Photo by Chris Sabor on Unsplash

Konflik horizontal

Iip Fariha
6 min readMay 6, 2020

Pertanyaan tentang konflik horizontal dan tanggapan dalam sudut pandang Psikologi Positif khususnya teori Logotherapy.

“Bismillah”

“Teh Iip, salam kenal. saya D, kawan seangkatan A dan W. A pernah info sebelumnya tentang wacana gelar event psikodrama di Cikarang kan ya? Saya yang rencana untuk adakan event itu di sini. Hanya qadarullahbelum memungkinkan saat ini.🙏🏼

Pertanyaan saya mungkin agak global, mencermati fenomena sosial saat ini. Bukan berarti tidak ada struggle dalam kehidupan saya pribadi, tapi alhamdulillah saat ini masalah pribadi sudah menjadi hal yang manageable. Insya Allah pola solusinya sudah tergambar jelas.

Menyikapi kecenderungan manusia zaman sekarang Teh Iip😅 terutama pascapilpres 2014, saya perhatikan polarisasinya semakin kuat ya di masyarakat. Tidak bertambah baik saat pilgub DKI, kasus A**k dan pilpres tahun lalu. Seolah kebencian satu sama lain di masyarakat semakin menguat, yang mengakibatkan cara bersikap terhadap banyak fenomena (bahkan yang tidak berhubungan dengan politik sekalipun semisal bencana alam😞) digoreng menjadi bahan bakar perseteruan politik.

Saya perhatikan, manusia semakin egois, masing-masing merasa paling benar, dan menutup pintu dialektika yang seharusnya kita rawat guna mencapai society wisdom. Jika saja ini terjadi hanya pada ajang debat para politikus di TV, saya tidak akan terlalu ambil pusing. Tapi ini bahkan sudah menjajah ruang silaturahim antarkerabat, kawan dan kolega. Orang bisa left WAG hanya karena perbedaan pendapat yang sebetulnya topik yang diperdebatkan tidak ada kaitan yang signifikan terhadap hidup keseharian. Tetangga tidak saling menyapa, paman dan kemenakan saling mendendam. Bahkan yang absurd, seorang istri bisa diceraikan suami lantaran beda pilihan.

Yang miris, dalam kehidupan beragama, saling mengafirkan, mengecap munafik, saling menghujat bukan lagi jadi hal yang aneh. Jangankan pada yang beda agama, yang satu agama pun begitu.

Sikap temperamen, saling hujat saling nyinyir, baperan , tidak mau mendengarkan opini lain, tidak mau mempertimbangkan sudut pandang lain itu seolah sudah sangat melekat dengan kita saat ini.

Saya termasuk orang yang memilih mengalah atau diam demi kerukunan. Tapi ternyata diam itupun tak luput dari penghakiman. Terkadang saya memposisikan diri sekadar sebagai pendengar, atau joker yang mencairkan suasana dengan humor. Tapi sesungguhnya hati saya pun remuk, melihat betapa banyak kawan yang berubah menjadi “beringas” atau sosok yang seolah tidak saya kenal di tahun-tahunbelakangan ini.

Dari state berusaha tenang, tetap menyuarakan pendapat dengan santai, berusaha memaklumi background, hingga bingung dengan kata hati saya sendiri versus opini yang berkembang apalagi jika itu bermodal dalil-dalil agama, overwhelmed sampai akhirnya numb sudah saya lewati. Jujur, saya menjadi sangat pemilih dengan siapa saya bisa menyuarakan isi hati. Saya menjadi tidak mudah percaya orang lain, karena terlalu sering melihat betapa sosok-sosok yang dulu saya familiar menjadi terlihat asing. Atau jikapun berinteraksi, topik yang dipilih pun dipastikan di “zona aman”. Sampai-sampai saya berpikir, apakah ini salah satu yang dimaksud dengan “sihir” dajjal di akhir zaman.

I’m not happy about this for sure. Saya berkeyakinan, awalnya ini memang set by design (otoritas behind the screen yang evil) tapi kemudian klik berhasil memicu keluar penyakit-penyakit hati yang lama bersemayam pada diri kita semua sehingga skenario jahat “mereka” pun seolah seperti mengendarai sepeda di jalan turunan — sudah tidak perlu susah mengayuh lagi, karena sudah meluncur dengan sendirinya.

Mohon pencerahan Teh Iip. Saya rindu suasana 6–10 tahun ke belakang. Sungguh kita sudah sangat jauh berubah”.

(anonim-kasus dari grup WA)

Psikologi adalah ilmu tentang perilaku manusia, selain ilmu-ilmu humaniora yang lain, hampir tidak ada satu teori yang dapat memadai untuk menjelaskan fenomena manusia. saya memilih satu pendekatan logotherapy yang cukup relevan dengan kasus ini. Walaupun Frankl berbicara tentang kebebasan manusia untuk menemukan “makna hidup”, tetapi bisa saja seseorang yang sama-sama memiliki alasan yang positif dan mengusung suatu tujuan yang benar untuk bertindak, tetapi gagal melakukannya dengan cara yang baik. Maksud saya, kita juga menemukan ketidak konsistenan pada pola perilaku manusia dengan cara pandangnya.

