Konflik di perusahaan
Belajar memaafkan situasi dan oknum diluar lingkar pengaruh
“Apa kabar Bu Iip?
Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Terbiasa menjadi tumpuan, meskipun kami besar bersama. Saya memilih topik tentang kantor saya saja ya.
Saya bekerja di sebuah institusi negara selain Indonesia. Warga Negara lokal lebih banyak. Sementara warga negara negara lain asal institusi tersebut berganti-ganti setiap 2–4 tahun sekali (titelnya bos). Nah, saya punya kekurangan bahwa saya nggak bisa nampil. Hal inilah yang ternyata menjadi sandungan. Karena kalau pas dapat bos yang enak dan mau lihat kerjaan kita, maka saya aman, atau sebaliknya.
Tujuh tahun lalu datanglah empat bos di Departemen saya. Kebetulan (maaf nyentuh gender) semua perempuan. Salah satunya disebut senior, yang lainnya deputi. Jadi bentuknya departemen saya ada tujuhunit. Ada yang besar, sedang, kecil jumlah pegawai lokalnya. Ada dua unit yang dirangkap. Kebetulan unit saya (saya sendiri pegang kontrak-kontrak) jarang dirangkap karena memang agak kompleks.
Ibu senior ini membawahi dua unit. Salah satunya ada pegawai lokal yang singkatnya (haduh perempuan juga) bilang menolak bekerja dengan saya. Bermulalah semuanya.
1) Seluruh kontrak yang mulanya saya pegang (dari 0) harus saya berikan kepada rekan lain karena si Ibu Senior menolak saya yang handle.
2) Tanpa ada kesalahan apa pun, saya dipanggil oleh salah satu deputy. Saya tiba-tiba mendapat surat peringatan bahwa saya harus memperbaiki kinerja saya (?) dalam waktu 45 hari. Selama itu saya hanya disuruh belajar online.
3) Terakhir saya ketahui setelah mereka semua meninggalkan departemen saya, tiba-tiba saya diturunkan grade sekali lagi tanpa kesalahan apa pun.
Jadi kalau kata orang HR-nya, ini bukan tentang orang tapi tentang posisi. Posisi saya yang semula hanya saya sendiri, jadi ada dua org. Jadi kerjaan saya enteng dong (katanya sih gitu). Bahkan HR lokal (tega ya orang-orang lokal) bilang, “You sign it or resign.” Saya juga diminta untuk tidak melakukan appeal atau banding. Saya marah pada supervisor lokal yang saya anggap tidak mampu melindungi saya.
Setelah mereka pergi, penggantinya pun memilih nggak ambil action, karena dia hanya pegang unit saya satu tahun. Karena umum masih berpikir saya di grade yang lama, mereka tetap minta advise seperti yang dulu- dulu. Gaji memang tidak berubah. Beberapa kontrak yang mulanya saya pegang terus dioper ke orang lain, sedikit kocar-kacir. Misalnya, ada kontrak tentang sewa mobil. Kalau saya ada, [saya] paksa driver dilindungi BPJS Tenaga Kerja (TK). Ternyata oleh orang baru (yang posisinya sama degn saya) dia ignore, nggak diperiksa. End up with, driver-nya kecelakaan, dikeluarkan tanpa dapat pesangon, padahal sudah kehilangan kakinya. Tapi sih kayaknya nggak jadi hal yang menyulitkan hati mereka. Saya hanya geleng-geleng kepala… Seperti bukan urusan saya tapi satu saat pasti ini jadi hal yang tidak baik buat kesehatan mental saya.
Mengapa saya tidak resign? Saya menyukai pekerjaan saya. Terlepas supervisor saya yang seperti itu, teman- teman sekerja saya masih lumayan. Selain saya sudah 26 tahun bekerja di sini, Maret ini. Saya biasa dengan standar dan iklim kerja di sini. Kalau boleh, saya ingin pindahnya sini-sini aja deh.
Ada yang menyarankan saya pergi konsultasi atau mentoring. Belum saya lakukan. Saya khawatir curhat-nya jadi lebay dan melebar kemana-mana. Tapi saya tetap merasa marah dengan bos-bos yang sudah pergi itu, karyawan lokal HR itu, bahkan supervisor saya. Sejak itu memang pekerjaan saya diringankan yang mana “wah ini mah bukan saya banget”. Contohnya saat WFH (work from home) ini, saya masuk, tapiyang urgent dilempar ke orang lain, karena saya akan sibuk jika orang-orang sudah harus meninggalkan Jakarta. Mungkin saya akan sibuk tapi tetap boleh minta bantuan nantinya.
