Kapan berdamai dengan covid-19?
Sebuah renungan akhir bulan ramadan,dan setelah 2 bulan lebih masa pembatasan sosial diberlakukan. Apakah kita sudah mulai dapat berdamai dengan covid-19?
Pertanyaan ini muncul begitu saja, saat pagi hari saya mengganti seprei. Sudah 2 kali kembali ke warna krem lagi, sejak 6 macam warna seprei dipakai selama masa pandemi ini. Biasanya kegiatan ganti seprei tidak terlalu diperhatikan, apalagi bila aktivitas tindaklanjutnya dibantu oleh tukang laundry atau ada bibi pembantu rumah tangga. Namun saya selalu melakukan sendiri dan ini hanyalah rutinitas biasa yang tidak pernah membebani, sehingga kadang saya tidak begitu ingat seprei mana yang mau dipakai, dan kapan perlu menggantinya. Hari ini saya ingin menggantinya karena esok akan lebaran.
Berbeda bila kita tidur di ruang sewa publik seperti hotel atau apartement, kita pasti mengecek apakah itu seprei baru atau demi keamanan,-atau mungkin demi rasa aman- malah kita sudah menyiapkan selembar seprei dan bantal dari rumah. Banyak orang menerapkan prosedur kebersihan seperti itu. Tak tega tidur di atas seprei bekas pakai, apalagi tidak jelas siapa yang tidur di sana sebelumnya. Tentu saja hotel berbintang menerapkan standar penggunaan seprei dan semua peralatan di kamar dengan menggantinya setiap hari. Apakah seprei ada hubungan dengan covid-19? Terkecuali seprei rumah sakit yang diganti tiap hari, tentu seprei di rumah relatif lebih aman, bukan?.
Karena debu membuat bersin atau gatal dan kemerahan pada kulit, saya cenderung obsesif pada kebersihan. Otomatis mengelap atau selalu bersih-bersih bila mau duduk, memastikan meja rapi dan tertata, dan tentu saja lantaipun perlu dicek dengan telanjang kaki. Bila mulai terasa berdebu, maka sudah pasti lap, sapu dan pel beraksi. Hingga semua prosedur itu begitu mengganggu dan menguras energi yang seharusnya digunakan untuk pekerjaan lainnya, dan saya belajar berdamai dengan debu. Kita tak pernah tahu isi debu, mungkin sebagian besar ber-isi berbagai jasad renik tak kasat mata , seperti juga virus bukan?
Berdamai bagi saya adalah melawan kecenderungan berlebihan dalam kebersihan sambil memperkuat daya tahan tubuh saya agar tidak mudah alergi terhadap debu. Caranya adalah dengan membiarkan sekali-kali rumah saya tidak saya bersihkan dan memang terasa sekali debu itu mengganggu. “Tidak apa-apa”, kuucapkan selalu dalam hati, sambil memberikan sugesti untuk menerima sensasi di kulit yang awalnya tidak nyaman. Prosedur kebersihan tetap dilakukan namun tanpa rasa khawatir ataupun terganggu dengan sang debu. Bila ternyata tak sempat bersih sesuai standarpun, tak apa-apa, toh hidup tak harus sempurna, saya masih merasa nyaman dan sejahtera saja. Hasilnya debu tak lagi membuat gatal dan pikiranpun bersih dari parno, tindakan lebih wajar, tak lagi obsesif.
Saya menemukan suatu kesadaran akan perilaku obsesive yang awalnya adalah respon normal pada saat alergi kulit, menjadi pintu kesadaran baru lainnya akan upaya proses belajar berdamai dengan alergi dengan menerima keberadaan debu di sekitar saya tanpa kehilangan rasa kebersihan yang wajar dan alami.
Sekarang kita menghadapi bahaya bersama dan kita sudah ingin mengakhiri keadaan abnormal pandemi. Tapi saya tidak tahu apa maksud berdamai dengan virus covid-19 ini. Bagaimana prosesnya dan apakah semua orang memiliki kapasitas untuk melewati fase pengujian daya tahan tubuhnya atau ambruk dan meninggal sebelum perang dimulai. Apakah semua tindakan abnormal dan obsesive masal ini bisa menumbuhkan kesadaran lainnya tentang pentingnya keselamatan diri?. Apakah pembiasaan upacara berganti pakaian setelah bepergian, mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, kaca mata dan prosedur abnormal lainnya perlu dihentikan demi menakar seberapa kuat daya tahan kita pada virus ini? ini tentu sangat beresiko.
Apakah kita anggap sudah aman kembali berjabat tangan, berkerumun demi mencari kue lebaran dan bertemu kerabat dan tetangga saat lebaran?. Sungguh kita merindukan suasana cipika cipiki itu sambil mengucapkan kata basa basi candaan, “ Wah cantiknya!” , atau “ih bajunya bagus sekali, kapan-kapan kupinjam ya!” atau “Bulan depan buat aku ya, kakak kan pasti bosan!”. Apakah aman kita berkumpul di lapangan atau bersama keluarga secara terbatas? Apakah kita terima saja semua aktifitas ini dengan alasan tetap menjaga jarak kontak fisik ini agar kita mampu terlatih menerima kehadiran virus diantara kita?