Misalnya saja orang beragama tetapi tidak memiliki nilai spiritual dan terjebak dalam ritual dan dogma ( agama sebagai hukum dan ritual, tapi kering secara spiritual ). Juga sebaliknya ada orang yang baik tetapi tidak ingin mengikatkan dirinya pada aturan Tuhan ( spiritual yes, agama no ). Dengan demikian saya tidak heran pada fenomena bercampurnya konflik keagamaan, politik, ekonomi dan kemanusiaan. Kebetulan kita adalah negeri yang paling heterogen, baik ras, agama, suku bangsa, bahasa, pandangan hidup. Karenanya sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menggoreng isu-isu ini agar terjadi perpecahan dan kehancuran pada bangsa ini.

Tentu saja kita tak ingin negeri kita yang indah ini hancur karena kesalahfahaman atau karena kita ikut berkontribusi merusak sendi-sendi kebangsaan yang secara heroik sudah di perjuangkan oleh para bapak bangsa kita dulu. Kita bisa berbeda agama, ras, keyakinan, suku bangsa, dll. Memang begitulah Tuhan ciptakan manusia. Untuk apa? Agar kita belajar mengenali satu sama lain, belajar saling menghargai, mendukung untuk berbuat baik dan melarang orang lain berlaku dzalim. Tapi perlu cara yang baik untuk melakukannya, kadang kita masih punya PR dengan diri sendiri juga sehingga kitapun tak akan luput dari perbuatan buruk pada orang lain. Jadi kita sama to…?

Perhatian dan kepedulian itu tanda kebaikan masih ada dalam diri kita.Tapi kita juga perlu mengukur diri, apa posisi kita dalam pertarungan ini? Apakah kita punya pengaruh dan lingkar pengaruh yang mampu mengubah keadaan ini? Apakah ada sumber daya yang akan membuat tindakan kita berguna? Bagaimana caranya kita memberikan kontribusi? Apakah cara-cara kita tepat dan dapat diterima?

Saya juga teringat pada pemikiran kuno Socrates tentang berpikir kritis itu perlu didasarkan pada 3 hal, apakah sesuatu itu benar ?. Bila jawabannya ya, apakah hal itu juga baik ?. Bila baik, apakah ia bermanfaat? Maka tujuan benar saja tidak cukup, perlu cara-cara yang baik untuk melakukannya. Dan baik saja tidak cukup, apakah ada manfaatnya untuk kita dan memberi manfaat untuk orang lain?? bila tidak, tinggalkan saja. Mubazir dan tidak prioritas.

Sikap saya terhadap berbagai perseteruan dan konflik horizontal dan vertikal adalah dengan mengajukan 3 pertanyaan tersebut dan mengukur lingkar pengaruh saya pribadi. Bukan tidak perlu kita terlibat dan peduli, tetapi apakah hal itu menjadi prioritas kita dan terjangkau oleh lingkar pengaruh kita untuk mengubahnya. Alih-alih membantu memperbaiki keadaan, banyak dari kita tergerus secara emosional dan tidak dapat menjaga kesejahteraan psikologisnya dengan baik. Lalu kita kehabisan energi dan tidak sempat melakukan hal lain yang lebih penting dan prioritas.Waktu hidup kita terbatas, mari pilih mana yang paling utama.

Saya juga teringat pada semboyan seseorang/anonim yang menjadi salah satu prinsip hidupnya Aa Gym. Bila saya ilustrasikan, kira-kira begini :

“Saya ingin mengubah dunia, ternyata saya gagal dan frustrasi, lalu saya beralih ingin mengubah negara. Namun sekali lagi saya juga gagal dan kecewa. Saya berusaha untuk mengubah keluarga saya dan sayapun gagal. Akhirnya saya berfokus untuk mengubah diri saya sendiri dan saya berhasil”.

Kini…

“Setelah saya mampu mengubah diri saya, maka ternyata keluarga saya ikut berubah, masyarakat melihat itu dan menjadi terinspirasi untuk berubah. Maka duniapun berubah”.

Kita tahu semua orang-orang yang sampai pada level spiritualitas yang baik, melakukan hal itu. Gandhi, Bunda Teresa, Nelson Mandella, Martin Luther King, Yesus, Nabi Muhammad saw, dll . Merekalah model dan tauladan seluruh umat manusia. Mereka penuh cinta dan kasih pada sesama, dan terlebih mereka amat sangat peduli pada kualitas dirinya sehingga cinta dari dalam hati mereka itu berkelimpahan memenuhi alam semesta.

Itulah pengaruh “lingkaran pengaruh” yang saya maksudkan. Kabar baiknya, agama pun menyuruh kita memulai membuat benteng pada lingkaran pengaruh yang paling kecil. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Percayalah bahwa satu orang yang baik, bisa mengubah dunia. Maka fokuslah pada satu orang saja dan itu adalah diri sendiri.

Begitu kita memiliki sikap positif dan bertindak dengan positif, maka lingkungan terdekat kita lebih mudah berubah dan menjadi lebih positif. Demikian seteruskan lingkar pengaruh ini akan bertambah besar dan melingkupi seluruh bangsa. Beri kesempatan pada setiap orang untuk mengubah dirinya sendiri lebih dulu.

Bandung, 31 Maret 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet