya. Sebut saja, seorang ibu dengan anak-anak di rumah, istri bagi suaminya, ia juga seorang anak atau menantu. Bahkan ada banyak ibu yang memiliki karier dan menjadi pegawai di kantor, pemimpin di lingkungan sosialnya, dan sebagainya. Setiap peran ini menuntut tanggung jawab dan konsekuensinya masing-masing. Karena itu, diperlukan kapasitas berpikir, waktu, tenaga dan dukungan lingkungan yang memberikan kesempatan untuk memungkinkan peran-peran ini dapat dilakukan dengan baik.
Bila peran-peran ini saling bertentangan atau sebagiannya tidak dapat diselesaikan dengan baik karena kekurangan pengetahuan dan keterampilan untuk dapat mengerjakannya, atau tidak dikelola dengan tepat baik karena kekurangan waktu, dan tenaga yang tersedia, tugas-tugas tentu saja tidak akan dapat diselesaikan tepat waktu, dilakukan asal-asalan, dan hasil yang diperoleh pun tidak optimal. Peran ini mulai akan menjadi beban. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Selanjutnya, kita menjadi lelah, tidak produktif, tidak dapat fokus saat melakukan apa pun, menjadi emosional dan tak berdaya.
Bila keadaan ini terus berlanjut, fungsi-fungsi psikologis kita akan semakin melemah, merasa bersalah, malu, merasa tak berharga, khawatir mendapatkan penilaian negatif dari orang lain, konflik dengan pasangan, rekan kerja, kehilangan rasa empati pada orang lain sehingga self esteem semakin terkikis. Hal-hal tersebut di atas sangat wajar terjadi pada situasi yang chaos dan tidak terkelola dengan baik.
Sebelum menerima suatu tanggung jawab, seringkali kita tidak sempat bertanya pada diri sendiri, apakah kita mampu dan tahu bagaimana menghadapi dan menyelesaikan tugas dan kewajiban kita.
Bisa saja, kita terbiasa disuruh dan tak kuasa menolak, atau kita tak memiliki kebebasan untuk memilih sendiri apa yang kita lakukan. Kemandirian berpikir dan bertindak menjadi suatu hal yang tidak ujug-ujug, keterampilan ini perlu dilatih, bahkan secara alami, mulai muncul pada usia masa remaja awal saat kita mulai mengerti bahwa kita adalah makhluk yang terpisah dari orang tua kita yang mengasuh dan mengatur kita. Keyataannya, tidak semua proses ini berjalan dengan baik, karena seringkali tidak ada kesempatan untuk mengembangkannya.
Pengalaman masa kecil dan perlakuan dari orang tua dan lingkungan terdekat memang memberikan pengaruh, dan tidak mudah untuk mengubahnya. Seringkali kita pun melakukan hal yang sama pada anak-anak kita, kita sering menolong dan atau mengatur sekaligus tanpa menyadari bahwa hal tersebut ternyata membuat anak kita menjadi pribadi yang kurang asertif di kemudian hari.
Setelah dewasa, kadang kita menjadi malu menolak tugas, tidak nyaman bila tidak dapat menolong orang lain walaupun kita sebenarnya tak sanggup, atau melakukan segala sesuatunya sendiri dan tidak berani meminta tolong pada orang lain, takut mendelegasikan tugas atau mengganggap bahwa kita yang harus bertanggung jawab atas semua tugas tersebut.
Kemandirian bukan hanya soal melakukan sendiri, tapi juga bagaimana berdamai dengan kapasitas diri sendiri. Kemandirian juga inheren di dalam diri kita. Kita hanya perlu melatih memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab pribadi dengan cara yang tepat.
Bahkan tidak heran bila isu kemandirian masih relevan pada setiap orang, termasuk para pemimpin negeri atau pejabat sekalipun. Kemandirian yang saya maksud adalah kesadaran bahwa kita makhluk yang memiliki pilihan, dan memiliki hak untuk menentukan diri sendiri, memilih kebaikan dan kebenaran dalam bersikap untuk kepentingan diri sendiri atau bahkan memilih menjadi jahat pada orang lain atau zalim pada diri sendiri. Setiap pilihan kita membawa konsekuensinya masing-masing.
