Kade Erte, episode 1
#serialpernikahan
Dua hari lalu saya melihat postingan seorang teman yang memberi respon atas video seorang ustadzah terkait KRDT, sesungguhnya video itu sudah tayang 2 tahun lalu. Entah bagaimana menjadi viral saat ini, barangkali karena banyak orang mulai dikejutkan lagi dengan beberapa kasus kekerasan sexual pada gadis remaja yang mengakibatkan mereka hamil dan bahkan meninggal. Kasus kekerasan di rumah tangga lebih banyak lagi terjadi dan sulit diungkapkan karena terlindungi oleh isu rahasia keluarga atau ego sekaligus kelemahan dipihak korban. Termasuk minimnya akses mereka untuk mendapatkan pertolongan dan keterampilan mereka mengatasi konflik.
Beberapa malam sebelumnya, pada tanggal 3 Februari 2022, saya diminta untuk mengisi dialog pada acara JABAR TERKINI bertema kekerasan pada perempuan. Sebelumnya acara itu akan dilakukan dengan dialog bersama Ibu Gubernur yang ternyata dikabarkan membatalkan acara. Maka presenter mencecar saya dengan beberapa pertanyaan, khususnya terkait isu-isu kekerasan seksual pada remaja dan perempuan muda, acarapun terkesan menjadi tanya jawab saja, yang menyisakan kepenasaran saya sendiri tentang bagaimana pihak berwenang melindungi perempuan. Saya sendiri memiliki cukup catatan kasus di ruang praktek sendiri sehingga tulisan ini mengacu pada pengalaman nyata yang tampaknya hanya ujung gunung es saja dari kasus yang tertutup oleh tabu dan faktor-faktor lain yang belum kita kenali sepenuhnya.
Saya mencoba menuliskan catatan ini sejak acara selesai, namun urung saya tuntaskan karena saya sedang berfokus pada urusan keluarga. “Kepentingan keluarga memang nomor satu bukan?”
Nah. ini penting saya utarakan terkait dengan tindakan apa yang perlu kita lakukan menanggapi kasus.
Upaya preventif tentu saja lebih baik, karena dalam kasus yang sudah terjadi, seperti kekerasan pada keluarga khususnya pelecehan sexual yang sudah terlanjur terjadi, kita hanya bisa melakukan tindakan intervensi, atau rehabilitasi. Intervensi akibat kekerasan lebih sulit dan berdampak besar pada pengalaman sisa hidup seseorang. Bila rehabilitasi tak mencapai kondisi netral kembali, akan ada selalu residu pengalaman yang berpotensi menjadi pemicu bagi kekerasan berikutnya di masa depan.
Jauh sebelum itu terjadi, akan lebih bijaksana bila mengalokasikan waktu yang lebih besar, tenaga dan perhatian untuk melakukan upaya preventif. Upaya itu dimulai dari menciptakan kehangatan dalam keluarga, melakukan edukasi pada anggota keluarga terutama anak-anak dan remaja untuk belajar memahami peran dan fungsi mereka sesuai jenis kelamin. Dalam konteks ini, bekal kompetensi, kemandirian serta harga diri anak baik laki-laki maupun perempuan perlu dipersiapkan. Selain itu suasana dalam keluarga merupakan awal pengalaman mereka dalam membentuk keluarga yang lebih baik. Kebetulan acara keluarga kami juga adalah pernikahan seorang keponakan. Sehingga Saya menyadari bahwa peranan kita sebagai pendukung dan role model sangatlah penting, dan saya akui hal itu tidaklah mudah.
Keluarga yang baik dan bahagia itu tak pernah steril dari konflik dan masalah, bab ini kelak saya akan jelaskan lagi. Salah satu materi rutin yang saya sampaikan dalam Sekolah Pranikah Salman adalah tentang Problematika Keluarga. ..
Kembali pada acara dialog, salah satu pertanyaan dari presenter itu adalah tentang upaya preventif terhadap kasus kekerasan pada perempuan. Berikut adalah hal-hal yang perlu kita perhatikan. Setidaknya kita perlu memastikan bahwa seorang anak perempuan maupun laki-laki memiliki kompetensi yang mendukung harga diri mereka. Mengingat anak perempuan sering ditemukan menjadi korban, dan ada kecenderungan budaya patriaki yang disinyalir menjadi sumber ketimpangan. Maka seorang anak perempuanpun perlu memiliki kemandirian dan percaya pada dirinya sendiri, Ia perlu memahami peran yang seimbang (bukan yang sama) saling mendukung ( bukan kompetitif) dengan laki-laki di tengah masyarakat. Ia tahu bagaimana mengekspresikan emosi dengan baik dan berkomunikasi secara asertif. Dengan demikian ia berpeluang untuk memiliki sikap yang positif dan tepat terhadap peranan dan cara dia berelasi dengan lawan jenis dan kelak dengan pasangannya. Keluarga yang mendukung dan mengayomi juga paling tidak akan tercermin dalam pola komunikasi yang baik, dan dengan demikian mereka juga memiliki kesempatan untuk terhubung dengan keluarga inti dan mendapatkan akses dukungan, saat mereka membutuhkan.
Hampir semua kasus marital conflict yang saya tangani selama ini, selalu mengandung unsur kekerasan. Kekerasan di dalam relasi rumah tangga tampaknya menjadi faktor penyebab yang paling umum pemicu ketidakpuasan salah satu pihak yang berakhir pada gugat cerai di pengadilan. Sementara itu, keputusan untuk bercerai merupakan ujung dari keputusan akhir atau bahkan keputusasaan karena mereka tak menemukan solusi atas masalah mereka yang semakin rumit. Perceraian sering terjadi setelah kekerasan berlangsung sangat lama, dan hal ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak telah gagal mengelola konflik dan terjebak dalam lingkaran ketidakpuasan pernikahan, bahkan mungkin kekerasan yang berulang dan terjadi seperti lingkaran setan.