Ah saya belum punya ide dan tak menilai bahwa pola berdamai dengan debu bisa diterapkan dengan covid-19 ini. Tampaknya tidak sesederhana gatal dikulit dan mandi dengan sabun setelah berelasi sosial.
Saya terkejut melihat sebagian respon orang yang terkesan ephoria, gembira ria menyambut pengurangan pembatasan sosial yang sempat diterapkan beberapa bulan ke belakang. Padahal di beberapa kota atau provinsi lain di negri yang luas ini, virus justru baru mulai beraksi di ruang publik. Banyak yang meramalkan akan terjadi ledakan kasus baru, ada yang marah dan membuat hastag terserah deh. Sebagian sejak awal malah hepi-hepi saja tak peduli teriakan pak polisi bahkan pak walikota yang terpaksa turun ke jalan. Tenang saja tuh memburu pusat perbelanjaan yang masih menerapkan prosedur cek suhu dan pembatasan jumlah pengunjung, namun manusia bermasker berjubel di jalanan. Sebagian petugas polisi dan keamanan masih bersitegang dengan orang-orang di jalanan, malah ada yang sempat adu jotos dan demo dalam kerumunan bersama petugas diantara mereka. Sungguh pemandangan aneh dan membingungkan. Kita tak tahu apakah ini gejala ketidakpedulian atau suatu harapan positif yang berlebihan, atau tentang pertarungan antara diri dengan “diri” mereka masing-masing. Motif yang ada di dalam diri, tentang apa yang menggerakkan prilaku seseorang itu tidak selalu sama dengan apa yang tampak di permukaan.
Menyapu, mengepel, mengelap, membersihkan kaca, menyikat kamar mandi, menyapu halaman, merapikan perabot, membersihkan alat-alat makan dan segala tetek bengek urusan bersih-bersih dari mulai dapur sampai kamar tidur bukan hal yang sederhana. Apalagi bila ditambah dengan penggunaan disinpektan, cuka apel, alkohol, dll. Bagi yang menyukai kegiatan house keeping, itu hal yang mengasyikan. Bagi yang tidak biasa atau tidak memiliki sense of house keeping art- sebut saja dengan istilah gaya begitu-, semuanya akan terasa menyiksa. Apalagi bila diembel-embeli dengan dicurigai ada virus menempel dan hanya bisa dikerjakan sendiri, karena tak ada lagi pembantu rumah tangga yang mau bekerja atau menambah parno kehadiran virus yang bisa menyebar seantero rumah. Jadilah kegiatan kebersihan menjadi siksaan tersendiri. Apalagi tanpa acara piknik atau relaksasi dari mbok tukang pijat setelah seharian bersih-bersih.
Namun walau terpaksa dilakukan, saya menduga atau tepatnya berharap bahwa kegiatan bersih-bersih ini sudah mulai menjadi pola rutin bagi sebagian besar orang. Mungkin harapan saya tidak tepat. Walaupun Inilah tindakan abnormal yang menjadi prilaku wajar saat ini. Apa boleh buat, bila kita membuat skala dari apa yang diajarkan melalui rasa, dari rentang ekstrim obsesive terhadap kebersihan sampai rasa ogah dan ketidakpedulian terhadap keselamatan diri dari infeksi virus. Lalu dimana letak skala berdamai dengan virus ini?
Baiklah, saya menemukan beberapa indikator skala kesiapan kita melalui pertanyaan berikut:
Pertanyaan pertama: Seberapa penting kebersihan dan kesehatan bagi anda?
Seberapa sering anda ganti seprei? Seberapa sering anda bersih-bersih? Seberapa anda peduli pada kegiatan cuci tangan, mandi, ganti baju, menyapu halaman, mengurus sampah dan semua aktivitas bersih diri dan lingkungan sebagai bagian dari kepedulian pada kesehatan?.
Banyak orang menyangka bahwa kehadiran pandemi mengajarkan kita hidup sehat dan bersih pada level paling dasar. Proses belajar memang memerlukan waktu, pola atau skema yang diulang-ulang serta role model yang memberikan contoh berprilaku. Belum lagi tentang kapasitas dan kompetensi setiap orang pada level masyarakat yang ada. Bila melihat respon yang beragam terkait pembatasan ruang sosial, pola hidup, interaksi sosial yang terjadi, rasanya tidak semua menangkap pesan itu.
Pertanyaan kedua: apa yang menjadi fokus dan prioritas anda?
