Ijinkanlah Aku Berpuisi

Iip Fariha
3 min readAug 19, 2021

--

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Kalau diingat-ingat, aku sudah menyukai puisi sejak kecil.

Kala itu di panggung acara lomba deklamasi anak SD, seorang anak cadel membacakan puisi berjudul “Borobudur”. Kamu pasti tertawa bukan?. Aku tahu, aku sudah mendengarnya berulang.

Ruangan kelas penuh dengan teman-teman yang penuh rasa takjub duduk dan berdiri dengan mata bersinar atau mungkin nanar. Menatap lurus-lurus pada sang Bocil-bocah cilik dengan rok lipit merah berkepang dililit pita merah. Mungkin sedang acara agustusan. Ah aku lupa kawan.

Gadis cilik bunder, berkulit hitam, keriting, tapi percaya diri berdeklamasi di atas panggung. Kalau bukan karena nasib jelek atau salah bunda mengandung, tentu ia tak akan menjadikan dirinya bahan lelucon gratisan di siang hari bolong.

Sekali lagi, kalau saja boleh mempersalahkan, tertawa membahana di ruangan yang panas berkeringat hari itu tentulah sekarang dapat diusut sebagai perundungan.

Kini sang bocah beranjak remaja. Remaja manis yang genit dan mengundang rasa penasaran. Membaca puisi di tengah kerumunan. Para lelaki manis masih bau ingusan kembali menatap penuh harapan. Sayang beribu sayang, kalimat demi kalimat minus hurup “r” mengundang kelucuan.

Satu dua buku kecilpun penuh dengan coretan tangan emosional. Setiap saat hati gundah gulana, sang gadis menekuni bait puisi tak beraturan. Tak ada guru tak ada kawan, kalimat mengalirpun tak pedulikan. Apakah rasa bahasa ataukah ketakutan? Apakah perlu menghilangkan hurup r atau menghapus malu saat mendapat tepukan?

Toh Puisi kala itu hanya ditulis, dibaca, dan disimpan di buku catatan. Tak ada yang cukup berani menyanyikannya dan mengenang siapa yang mematrikan kata-kata sakti bak pisau tajam. Mungkin karena kebanyakan berisi rasa sakit hati atau patah hati ditinggal pacar.

Tahun 1987 masih ingat, saat sang remaja mulai beranjak penat, buku kumpulan puisi itupun lenyap.

Ijinkan aku berpuisi, sewindu kali empat tahun kemudian. Kenangan itu mencuat dalam puisi rindu memendam rasa. Tak jua menulis adalah sebuah rasa. Berjumpalah aku dengan seorang guru, berkenan dia mengajarkan aku berani mencipta. Sekedar menulis tanpa rupa ataupun dengan selaksa asmara. Entahlah. Apakah itu cukup berharga?

Biarlah, sang pengintip kembali bersua, walau dengan mata nanar ataupun rasa curiga. Akupun berpuisi sekedar menyadari bahwa aku memang ada. Aku membaca puisi dan menyerap energi, mencari jati diri dan menerima segala fakta tak terperi.

Inspirasi para Sastrawan rupanya tetap melekat di hati. Walau selama ini selalu terbungkus jubah dengki. Inginkan diri mampu melakukan hal terlalu suci, bagi diri hina tak tahu diri. Beruntung aku menemukan luka diri, melepaskan maaf dan membebaskan kenangan kerdil penuh daki.

Ijinkan aku berpuisi,

Tak mengapa belajar selagi masih belum tua. Ataupun menjelang usai usia tak perlu memendam rasa. Asalkan puisiku tak tergerus masa. Sementara kupinjam saja puisi seorang pujangga. Tentu pembaca tak akan ada yang merana.

Dengan Puisi, Aku…

(Taufik Ismail)

Dengan puisi aku bernyanyi,

Sampai senja umurku nanti,

Dengan puisi aku bercinta,

Berbatas cakrawala…

Dengan puisi aku mengenang,

Keabadian Yang Akan Datang,

Dengan puisi aku menangis,

Jarum waktu bila kejam mengiris…

Dengan puisi aku mengutuk,

Nafas zaman yang busuk,

Dengan puisi aku berdoa,

Perkenankanlah kiranya…

Aku tak sanggup menggubah puisi semanis ini. Tentu saja, kawan!.

Coba bayangkan saja, bahwa aku berdiri di panggung kehormatan, dan dengan percaya diri menyanyikannya di depan sang pangeran. Tertawalah, akupun tak akan merah padam.

Bandung, 19 Agustus 2021

#Tulisan, entah puisi ataupun prosa liris, aku tak tahu, sebagai bentuk terima kasihku pada Ibu Guru Hera Budiman yang telah memberi kesempatan untuk belajar kembali membuat puisi, prosa dan menulis. Yang bagiku adalah sarana dan cara merawat diri. Ini juga kuharap menjadi inspirasi bagi siapapun yang berkenan membaca dan tertawa bersama.

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

Responses (1)