Kemandirian Anak Jaman Now

Iip Fariha
7 min readSep 13, 2022

--

Photo by Julieta Viola Cañás on Unsplash

“Anak ibu belum mandiri bu, belum bisa mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar kami,” Aku menguping penjelasanan ibu guru di ruang sebelah. Sang ibu dari anak itu hanya memoyongkan mulutnya yang merah membara, sambil mengomel di belakang, “Kenapa gak sekalian kuliah aja ya anak saya, kalau sudah mandiri mah!”.

“Apa yang terjadi saat guru dan orang tua membahas kemandirian anak?” Mereka berdebat dan menyakini bahwa anak-anak sudah sesuai dengan standar mereka. “Standar siapa?”

Menurut para ahli psikologi perkembangan, otonomi dan kemandirian anak merupakan kebutuhan dasar anak yang perlu difasilitasi. Anak-anak sering mencoba melakukan sesuatu sendiri untuk menguji kemandirian mereka. Mereka mencoba membuka kaleng coklat kesukaanya, mengikat tali sepatu dan memakai piyama sendiri, memanjat pohon untuk memetik buah dan lain-lain tanpa mengharap bantuan orang dewasa lainnya. Anak-anak merasa dirinya kompeten dengan keberhasilan yang mereka perlihatkan. Kita menyangkal hal itu sebagai sesuatu yang sepele, seperti kesuksesan kecil dan tidak sabar untuk selalu membantunya. Supaya keinginan mereka segera terpenuhi, supaya pekerjaaan kita tuntas dan supaya kita, para orang tua yang selalu cemas tidak lagi ketar ketir menunggu mereka mengerjakan dengan cepat, terluka atau menangis karena frustrasi.

Kemandirian ini sendiri terus bertahap semakin kompleks dan dan menjadi titik tolak pembentukan identitas diri mereka sebagai anak yang memiliki kompetensi sesuai usianya. Itu hanya terjadi bila kita memberinya ruang dan kesempatan untuk melatihnya.

Isu kemandirian merupakan salah satu kegelisahan saya. Anak tunggal yang diperoleh dengan kesulitan dan waktu yang lama membuat pikiran negatif terkadang menerobos muncul dalam kesadaran. Anak tunggal kan tentu saja tak punya saudara kandung, jadi tampak seolah sendirian, pikiran negatifku membuat cemas dan menduga-duga apa yang mungkin terjadi saat dia tak mampu mengurus dirinya sendiri. Bagaimana bila hal-hal sepele dan masalah serius menghampirnya dan kepada siapa ia perlu datang saat ia perlu pertolongan.

Aku mencoba memaafkan diriku atas kekhawatiran itu. Wajar bukan, seorang ibu memikirkan anaknya, aku butuh validasi atas emosiku. Dimanapun didunia, anak adalah pusat perhatian, pencapaian apapun dalam rumah tangga, karier, pendidikan, semua akan hilang. Namun seorang anak akan meneruskan jejak kehadiran kita setelah kita tiada. Barangkali misiku mulai tercetak sejak militansi masa dewasa awalku tentang gagasan estafeta generasi. Sepertinya terlalu jauh dan menambah beban tentang apa sih sebenarnya yang perlu dipersiapkan dari definisi kemandirian seorang anak. Tapi tak bisa dihindari dan kita perlu menyiapkannya.

Bertolak belakang dengan kasus diatas, aku mencoba memfasilitasi peluang melatih kemandirian anak, walaupun dengan tergoda untuk terus mengawasi dan memastikan bahwa ia mampu melakukannya.

Dasar emak-emak!

Kemandirian anak SD tentu saja akan berbeda dengan anak mahasiswa. Lagi pula anak-anak bertumbuh dengan bertahap dan menunjukkan perubahan signifikan justru saat kita tidak terlalu banyak melakukan intervensi karena saking ingin menolongnya.

Dulu, aku rajin mendampingi emak-emak di sekolah, itu sudah lama sekali, saat anaku juga masih belajar mengeja dan melatih motorik halusnya. Sekalian menguji teori dan praktek di lapangan. Cukup banyak tip dan kata kunci yang selalu kuselipkan ketika mendampingi anak saat acara parenting di sekolah. Salah satunya adalah “Mari ajari cara bagaimana melakukannya, lalu biarkan mereka melakukannya sendiri. Kita hanya perlu ada didekatnya saat kapan mereka memerlukan pertolongan, kita membimbing dan menjaga mereka, bukan mengambil alih apa yang ingin mereka kerjakan”. Sepertinya petuah ini berhasil kuterapkan pada diriku sendiri, walaupun terkadang hal itu terlupakan, saat cemas kita melanda.