Apa yang akan anda pilih, pergi berdesakan di pasar demi mencari harga lebih murah atau menghemat belanja dengan menu seadanya dari tukang sayur keliling. Pergi mengantri dipintu mall mencari baju baru atau mencukupkan dengan baju lama walaupun tak bisa tampil cantik di hari lebaran. Menjaga sosial distancing dengan “di rumah saja” dengan segala kebosanannya atau menebus kangen dengan kawan atau kerabat dengan kumpul-kumpul. Menciptakan rasa diri nyaman dan aman dengan tetap beraktivitas normal atau tetap menerapkan prosedur ketat kebersihan sebagai aktivitas normal yang baru. Menjadi relawan kesehatan di zona merah yang makin luas atau jaga diri sendiri tetap sehat dan berharap mengurangi beban para nakes yang bekerja di layanan kesehatan. belajar menggunakan daring atau bersitegang dengan satpol PP demi memenuhi kebutuhan sekunder. Berubah pola hidup lokalpro ( mencukupkan apa yang dapat diakses sekitar tempat tinggal) atau mencari tempat reservasi ekslusif untuk belanja sekeluarga tanpa gangguan orang lain?. Mana yang perlu didahulukan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, keindahan? Pandemi ini harus kita hadapi, cukup sekali ini saja.Tulisan Covid -19 sekali ini saja bisa anda baca kembali.
Pertanyan ketiga : seberapa anda mampu berkontribusi?
Sebagian netizen menyalahkan kebijakan yang berbeda dan berubah-ubah. Seperti pandemi yang tak bisa dikendalikan, demikian juga sikap dan kondisi eksternal di luar kendali kita. Sebagian menyesali dan mengkhawatirkan tenaga kesehatan yang mulai frustrasi, namun sebenarnya kesehatan adalah tanggung jawab pribadi dan tidak perlu menjadi beban bagi nakes untuk bekerja diluar kapasitas mereka. Sementara tidak setiap warga negara mampu memahami bahwa garda terdepan adalah dirinya masing-masing. Kita akan kecewa bila kita berharap pada sesuatu yang tak bisa kita ubah, tapi kita memiliki peluang untuk belajar memilih berubah diri masing-masing. Apa yang mampu anda ubah sendiri dalam situasi ini?
Pertanyaan keempat: seberapa cepat anda mampu belajar dan memiliki kompetensi untuk berdamai?
Rupanya banyak dari kitapun belum cukup cepat belajar untuk memahami maksud keselamatan diri melalui prosedur kesehatan yang optimal sebagaimana disarankan para ahli kesehatan atau seperti dicontohkan oleh berbagai cara di negara lain. Kita sebenarnya memiliki banyak role model skema baru hidup dalam kondisi pandemi, namun kita tak cukup cepat belajar. Mungkin saja karena terkait prioritas hidup, atau tak ada role model internal di negeri sendiri, atau kebijakan otoritas yang tidak tegas, atau kapasitas pemahaman dan akses informasi yang terbatas. Mungkin tentang standar kebersihan diri yang memang masih sangat minim, dan kemungkinan-kemungkinan yang lainnya. Dalam kehidupan the new normal, banyak hal sudah pasti tak bisa lagi dilakukan dan prilaku berubah sebagai bentuk adaptasi. Perubahan ini akan tampak pada aktivitas online, pilihan pekerjaan, strategi bisnis, relasi sosial, dll. Terlalu banyak faktor yang begitu rumit pada diri manusia, sehingga tak bisa mengharapkan suatu kesepakatan bersama menghadapi suatu situasi yang juga masih chaos dan membingungkan bagi setiap orang. Dimanakan posisi anda? pada fase mana anda menerima proses Penyesuaian diri dalam menghadapi covid-19, silakan anda kembali cek.
Pertanyaan kelima: seberapa anda peduli pada diri sendiri dan bersikap adil pada diri dan orang lain?
Banyak broadcast keluar masuk ruang medsos. Isinya upaya saling memberi informasi, pengaruh dan sebagian lagi memprovokasi dan menularkan rasa takut, marah dan kebencian.
Issu politik, ekonomi, konspirasi jahat, bercampur baur dengan isu agama dan rasisme. Ketakutan pada kelaparan, kematian, dan kebencian pada sebagian masyarakat pada elemen masyarakat lainnya diberi dalil rasa patriotisme, bela rakyat ataupun teks kitab suci. Setiap keputusan apapun akan memberikan konsekwensi pada diri kita dan berpengaruh pada lingkungan kita sendiri. Apakah anda yakin dengan tindakan yang diperbuat? Apakah itu suatu kebaikan atau kezaliman, apakah pilihan tindakan itu dapat dipertanggung jawabkan pada diri sendiri, pada keluarga, tetangga, dan pada Tuhan?
Kapan kita berdamai dengan covid-19?
Ramadan sudah berakhir, pelatihan kolosal akan ditutup esok hari bersamaan dengan akan berkumandangnya takbir di seluruh, tuk memuji keagungan Sang Pencipta. Pencipta kita dan covid-19 yang selama ini kita anggap musuh kita. Pertanyaan lebih penting adalah; sudah berhasilkah berdamai dengan diri sendiri dan memenangkan peperangan melawan virus internal hawa nafsu yang bisa jadi lebih ganas daripada covid-19?.
Apakah besok kita bisa merayakan kemenangan?
Semoga amalku dan amalmu diterima Allah SWT.
Penghujung akhir Ramadhan 1441.
Bandung, 23 Mei 2020.