Walaupun masalah kelurga itu cukup banyak, selain masalah finansial, perselingkuhan, masalah kekerasan memang memikat berbagai pihak untuk merespon secara reaktif. Hampir setiap bulan, selalu ada kasus yang saya tangani terkait dengan kekerasan, berikut adalah contohnya.
Sebut saja Melati yang merasa ditipu oleh suaminya, karena sang suami yang sungguh amat dia cintai telah berbohong. Pertama ia berbohong terkait status pendidikannya, lalu ia mengaku bekerja walaupun di rumah dan menghasilkan uang untuk nafkah. Sang suami memang terkadang memberi uang, yang ternyata belakangan diketahui diperoleh dari orang tuanya. Ia tidak memiliki keahlian seperti yang diakuinya sebagai sarjana bodong yang dia banggakan. Hingga suatu ketika ia juga melakukan kekerasan verbal dan fisik baik terhadap istri dan anaknya. Ia mengekang sang istri untuk tidak keluar rumah tanpa seijinnya, walaupun untuk pergi berbelanja keperluan keluarga. Pada saat yang sama, Istri bekerja dan mengurus rumah tangga dengan dibantu asisten, tetapi selalu merasa tak pernah dihargai dan bekerja keras sendirian. Ia memiliki jam di luar rumah dan tugas di dalam rumah, sementara suaminya menggunakan fasilitas seperti mobil yang dibeli istri, selebihnya ia duduk di depan laptop dan gawai. Hingga seorang kawannya mengingatkan dia bahwa ia sudah terjebak dalam lingkaran bucin yang tak masuk akal. Temannya menyakinkannya bahwa selama ini ia telah mendapatkan kekerasan verbal, fisik, psikis dan juga eksploitasi secara finansial. Sang Istri sungguh tak berani untuk meminta pertolongan meskipun kepada professional dengan alasan akan dihambat oleh suami dan takut mempermalukan keluarga. Ini semua merupakan sebuah aib. Seorang istri yang baik perlu patuh dan mengabdi pada suami. “Bagaimana menurut Anda?”
Lain lagi dengan Melati, kisah Mawar tampak seperti kasus yang akan diperdebatkan di ruang pengadilan dan kaum agamawan.
Mawar meminta cerai pada suami dengan alasan suami memperkosanya. Setelah 2 tahun pisah ranjang, ia mendapatkan rekomendasi bertemu saya dan menceritakan bagaimana ia merasa dianggap sebagai pemuas nafsu sex dan selalu mendapatkan kekerasan dari suami, baik secara verbal maupun fisik dan tentu saja psikologis. Ia selalu ketakutan menghadapi temperamen suami yang kasar ketika marah. Ia dapat membanting pintu sampai rusak, menendang barang yang ada di dekatnya atau mengancam dengan golok di tangan. Mawar yang cantik jelita, memiliki pekerjaan dan profesi bergengsi di masyarakat. Ia memiliki kantor dan pegawai tetap. Suaminya yang gagah seorang pemilik perusahaan cukup mapan dan disegani oleh para stafnya.
“Apakah Mawar dan Melati sebaiknya bercerai?”
Kedua kasus ini memiliki persamaannya yaitu bahwa para suami sama sekali tidak menyadari bahwa tindakannya bermasalah, hingga istri mereka menggugat mereka. Mereka sangat ketat untuk tidak membicarakan masalah ini dengan orang lain dan merasa shock dengan keberanian istrinya. Hanya setelah ancaman perceraianlah, membuat suami bersedia membuka kesempatan konselor terlibat dalam konflik mereka. Anggapan bahwa suami memiliki otoritas untuk mengatur dan menyelesaikan masalah tanpa orang lain menjadi factor penghambat. Hal ini masih seringkali dipersulit saat mereka menolak keterlibatan orang lain, meskipun masalah semakin parah, dengan alasan aib dan istri tidak menghargai sikap dan keputusan suami.
Kita berharap bahwa kepemimpinan juga berarti kemampuan untuk mendengar aspirasi orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin juga tentu menunjukkan karakter sebagai pengayom dan pelindung sehingga seorang perempuan merasakan cinta dan kehangatan dalam keluarga. Dalam kasus yang terjadi, seringkali mereka sudah tak mampu melihat problem secara objektif, keyakinan yang kaku membuat situasi makin buruk pada kedua belah pihak. Apalagi bila mereka mengganggap konselor atau psikolog keluarga sebagai ancaman, bukan sebagai pihak professional yang dapat membantu mereka bekerja sama dengan pasangannya untuk menemukan solusinya. Sebagian mereka mengatakan bahwa datang meminta bantuan pada psikolog itu hukumnya haram, terlarang. Sementara bila datang kepada tokoh agama, mereka akan dinasehati dan mungkin dianggap kurang beriman. Bila mereka meminta pertolongan keluarga, mereka juga takut menyakiti orang tua atau memang mereka merasa tidak akan menemukan keadilan bersama.
“Jadi mengapa demikian?”
Bersambung ke episode selanjutnya.
Bahan Bacaan :
Sadarjoen, Prof.DR. Sawitri Supardi, Merawat Perkawinan. PT Kompas Media Utama :2020
Bandung, 8 Februari 2022