Kemandirian yang diperlihatkan Anandaku, melesat melebihi dugaanku. Walaupun terkadang “standar” pribadi membuat kita tetap betah menjadi orang tua yang overcritic. Tak pernah puas dan selalu memberikan masukan, saran, bantuan dan ujung-ujungnya mungkin memaksakan kehendak atau membuat keputusan bahwa apa yang perlu mereka capai adalah apa yang kita inginkan. Bagaimanapun orang tua memiliki pengalaman dan sudah hidup lebih dulu setidaknya seperempat abad sebelum dia lahir. Berdalih bahwa kita lebih ahli dan bijak. Namun juga sebenarnya pemaksaan tanda ketidaberdayaan dan kegambangan kita akan masa depan yang tidak pasti. Berusaha membuat aturan dan disiplin sering menjadi saran untuk orang tua. Meniru apa yang terjadi dalam pola asuh yang kita peroleh atau mencoba untuk mengubahnya karena merasa tidak lagi relevan. Namun sering tak akan sanggup setegas itu walaupun terkadang malah terlalu halus untuk disadari, bahwa seringkali kita membuat perbandingan dan terutama itu semua hanya karena pengalaman kita telah terbukti benar.

Aku sudah diajari menata pakaian di lemari, termasuk bagaimana melipat, menumpuk, mengatur dan menyimpan dan cara menariknya keluar sehingga tidak berantakan. “Siapa yang peduli isi lemari kacau balau?”, mungkin pemikiran itu mampir di benak anak-anak kita. Kita yang tak bisa menerimanya, maka kubereskan sendiri sambil mengomel dan bolak balik mengingatkan agar mereka melakukannya persis seperti yang kita lakukan. Kita lupa bahwa mereka mungkin sudah berpikir tentang hidup yang lebih sederhana dan bertanggung jawab tentang isi lemari. Pakaian itu tidak perlu terlalu banyak, bila perlu cukup beli baju bekas yang masih bagus demi menyelamatkan bumi. Lalu pilihlah yang warnanya sama, agar lebih mudah lagi mengelola penampilan yang tidak akan membuat orang menyadari bahwa sebenarnya baju kita hanya 3 potong, saking hemat dan praktis. Itulah anak muda sekarang.

Kemandirian tidak hanya tentang apa yang kita lakukan, tetapi juga tentang apa yang dipikirkan, pertimbangan dan keputusan yang diambil.

Seorang ibu mengeluhkan komunikasinya dengan anaknya, tiba-tiba saja anak yang sangat baik hati dan penurut telah menilainya sebagai pengatur dan tidak pernah memahami keinginannya. Sang ibu tidak pernah menyangka dan juga tidak mengerti apa maksud dan keinginan anak itu. Mereka selalu memberikan semua hal terbaik, Menyekolahkan anak di sekolah yang bagus walau mahal, menitipkan anaknya di tempat kursus ini dan itu, mendorongnya untuk memiliki hobi, teman bermain dan rekreasi. Bahkan sampai mobil dan rumahpun ia masih sanggup menyediakannya. “Anak Mami” seringkali patuh dan menyenangkan hati ibu, sebagaimana sang ibu juga mudah mengatur dan memanjakannya. Namun sesungguhnya ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang diinginkan anak. Keputusan itu perlu diuji, kita melakukannya sesuai dengan kebutuhan dan minatnya dan apakah hal itu juga membuat mereka berdaya dan memiliki kompetensi yang menjadi modal dalam membangun kemandirian dan harga dirinya.

Terkadang kasih ibu yang tanpa akhir ini menjerumuskan anak pada ketidak mampuan atau merasa tak pernah dimampukan. Suka cita dan kebahagiaan justru lahir dari upaya keras dia mencapai sesuatu. Seperti kegembiraan para pendaki gunung yang berhasil menatap langit di puncak tertinggi, mereka merasa bangga dan mampu membuktikan kompetensi mereka setelah mereka berdarah-darah merangkak sampai di puncak. Lagi-lagi, mana ada emak-emak tega membiarkan anaknya berlelah-lelah merangkak naik gunung demi mengejar matahari pagi, bila saja bisa menyediakan helikopter untuk mengantarnya berada di puncak. Apa enaknya mendapatkan kesenangan dengan duduk manis dan tidak mengeluarkan hormon adrenalin yang berubah menjadi hormon kebahagian secara alami.

Sungguh tak mudah memahami keinginan seorang ibu, seorang ibu terkadang bersikap protektif pada anak. Menolong anak karena bikin emak hepi dan merasa aman, alih-alih menjadikan anak melatih hidup mandiri, justru mengurangi kesempatannya untuk meningkatkan kompetensi dirinya dan memiliki harga diri. Orang tua terkadang selalu memiliki standar, alih-alih mengakui kemampuan mereka dan tolong diterima saja apa adanya mereka walaupun tak sesuai standar orang tua. Mereka seperti saya, ingin memastikan anaknya tidak menderita tetapi bahagia. Kenyataannya penderitaan itu hanyalah awal dari sebuah pencapaian dan kebahagiaan yang lebih tinggi.

