Inilah cara Tuhan menegurku
“Jadi bagaimana ceritanya, sampai akhirnya berlibur di Wisma Atlit?’ tanyaku pada sepasang suami istri yang luar biasa tabah ini.
“Ha ha ha…! Kami sudah merencanakan untuk liburan ke luar negeri akhir tahun ini. Bersama anak-anak tentu saja. Kami suami istri sangat sibuk bekerja. Tentu jarang di rumah. Anak-anak juga sibuk kuliah.
Tak ada rasa, tidak manis juga tidak asin. Semua makanan terasa hambar. Tak ada beda bau atau wangi pakaian yang melekat ditubuh. Suamiku tak lebih sehat. Dan hari itu masih ada jadwal acara kantor dan pekerjaan rutin ke luar kota.
Hasil tes darah itu bukanlah demam DBD. Bahkan ternyata paru-paru suamiku sudah berkabut. Tak ada pilihan lain kecuali isolasi diri.
Takut? Tentu saja. Sungguh isolasi adalah pilihan berat, sudah lama meninggalkan rumah. Anak-anak sudah besar, tak berarti mereka pantas ditinggalkan. Dan adakah jaminan mereka juga aman?. Seorang tanteku 80 tahun menemani anak-anak. Apakah beliau bisa bertahan bila terinfeksi? Pikiranku terus bekerja. Isolasi ini pilihan terbaik daripada kami menulari keluarga.
Tak perlu pengumuman untuk pindah tidur di rumah sakit darurat paling heboh sepanjang awal tahun ini. Melewati proses panjang, mengantri berjam-jam meskipun untuk menunggu giliran setelah 9 kepala di depanku yang semuanya tampak cemas. Sama cemasnya dengan seorang dokter UGD yang kelelahan dengan peralatan yang tiba-tiba tak bisa di gunakan. Semua dokter sibuk, tak ada yang pernah siap menghadapi bencana. Bukankah bencana tak pernah direncanakan dan tak pernah membuat pengumuman?
Ah paling 14 hari saja pikirku, dugaanku meleset lagi. Ini hari ke 21 , dan kami tak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku masih berpikir jernih, kuserahkan urusan rumah pada anak-anak, mereka siap saling bantu. Kutitipkan uang dan beberapa kebutuhan dasar mereka. Toh aku masih bisa mengontaknya kapan saja. Kurasa aman sudah. Tak perlu membuat warga komplek heboh ataupun meminta bantuan orang lain, semuanya dalam kendali. Begitulah aku mengurus diriku dan keluarga. Aku bisa diandalkan , bukankah aku biasa mengurus ini itu dalam pekerjaanku?.
Mulanya salah satu anak kami batuk dan meriang. Kepanikan mulai mengancamku. Tak ada pilihan selain menyampaikan pengumuman kepada pak RT. Aku sadar diri, kini aku perlu bantuan orang lain. Syukurlah, kerukunan kita masih berfungsi dengan baik. Bukan hanya pak RT yang merespon, tetapi RW beserta jajaran Dinas kesehatan tanggap darurat. Memeriksa semua anak-anak, menyemprot seluruh rumah dengan disinfektan. Dan rumah kami pun dalam pengawasan.
Tak bisa dilawan, informasi dan gosip bercampur rumor pun menyebar dari mulut ke mulut. Dari satu mata tetangga berpindah ke tangan gatal aktivis medsos. Kabar burung memang mudah terbawa angin kemana saja dia pergi. Kabar sekepal jadi segunung, berita satu kata jadi satu buku cerita. Semua tak bisa lagi dalam kendaliku. Pasrah sudah…
Tatapan mata nyinyir tetangga dibalut ketakutan dan kecurigaan mulai mengganggu anak-anak yang ditinggal orang tuanya. Aku paham mereka takut. Sungguh, aku juga takut. Lebih menakutkan lagi bila tanpa sadar kita telah menulari orang lain yang tak berdosa.
Bukankah itulah sebabnya kini aku disini, berlibur sesaat di Wisma Atlit bersama ratusan pasien dalam deretan gedung yang seharusnya menjadi tempat orang paling sehat di Indonesia. Ini bukanlah liburan yang kudambakan.
Saat seseorang hanya peduli pada dirinya sendiri, kutemukan orang-orang yang hatinya lebih lembut dari sutra. Para tetangga sudi mengirim makanan untuk mereka yang juga ketakutan dan sedih menunggu orang tuanya yang belum bisa pulang untuk memeluk mereka.
