Kade Erte, episode 2
#serialpernikahan
Beberapa factor yang memicu kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan kasus yang saya tangani meliputi beberapa aspek berikut :
1. Jarak kekuasaan, laki-laki dan perempuan seringkali tidak setara.
Laki-laki dan perempuan memang berbeda dan tidak bisa dipaksakan sama. Laki-laki dan perempuan berbeda secara fisik, psikis dan juga sosial. Mereka tidak mungkin memiliki posisi dan peran yang sama. Dalam hal ini, kesetaraan bukan berarti persamaan, tetapi relasi suami istri itu merupakan hubungan kemitraan. Kemitraan itu tidak menempatkan satu sama lain dalam oposisi atau dalam struktur hubungan otoritatif -submissive.
Terkadang saya juga menemukan kekerasan pihak suami yang terpancing oleh sikap istri, demikian juga sebaliknya ditemukan seorang istri merendahkan suaminya sehingga ia menjadi lebih dominan dan menyepelekan suaminya. Kekerasan tidak pernah terjadi oleh satu pihak tanpa dipicu oleh pihak lainnya atau pihak lainnya memberikan peluang untuk terjadi kekerasan lebih lanjut karena pembiaran yang menimbulkan relasi semakin timpang.
2. Peran dan posisi di masyarakat yang rentan terhadap tindak kekerasan
Polarisasi peran yang ekstrim, seperti istri yang dituntut terlalu patuh secara kaku dan kurang memiliki daya tawar atau kepercayaan diri dihadapan suaminya. Sebaliknya, seorang suami yang dituntut menjadi orang yang dominan dan mengatur istri namun kurang peka terhadap kebutuhan istri yang dipimpinnya. Terkadang muncul juga sikap diskriminasi, seperti pemilihan peran atas dasar jenis kelamin tanpa disertai pengertian dan saling menghormati. Umumnya perempuan yang memang memiliki kodrat melahirkan diharapkan juga mengurus anak, berikut semua tugas domistik dan juga mendidik anak baik urusan teknis formal maupun informal. Seolah-olah seorang ayah tidak bertanggung jawab terhadap area tersebut. Terkadang suami yang sukses dengan posisi pencari nafkah dan memiliki kuasa lebih karena uang. Ia lalu menempatkan istrinya sebagai kaum kelas dua yang tak memiliki akses kebebasan ekonomi karena dianggap tak menghasilkan, tidak produktif, dan justru menjadi pihak yang bergantung kepadanya.
3. Self worth rendah atau salah satu pihak direndahkan
Pada akhirnya isu ketimpangan suami istri memperlihatkan salah satu pihak kehilangan harga diri, atau direndahkan. Persepsi tentang diri yang buruk, lebih rendah dapat terjadi karena kepribadian atau juga bentukan sistem sosial yang massif. Hal ini tercipta melalui pola relasi keluarga tradisional tanpa pemahaman yang tepat terhadap peran keibuan atau kebapakan dalam struktur keluarga.
4. Pola relasi dan komunikasi yang tidak sehat; menyalahkan, menghakimi, menghamba, atau tidak mampu melakukan proses komunikasi yang sinkron dengan kebutuhan dirinya.
Masalah suami istri, lebih penting dilihat sebagai masalah relasional. Setiap pihak memiliki andil atas terjadinya isu ketidakharmonisan keluarga yang sering berujung pada kekerasan rumah tangga. Dalam hal ini saya mengacu pada konsep yang dibawa oleh Virgina Satir seorang terapis keluarga yang awalnya dianggap sebagai seorang pendidik. Ia selalu menekankan konteks dalam situasi keluarga.
Contoh konteks itu seperti kapan dan mengapa seorang istri perlu menutup mulutnya dari keluarganya terkait masalah ia dan suami. Kapan dan mengapa seorang suami dapat melarang istri untuk keluar rumah atau mengapa ia melepaskannya. Mengapa dan kapan ketika seorang suami menampar istrinya lalu istrinya menyimpan rahasia ini dan meminta maaf. Kapan dan mengapa hal itu membuat sang suami menjadi lebih cinta, dan sebagainya
Virginia Satir (1916–1988) adalah satu-satunya seorang perempuan pelopor terapis keluarga dan juga bicara soal konteks. Tentang konteks ini, saya ingin mengutip kata-kata Samuel T Glading dalam bukunya Family Therapy (2015). Ia mengungkapkan bahwa sementara rekan prianya berkonsentrasi pada masalah dan membangun kerangka konseptual untuk teori dan kekuasaan, dia menyentuh dan memelihara kliennya dan berbicara tentang pentingnya harga diri, kasih sayang, dan ekspresi perasaan yang selaras. Dia menggambarkan pentingnya melihat kedua anggota pasangan bersama-sama pada saat yang sama, dan dia merinci bagaimana proses seperti itu dapat dan harus terjadi.
5. Faktor lain yang berpengaruh adalah belief system dan pengalaman trauma.
Banyak kasus psikologis berakar dari pengalaman hidup yang belum tuntas, sering kita mendengarnya sebagai istilah trauma atau innerchild. Hal-hal buruk di masa lalu yang tak terselesaikan dengan baik, memicu emosi yang masih tertahan. Kemarahan, dendam ataupun ketakutan seringkali memberi warna pada respon emosional ketika seseorang dihadapkan pada situasi mirip yang membuat mereka kembali terancam atau stress. Respon pada situasi stress itu sangat khas dan mengacu pada situasi yang memicunya. Seorang istri menjadi sangat ketakutan pada suaminya, sehingga mengalami vaginismus. Hal ini terjadi ketika ia belum berhasil membebaskan dirinya dari pengalaman pelecehan sex yang dilakukan oleh kelurga terdekatnya.