Saya mencoba move on, tapi kok berat. Pekerjaan saya memang ringan dibanding dulu tapi terasa berat. Saya tahu rezeki itu nggak cuma kerjaan. Ada keluarga, ada kesehatan… tapi kadang terpikir, apa ya kesalahan saya sama orang itu padahal kami kerja di unit yang beda. Kontrak yang saya pegang pun tadinya kerja barengnya nggak sama dia. So, I need a method of self-healing”.
Ulasan Kasus
Belajar Memaafkan Situasi dan Oknum di Luar Lingkar Pengaruh
Kasus konflik di tempat kerja dengan melibatkan ketidakadilan sering terjadi. Bagaimanapun akan selalu saja ada seseorang atau suatu institusi bahkan pada level negara membuat kebijakan tidak adil atau memihak pada satu kepentingan lain yang memang menguntungkan bagi mereka. Hal ini sering terjadi karena unsur-unsur gender, ras, bangsa, budaya dan lain-lain.
Saya bukan orang yang tahu persis kondisi lapangan di perusahaan multinasional. Namun kasus konflik kepentingan selalu melibatkan banyak persoalan pada level personal, antardivisi dalam perusahaan, kepentingan ekonomi, sentimen ras atau bangsa, bahasa, bahkan politik, sehingga sulit memilahnya dan memahami apa yang menjadi akar dari masalah tersebut.
Seringkali pada posisi Teteh, lalu menjadi korban dari suatu keadaan yang saya sebut di luar lingkaran pengaruh Teteh untuk dapat mengatasinya. Namun sebetulnya, kita sebagai manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apakah kita mau membiarkan diri menjadi korban atau menjadi subjek yang memiliki daya dan kekuatan untuk memilih, menimbang, mengukur sejauhmana hal itu mengganggu kita. Apakah situasi yang membuat hidup kita stres tersebut dapat diterima, dapat dikendalikan, dapat diabaikan atau kita kita ubah.
Menurut Victor Frankl, dalam situasi yang sangat stres, manusia terbagi menjadi dua, saint (orang suci) atau swine (babi). Ada manusia yang bersih dan selalu berbuat baik walaupun dalam kondisi terancam kematian, dan ada pula orang yang menjadi seperti babi yang hanya mencari keuntungan nafsunya sekalipun hal itu harus dibayar dengan menindas kawannya sendiri. Hal ini akan tampak pada situasi genting seperti yang Frankl temukan di kamp konsentrasi Nazi, atau mungkin kita akan merasakannya saat wabah covid-19 ini.
Manusia memiliki kebebasan untuk memilih hidupnya (freedom of will). Dalam pilihan hidup kita akan selalu kita mencari makna (the will of meaning). Meaning itu selalu bersifat spiritual. Setiap manusia selalu mencari maknanya dari kehidupannya, dan yang berhasil akan merasakan kebermaknaan hidup (the meaningfull life) walaupun dalam situasi yang tampak sebagai sebuah penderitaan bagi orang lain (meaning of suffering). Konsep ini akan saya ulas lebih dalam nanti ketika membahas kasus wabah dunia covid-19. Insya Allah.
Dalam kasus Teteh (penanya) memilih tetap tinggal dan bertahan, namun dengan mengorbankan kondisi kesehatan mental tentu juga tidak adil untuk diri sendiri. Sebagai contoh kehilangan rasa harga diri, tidak well-being, terabaikan, menjadi kambing hitam atau dikorbankan dan sebagainya. Dalam situasi ketika kita tak punya kekuasaan untuk mengubah keadaan, keadaan itu hanya bisa diterima. Banyak hal yang bukan menjadi kewenangan dan tanggung jawab kita untuk mengubahnya, misalnya mengapa ada pimpinan yang pilih kasih, mengapa aturan perusahaan tidak diterapkan secara benar dan jujur. Akan tetapi, kita tidak perlu membiarkan diri kita untuk kehilangan harga diri, diperlakukan tidak adil dan bahkan membiarkan diri tergerus secara psikis. Pilihan adalah kunci, namun tidak mudah dilakukan. Konsekuensinya memberikan kita suatu pilihan lain.
Tentu Teteh punya pertimbangan dan lebih paham akan situasi dan kondisi yang membuat Teteh memilih. Saya yakin pilihan itu saat ini mungkin yang terbaik dan paling masuk akal, meskipun mungkin juga sifatnya sementara, sebelum ada pilihan lain yang lebih baik.