“Gantungkan saja di pagar, mereka akan mengambilnya!” begitulah pesanku pada tetangga yang baik hati ini. Kewajiban untuk menjaga jarak fisik membuat haram untuk menerima barang dari tangan ke tangan. Covid 19 membuat kita berjarak. Saya dan suami satu kamar tapi kami pun tabah untuk tetap berjarak dan nyaris tak bisa bicara leluasa. Kami bagai orang asing, tapi hati kami sebenarnya diikat oleh cinta yang sama. Kami perlu waktu untuk pulih dan masing-masing kami berjuang demi anak-anak dan keluarga.
Kawan-kawan gerejaku akhirnya juga tahu, dan tak tanggung-tanggung mereka membuat forum pendampingan di gereja untuk melayani kasus covid 19. Sudah lama aku tak bertemu mereka. Terima kasih sudah tetap menjaga imanku.
Kepedulian tidak akan berakhir di negeri yang heterogen ini. Kita punya WA grup. isinya rupa-rupa. Saling sapa, saling curhat, saling lapor. Tak perlu malu atau takut bila ada yang mencurigakan atau mengalami kesulitan. Kapan saja suster rela untuk menolong kami bila ada yang darurat. Walaupun kami tahu mereka teramat lelah dan terbatas dibandingkan dengan jumlah pasien yang meminta perhatian dan semua merasa dirinya darurat.
Ada sih ibu-ibu yang tiba-tiba berlari di lorong dan menjerit ketakutan, katanya ada syetan mengejarnya. Kasian sekali dia, mungkin dia di pulangkan atau dipindahkan ke kamar lain. Semua orang berjuang untuk tetap waras. Terlalu banyak alasan untuk takut dan panik, kita tak sendirian. Ini pandemik, ini musibah kita, dan aku ada di pusaran bersama mereka. Aku tahu persis rasanya.
Selalu ada laporan pagi-pagi dari kamar sebelah. Bagaimana bisa tidur kalau hati gelisah, kami tahu banyak orang insomnia. Bahkan ada yang lapor terlintas ingin bunuh diri, Syukurlah tak terjadi. Pikiran negatif dan kesedihan menghiasi tiap lorong gedung ini. Tak ada yang berani berlama-lama di luar kamar. Selain memang dilarang juga tak ada kepentingannya.
Hari lain, seseorang berulang-ulang memanggil suster meminta infus dan oksigen. Ini rumah sakit darurat dan diharapkan semua orang bisa mengurus dirinya sendiri.
Seberapa seringnya pun melapor, suster sudah tak mampu menampung laporan pasien yang isinya itu-itu juga. Apa boleh buat, kita belajar untuk lebih sabar dan bertoleransi, toh setiap hari rumah sakit dadakan ini berbenah. Tak ada yang sempurna, tapi pemimpin negeri ini sudah berupaya apa yang bisa. Aku yakin itu.
Aku sok yakin, kami butuh istirahat saja selama 14 hari. Biarkanlah kami pulang dan kembali bekerja. Orang yang biasa sibuk bekerja dan terbiasa dengan mobilitas tinggi, akan tahu bagaimana rasanya tak berdaya, terkurung dengan fasilitas seadanya, meringkuk melawan demam dan sesak napas. Hanya pikiran positif, dan dukungan lingkungan yang membuat kami bisa melewati hari-hari. Video call dengan keluarga, dukungan WA grup, jogging dan berjemur di pagi hari cukup menghibur diri. Selebihnya silakan merancang menu makan sendiri, cari makanan kesukaan lewat kiriman dari beberapa restoran yang masih mau datang mengantar, meminta keluarga untuk mengirim buku bacaan, atau apa saja yang bisa menghibur diri. Sungguh acara piknik yang luar biasa.
Setiap hari, para militan TNI mengurus dapur umum. Kami tinggal makan dan tidur yang nyenyak agar kami cepat pulih dan sehat. Namun kami sungguh merasa super bosan hanya makan dan tidur saja. Kulineran bersama satu grup WA di lantai gedung ini, dengan makan masing-masing di kamarnya sendiri membuat kami bisa tertawa.
Bu Iip, saya adalah aktifis gereja katolik. Tetapi sudah lama kami sibuk bekerja dan mulai tak sempat pergi ke gereja. Hari ini saya dijewer Tuhan. Paskah kemarin membuat kami makin sadar. Seharusnya kami menempuh jalan Tuhan, melayani orang lain dan berbagi berkat bagi sesama.
Inilah cara Tuhan membawaku kembali padaNya”.
Terima kasih sudah mendengarkan kisahku. Semoga kita bisa dikumpulkan kembali bersama keluarga dalam kasihNya.
Keyakinan selalu memberikan harapan, anda bisa baca juga; Keyakinan, mengatasi kecemasan menghadapi covid-19
Bandung, 14 April 2020
*Kisah ini disusun ulang dari obrolan kisah nyata via Webinar, yang difasilitasi oleh Catalyst Psychology & HR Management Services.