Selain pengalaman, ada juga pengetahuan dan cara berpikir yang dibentuk berdasarkan pengajaran formal atau keyakinan yang diserap langsung dalam bawah sadar. Seorang suami yang pemarah dalam kasus Mawar misalnya, ia menyerap pola relasi suami istri dari cara bagaimana ayahnya memperlakukan ibunya. Ia mengagungkan ibunya yang sangat hormat pada suami dan membaktikan hidupnya hanya mengurus anak-anak. Pada saat yang sama ayahnya yang sangat dominan berjarak dan memiliki sikap otoriter terhadap keluarga. Suami Mawar memang tidak menyadari bahwa dalam konteks keluarganya ia telah menerapkan cara-cara yang kurang tepat dan tidak lagi cocok dengan konteks istrinya yang mandiri, memiliki pergaulan sosial yang luas dan lugas.
Sedangkan Melati seorang perempuan yang menyayangi ayahnya dan melihat relasi harmonis dari orang tuanya, tidak pernah menyangka bahwa seorang laki-laki dapat berbohong dan bertindak manipulatif. Sekalipun Melati seorang yang terdidik dan cenderung memandang kepatuhan pada suami sebagai bakti, namun ia tak bisa menempatkan dirinya dalam posisi tersubordinasi dihadapan laki-laki yang jelas tidak memiliki integritas dan sangat dimanja oleh keluarganya.
“Apa yang membuat seseorang dapat menjaga rahasia keluarganya dan tidak perlu melibatkan orang lain untuk menolongnya?”
Kalau kita mengingat kisah sang ustadzah, saya ingin mengutip dari buku yang sama, Figley dan McCubbin (1983, hlm. 18), mengatakan bahwa keluarga yang mampu mengatasi stres memiliki sebagian besar karakteristik berikut:
• Kemampuan untuk mengidentifikasi stresor.
• Kemampuan untuk melihat situasi sebagai masalah keluarga daripada masalah salah satu anggota.
• Pendekatan berorientasi solusi daripada berorientasi menyalahkan.
• Toleransi terhadap anggota keluarga lainnya.
• Ekspresi komitmen dan kasih sayang yang jelas untuk anggota keluarga lainnya
Proses konseling dan terapi keluarga seringkali memakan waktu lama dan perlu kesabaran kedua pihak. Masalah mereka bukanlah masalah pribadi. Keluarga memiliki system dan struktur sosial yang perlu dipahami dalam kasus per kasus. Namun yang lebih penting adalah kesiapan mereka untuk bertumbuh menjadi keluarga yang lebih baik, bukan para pihak yang ingin menang sendiri atau saling menjatuhkan. Terkadang seperti luka yang sudah menjadi borok yang baru tercium saat sudah menyerah. Bercerai seperti mengamputasi borok, sebenarnya menyisakan masalah baru yang belum tentu difahami saat keputusan diambil dalam keadaan marah atau benci.
Dengan sikap mental yang salah serta alasan aib keluarga, kasus kekerasan menjadi jamak untuk sulit tersentuh dan baru terungkap setelah terlambat. Lalu, “Bagaimana kita dapat bersikap bila terjadi kekerasan pada perempuan khususnya di masyarakat umum maupun dalam konteks keluarga?”
Hal-hal yang perlu dipetakan sebelum kita merespon kasus, berikut ini perlu dipastikan :
1. Pemahami psikologis korban dan pelalu (belief system, latar budaya, konteks kebutuhan masyarakat. Jangan mudah memberikan labeling, mengahakimi apalagi melakukan generalisasi kasus.
2. Interelasi diantara korban dan pelaku yang terjadi sehingga kasus difahami secara objektif. Pelaku dan korban seringkali seperti kunci dan anak kuncinya. Memutus rantai lingkaran kekerasan tidak mudah bila salah satu terjebak dalam permainan mental korban yang sudah tercipta.
3. Relasi tidak sehat pasti ada penyebabnya. Maka memahami kejadian sebagai kasus perkasus akan lebih bijaksana daripada mengangap hal tersebut sebagai pola umum atau kecenderungan abnormalitas masyarakat tertentu.
4. Perkuat basis parenting, daya dukung lingkungan yang aman. Pada isu kekerasan dan pelecehan yang terjadi di Lembaga Pendidikan seperti pesantren atau sekolah, penting untuk melibatkan orang tua dan Lembaga tersebut. Sex edukasi termasuk bagaimana mengajarkan peran jenis kelamin dan relasi gender di masyakat. Juga bagaimana orang tua melakukan persiapan pelepasan santri dari keluarga, memastikan dukungan system dan aturan yang melindungi anak dan remaja dari predator dan tanggap darurat dari masyarakat sekitarnya.
Ibu yang terlindungi yang hanya dapat melindungi (anaknya). Hanya suami yang mampu melindungi (istri dan anak) yang dapat memperoleh respek dari istri dan anaknya. Mari bersama-sama mempromosikan peran dan tanggung jawab kebahagian keluarga melalui suami yang menggenggam tangan istrinya dengan cinta dan penghargaan.
Bahan Bacaan :
Sadarjoen, Prof.DR. Sawitri Supardi, Merawat Perkawinan. PT Kompas Media Utama :2020
Sadarjoen, Prof.DR. Sawitri Supardi, Konflik Marital, Pemahaman konseptual, Aktual dan Alternatif Solusinya. PT Refika Aditama :2005
Bandung, 8 Februari 2022