Kemandirian yang kita maksudkan juga seringkali menggunakan standar saat kita juga tumbuh dan mendewasa sebatas yang kita ingat. Jadi akupun terkadang minta maaf ketika secara sporadis mengomeli anak semata wayang tentang betapa berantakan kamarnya, tidak bisa mengurus cucian atau tidak merapikan kembali bekas makannya. Aku belajar mencuci, menyetrika dan merapikan baju sejak SD. Helloo… kemana saja anak sekarang, pikir kita mereka nggak bisa membiasakan hidup tertib sesuai dengan kemauaan kita. Kita lupa, bahwa terkadang hal itu hanya terjadi sekali waktu dan anak-anak terus berubah.

Anak abegeh kita sebenarnya disiapkan untuk dunia lain dan mandiri untuk dunia yang berbeda. Mereka secara alamiah menguasai teknologi, kita yang masih rempong bagaimana caranya menggunakan gadget jaman now. Mereka memiliki akses pendidikan dan wawasan yang berlimpah saat kita harus pergi mencari kliping koran ke kota.

Well, kemandiran macam apa yang kita harapkan ataukah kemandirian yang diperlukan oleh jaman yang relevan dengan anak-anak kita saat ini?

Anak abegeh sekarang sedang mempersiapkan masa pendewasan mereka. Terlalu berani dan serampangan menurut kita, ia memang lebih berani bermimpi. Mimpinya berbeda dengan kita, mereka berani melangkah lebih jauh dan hidup mengurus dirinya sendiri dengan segala perubahan sistem yang terjadi dengan pesat di lingkungan sosial dan masyarakatnya.

Mungkin saja saat kita memberi mereka kesempatan untuk belajar apa saja dan tidak berasumsi tentang apapun di luar sana. Mereka tahu bahwa dunia perlu dijelajahi. Ketika kita berjuang juga untuk belajar menerima bahwa kemandirian itu adalah saat ia ternyata jago mengatasi hambatan dunianya sendiri, mengerjakan tugas-tugas yang bahkan kitapun tak sanggup karena gagap teknologi, menjadi ketinggalan jaman dan kurang berwawasan dibandingkan mereka.

Standar pendidikan misalnya, saat ini adalah minimal mencapai strata magister, lebih baik ke luar negeri dan menggunakan bahasa asing. Penguasaan bahasa asing, hidup di tengah lingkungan sosial yang beragam bangsa, bisa masak dan makan makanan mereka. Pengalaman baru, walaupun menakutkan, tetapi merupakan kesempatan untuk melakukan ekslplorasi dan akhirnya pencapaian pribadi. Mungkin dengan demikian definisi kemandirian di masa awal kedewasaan pelan-pelan tercapai sesuai dengan jamannya. Ini bukan standar, yang perlu diterapkan pada semua orang. Tetapi anak memiliki kesempatan dan peluangnya yang luas. Mereka hidup di jaman global dimana mereka berdialog dengan berbagai bahasa dan memiliki mobilitas hidup yang tinggi. Pada saat yang sama, mereka berusaha untuk menjadi lebih praktis dan simpel dalam mengelola hidup sehari-hari.

Mungkin mencuci dan menggosok baju jaman ibunya tak relevan lagi, cara memasak dan menu makananpun dengan cepat berubah. Pilihan pakaian, tempat tinggal, dan bagaimana mereka akan bekerja dan menjalani hidup tidak akan sama lagi dengan pilihan dan standar kita. Saya terus belajar juga untuk meningkatkan kemandirian diri sebagai orang tua.

Seorang klien paruh baya membuat saya belajar lagi.

Seorang ibu yang baik hati memutuskan untuk membuatkan rumah untuk anaknya yang sebenarnya sudah berpenghasilan, bukan ucapan terima kasih yang diperoleh. Seorang anak yang kini sudah mendewasa berubah menyalahkan ibunya yang selalu mengatur hidupnya. Naah, sepertinya ini suatu isyarat bagiku sendiri. Barangkali peer kita orang tua sekarang adalah belajar untuk melepaskan secara sempurna batas kemandirian anak-anak bahkan ketika kita akan mulai mengalami situasi empthyness lebih awal.

Seberapa rela kita tak menolong anak memakai sepatunya sendiri, sudah mewujud menjadi seberapa siap kita ditinggal pergi oleh mereka pada jarak perjalanan lebih dari 6 jam penerbangan. Mungkin suatu hari nanti seberapa berani kita akhirnya melepas anak kita untuk mengurus hidupnya sendiri, tanpa bayang-bayang orang tua. Sepertinya kita masih perlu belajar dari orang tua kita yang merelakan kita memilih dan menentukan hidup kita hari ini.

“Anakku, kita hanya membekali dan menguatkan sayapmu hingga kau siap menjadi kupu-kupu cantik, namun kita tak kuasa untuk menahan dirimu saat kau sudah benar-benar bisa terbang”. Doa dan keridhoan kami sebagai orang tua, semoga menyertai ridho Allah besertamu.

Sumber bacaan :
Mohammad Fauzil Adhim, Positive Parenting. Mizan Media Utama: 2006
Yeti Widiati, Anak Disayang Anak Berkembang.Paradigma: 2020

Bandung, 13 September 2022

--

--