Kita sering lupa, bahwa kita akan menanggung akibat dari pilihan tersebut. Dalam kasus terbatas ini, kita bisa memulai dari mengenali apa saja tugas-tugas yang diberikan oleh peran-peran yang terlanjur kita pilih dan kita harus terima. Seberapa siap pengetahuan, waktu, tenaga, keterampilan dan dukungan lingkungan yang tersedia yang menunjang keberhasilan terlaksananya tanggung jawab ini. Kebutuhan apa saja yang perlu kita penuhi untuk dapat meningkatkan kapasitas diri agar peran-peran ini tidak menzalimi diri sendiri dan bagaimana mengelolanya. Mengelolanya terkait dengan menentukan prioritas, alokasi waktu, tenaga, jumlah tugas dan strategi-strategi menghadapi masalah yang mungkin akan muncul.
Secara teknis, kita dapat memulai dari menuliskan kembali daftar prioritas peran, apa saja tugas yang harus dilakukan, berapa lama dan kapan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, di mana, dengan siapa, adakah yang dapat membantu, apakah bisa didelegasikan atau dilakukan bersama orang lain.
Peta peran ini menjadi penting, agar kita memahami dan mengukur kapasitas diri dan sekaligus memberikan makna apa yang paling penting dalam hidup kita, dan mana yang tidak perlu diperjuangkan dan mengabaikannya untuk kebaikan diri sendiri. Dalam setiap tugas akan terkandung juga nilai hidup dan penghayatan kita bahwa hal-hal tersebut memberi kita kebaikan dan bahkan kebahagiaan.
Kondisi psikologis seperti rasa lelah psikis, kekhawatiran, tidak percaya diri mungkin saja akan muncul walaupun tugas sudah kita lakukan. Karena sebagai manusia, kita selalu memiliki pengharapan dan juga keinginan untuk mendapatkan sesuatu dan kejadian dalam hidup kita berakhir dengan baik. Karena itu kondisi emosional perlu diatasi dengan berbagai strategi healing, melatih fokus, mindfullness, me-time, kegiatan perenungan dan proses evaluasi diri untuk menengok ke dalam diri hal-hal apa yang mungkin terabaikan. Kebutuhan dalam diri kita, sering dinomorduakan karena memenuhi tuntutan orang lain, tuntutan orang tua, suami, anak, pimpinan dan tugas-tugas dan sebagainya.
Filosofi jaket pengaman saat keadaan darurat penting kita ikuti, self safety first. Kita tak mungkin melakukan apa pun untuk orang lain termasuk merawat anak, suami dan berprestasi di tempat kerja, bila diri kita sendiri dalam keadaan rapuh. Maka mengelola emosi dan memahami kebutuhannya merupakan prioritas nomor satu sebelum kita mampu menanggapi tugas dan tanggung jawab dari luar.
Menurut saya , ada beberapa hal yang dapat dilakukan:
1. Menumbuhkan kemandirian, berdamai dengan kapasitas diri sendiri.
2. Menuliskan daftar prioritas pekerjaan
3. Melatih fokus , mindfulness, me-time, kegiatan perenungan dan proses evaluasi diri.
4. Mengelola emosi dan memahami kebutuhannya.
5. Bergabung dengan orang-orang yang positif untuk menumbuhkan rasa percaya diri
6. Positif mindset sehingga kita lebih sehat
7. Jangan ragu meminta bantuan orang lain dalam hal pekerjaan apabila pekerjaan tersebut dapat didelegasikan.
8. Berdiskusi dengan pasangan untuk berbagi porsi peran dalam mengurus buah hati.
9. Beribadah, memohon kepada yang kuasa agar dapat menjalani semua keputusan yang diambil.
10. Melakukan me-time, hal-hal yang disukai agar pikiran lebih rileks.
11. Tingkatkan percaya diri, berani mengungkapkan sesuatu (ide), dan belajar menolak sesuatu yang dianggap bertentangan (kurang baik). Utarakanlah apabila itu baik.
12. Melakukan pendekatan dengan rekan kerja, mahasiswa, kenalkan diri kepada mereka, perlihatkan sisi-sisi terbaik atau positif kita kepada mereka agar mereka mengenali.
12. Yakinlah ketika kita memancarkan energi positif, semesta pun akan merespon positif dan kembali kepada kita.
Self care dan selamat berkarya.
Bandung, 23 Maret 2020