Sebelum pada teknik healing (penyembuhan) yang dibutuhkan, saya ingin mengingatkan bahwa kita hanya bertanggung jawab pada diri sendiri, pada pilihan sikap kita dan sumber daya serta lingkaran pengaruh yang kita punya seperti saya sampaikan tadi. Barangkali bukan kewenangan kita memilih pemimpin, tetapi kita bisa memilih untuk tetap asertif menghadapi pimpinan yang seenaknya, atau kita masih dapat melakukan negosiasi dan melawan ketidakadilannya dengan menyampaikan fakta dan hak-hak kita dengan cara yang cerdas, atau mungkin ada bagian dari sifat-sifat pemimpin itu yang perlu kita abaikan dan tidak perlu menyakiti diri kita, sebagai contoh cara dia berbicara atau membuat keputusan yang tiba-tiba. Selama hal itu mampu kita imbangi dengan fleksibilitas kita. Mungkin kita perlu memaafkan “kebodohan” pemimpin kita karena kurangnya pengalaman atau ketidakmampuannya berempati. Toh, hal itu tidak akan membuat diri kita terluka. Bab ini akan bisa dipahami bila kita mengerti konsep pemaafan, suatu teknik healing yang mungkin relevan pada kasus ini .
Ada banyak teknik healing yang bisa kita lakukan, antara lain memaafkan. Memaafkan bukan membiarkan kezaliman terjadi pada diri kita. Memaafkan melibatkan kondisi pikiran dan perasaan serta tindakan tertentu, dimana kita memilih menjadi subjek dalam situasi ketidakadilan yang terjadi. Memaafkan bukan sekadar pasrah tanpa daya, memaafkan itu perlu menerima atas apa yang terjadi dengan pemahaman yang lengkap terhadap situasi yang dihadapi. Memaafkan tidak sekadar netral terhadap situasi ketidakadilan ataupun menahan marah, tetapi memperbolehkan diri kita merasa marah, namun mengelola marah tersebut sehingga kita tidak di bawah kendali kemarahan. Seperti memaafkan juga sangat relevan dengan situasi chaos saat ini, bukankah demikian??
Banyak teknik memaafkan yang dapat kita latih, yang bisa kita gabungkan dengan teknik yang sudah saya bahas sebelumnya. Memaafkan dengan melibatkan perhatian-penuh-sadar (mindfullness), dengan menggunakan tapping, atau dengan modifikasi butterfly hug (pelukan kupu-kupu).
Berikut secara teknis akan saya uraikan salah satunya.
1. Tutuplah mata, fokuslah pada napas Anda. Lakukan hal ini sekitar tiga menit. Setelah anda merasa lebih tenang lanjutkan langkah kedua.
2. Amati peristiwa, amati pikiran Anda, apa yang muncul? Pemikiran itu kadang memicu perasaan negatif. Bila Anda mampu, usahakan untuk mengubah pemikiran tersebut. Kuasai pemikiran Anda, tetap rasional dan objektif. Bila pemikiran dikuasai, perasaan anda bisa berubah menyertai perubahan cara pandang anda.
3. Bila Anda merasa peristiwa itu melibatkan orang lain, bagaimana Anda selama ini menyikapinya? Apakah selama ini Anda pasif dan membiarkan Anda menjadi korban? Maka pikirkanlah, apa yang ingin Anda ubah, sebagai SUBJEK apa yang dapat Anda lakukan sehingga dapat merasakan emosi yang diinginkan. Tanyakan pada diri Anda. Anda dapat menuliskannya dan merenungkan kembali langkah-langkah yang akan anda lakukan dengan cara yang lebih positif.
4. Mulai hari ini belajarlah untuk asertif dan bertindak sebagai subjek, sampaikan hal-hal yang membuat Anda tidak nyaman dengan cara yang dapat diterima oleh orang lain dengan tetap menghargainya, sehingga orang lain dapat memahami bahwa perbuatannya telah mengganggu diri Anda.
5. Bila Anda merasakan emosi yang begitu negatif, berlatihlah untuk mengalirkannya. Kenali emosi ini, sadari sejak kapan munculnya dan asal-usulnya. Niatkan untuk mengendalikan pusarannya. Katakan pada diri Anda: Saya menyadari perasaan, mengenalinya dan biarkan perasaan itu makin kuat pada tingkat maksimum, lalu Anda perlahan turunkan kembali sehingga Anda mampu meredakannya. Rasakan bahwa Anda mampu memunculkan perasaan itu sekaligus mampu menghilangkannya.
Seperti saya sampaikan di atas, teknik ini bisa Anda lakukan dengan kombinasi tepukan tapping, body movement ataupun duduk dengan perhatian-penuh-sadar (mindfullnes). Bila Anda kesulitan untuk melakukannya sendiri, karena sebab terlalu kuat perasaan dan pikiran negatif yang muncul, maka saatnya Anda berkonsultasi dan mengikuti sesi terapi.
Bandung, 27 Maret 2020